Hj Siti Zubaidah
Hasbiyallah Ulama Perempuan Betawi, Penulis Risalah Shalat Tarawih dan Shalat
Id
Di Betawi juga di
belahan bumi lainnya, ulama perempuan sangat sedikit jumlahnya yang dimunculkan
oleh masyarakat. Salah satu dari yang sedikit ini adalah Nyai Hj Siti Zubaidah
KH Hasbiyallah.
Lazimnya ulama, ia
memiliki karya dalam bentuk risalah yang ditulisnya dalam aksara Arab Melayu
dengan judul Kayfiyah Sembahyang Tarawih dan Shalat Al-`Idain (Tata Cara
Shalat Tarawih dan Shalat Idul Fithri serta Idul Adha). Sebelum lebih jauh
membahas tentang risalah ini, perlu diketahui dulu mengenai sosok ulama
perempuan Betawi ini.
Riwayat Hidup Nyai
Siti Zubaidah
Nama lengkapnya Siti
Zubaidah binti H Hasanuddin. Ia merupakan anak pertama dari sembilan saudara
dari hasil perkawinan H Hasanuddin dan Hj Hindun. Ia lahir sekitar tahun 1941
atau tahun 1942 di Cipinang Kebembem, Jatinegara, Jakarta Timur.
Sejak kecil sampai
menikah, ia mengaji kitab kuning kepada KH Abdul Hadi, ulama Betawi di
Cipinang Kebembem. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya adalah nahwu shorof, aqidah,
akhlak dan fiqih. Di usia sekitar 21 tahun yang bertepatan dengan tahun 1962,
ia dinikahi oleh KH Hasbiyallah, pendiri Perguruan Islam Al-Wathoniyah.
Dari hasil
perkawinannya ini, ia dikarunia dua orang anak, putra dan putri, yaitu Hj
Hilmah dan H Saifullah Hasbiyallah. Pada tahun 1973, ia menunaikan ibadah haji
yang pertama. Kemudian ia menunaikan ibadah haji kembali pada tahun 1978, 1994,
1995, dan tahun 1996.
Ketinggian
intensitasnya dalam pergi haji lebih didasarkan pada layanan bimbingan haji
yang dipimpinnya pada tahun 1994. Pada tahun 1996, bimbingan hajinya berbadan
hukum yayasan dengan nama KBIH Al-Istiqamah Az-Zubaidiyyah yang kini diteruskan
oleh anaknya, KH Saifullah Hasbiyallah.
Walau sudah menikah
dan kemudian mempunyai anak, ia tetap meneruskan pendidikan agama non-formalnya
dengan mengaji kitab kuning kepada suaminya, KH Hasbiyallah. Ia merupakan tipe
pembelajar yang tekun dan gigih. Hampir setiap hari, ia mengaji kitab kuning
setiap selesai shalat Zuhur atau selesai shalat Ashar, tergantung keluangan
waktu suaminya. Aktivitas mengaji ini terus dijalaninya sampai kitab-kitab yang
dipelajarinya itu selesai atau khatam. Maka wajar jika ia sangat paham tentang
isi Kitab Alfiyah Syarah Ibnu Malik, Bulughul Maram, dan Ihya
`Ulumiddin.
Selain mengaji, ia
juga turut mengajar di dua puluh dua majelis taklim ibu-ibu setiap bulannya.
Majelis taklimnya tersebar di sekitar Klender, Tanah Koja, Kampung Bulak,
Kampung Sumur, Rawa Badung, Kampung Jati, Cipinang, dan Pulo Kambing. Ia juga
menjadi guru tetap di majelis taklim ibu-ibu di Kelurahan Jatinegara Kecamatan
Cakung, Jakarta Timur. Selain mengajar keluar, ia juga dipercaya oleh suaminya
untuk mengasuh Pondok Pesantren Putri Al-Banatul Wathoniyah.
Santri-santrinya yang
mondok dan yang pulang pergi (santri kalong) berasal dari sekitar Klender,
Bogor, Cinere, Taman Mini. Kebanyakan santrinya berasal dari Bekasi. Pada tahun
1986, ia tidak lagi menerima santri yang mondok. Ia hanya menerima santri yang pulang
pergi sampai ia wafat pada tahun 1996 tepatnya pada tanggal 22 Rabi`ul Tsani.
Ia dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga besar KH Hasbiyallah di depan
Masjid Jami` Al-Ma`mur, Klender.
Latar Belakang
Penulisan Risalah
Salah satu motif
utama Nyai Hj Siti Zubaidah KH Hasbiyallah menulis risalah Kayfiyah
Sembahyang Tarawih dan Shalat Al-`Idain adalah untuk membantu suaminya
dalam mencarikan dana ketika Pondok Pesantren Putri Al-Banatul Wathoniyah dalam
masa pembangunan. Cara yang dilakukannya ini untuk mencari dana pembangunan
tersebut terbilang cukup unik bahkan terbilang cerdas pada masa itu.
Risalah ini kemudian
dicetak dan diperbanyak kemudian disebarkan kepada jamaahnya dan jama`ah
suaminya. Hasil penjualan risalah ini kemudian digunakan untuk membangun pondok
pesantren putri tersebut. Sebenarnya, ia banyak menulis risalah, namun tidak
sempat tercetak. Risalah-risalah yang masih berbentuk manuskrip itu kini hilang
pada saat kediamaannya direnovasi untuk pelebaran jalan raya.
Isi Risalah Kaifiyah
Sembahyang
Risalah Kayfiyah
Sembahyang Tarawih dan Shalat Al-`Idain memiliki tinggi 21,5 cm dan lebar
13, 5 cm; dicetak di kertas jenis HVS. Halamannya berjumlah 18 halaman dengan
halaman muka sebagai halaman pertamanya.
Pada pengantar
risalah di halaman kedua, ia menuliskan alasan lainnya tentang penulisan
risalah ini, selain sebagai sarana untuk mencari dana pembangunan pondok
pesantren, yaitu adanya kebangkitan atau dorongan hati untuk menyusun sebuah
risalah tentang kayfiyat tarawih mengingat betapa pentingnya pada kaum Muslimin
dan Muslimat agar menjadi tertib amal ibadah kita dan menjadi semangat di dalam
mengerjakan ibadah tarawih.
Isi risalah ini
terdiri atas tata cara pelaksanaan shalat tarawih dan tata cara shalat Idul
Fithri dan shalat Idul Adha. Namun, isi risalah lebih didominasi oleh tata cara
pelaksanaan shalat tarawih yang mencakup 14 halaman. Sedangkan tata cara shalat
Idul Fithri dan shalat Idul Adha hanya mencakup tiga halaman. Pada tulisan ini,
saya hanya menjelaskan tentang tata cara pelaksanaan shalat tarawih dari
risalah ini secara singkat.
Sebagai tata cara
shalat tarawih, isi risalah ini sangat lengkap. Risalah ini ditulis dengan
sistematis dan sangat rinci. Ia, seperti umumnya masyarakat Betawi, berpegang
kepada Mazhab Syafi`i. Karenanya, risalah ini menjelaskan tentang tata cara
shalat tarawih sebanyak 20 rakaat yang ditutup dengan shalat sunnah witir tiga
rakaat.
Tata cara shalat
tarawih yang pertama adalah bilal atau mubaligh mengucapkan seruan shalat. Imam
kemudian berdiri. Bacaan pada shalat pertama di rakaat pertama adalah Surat
At-Takatsur dan rakaat kedua Surat Al-Ikhlas.
Adapun bacaan shalat
kedua sampai shalat kesepuluh, pada rakaat pertama surat yang dibaca mengikuti
urutan surat sesudah Surat At-Takatsur, kecuali untuk rakaat kedua yang dibaca
tetap Surat Al-Ikhlas.
Adapun shalat witir
dilakukan sebanyak dua kali, yaitu shalat pertama berisi dua rakaat dan shalat
kedua berisi satu rakaat. Surat yang dibaca pada rakaat pertama adalah Surat
Al-A’la. Sedangkan surat yang dibaca pada rakaat kedua adalah Surat Al-Kafirun.
Setelah selasai,
jamaah kemudian melakukan shalat witir sebanyak satu rakaat. Surat yang dibaca
pada shalat witir setelah Surat Al-Fatihah ini adalah Surat Al-Ikhlas, Surat
Al-Falaq, dan Surat An-Nas. []
Rakhmad Zailani Kiki,
peneliti dan penulis Genealogi Intelektual Ulama Betawi. Ia kini diamanahi
sebagai Sekretaris Asosiasi Pesantren (RMI NU) DKI Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar