Siapakah Pelaku Riba yang
Diharamkan itu?
Syekh Abu Ja’far at-Thabari menafsirkan ayat
bahwa pelaku riba dikaitkan keberadaannya dengan sifat gila adalah terjadi
kelak di akhirat, yaitu ketika manusia dibangkitkan dari kuburnya sehingga ia
berjalan kebingungan seperti orang gila. Riwayat sanad pentakwilan oleh Abu
Ja’far at-Thabari ini disandarkan pada Muhammad bin ‘Amru dan Al-Mutsanna dari
Mujahid. Al-Mutsanna juga meriwayatkan dari jalur lain yaitu dari Abu
Hudzaifah, dari Ibnu Abbas, dari Sa’id bin Jubair yang menukil dari Ibnu Abbas.
Ibnu Humaid juga meriwayatkan dari jalur Sa’id bin Jubair, yang berarti
merupakan sanad mursal, tapi memiliki syahid dari jalur riwayat Al-Mutsanna
yang juga mendapatkan dari jalur Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas. Dan masih
banyak lagi riwayat yang lain yang berasal dari jalur sanad Qatadah, Al-Rabi’,
Al-Dlahak, Ibnu Zaid dan Al-Sidi yang seluruhnya merupakan generasi mufassir
masa sahabat.
Semua mufassir sahabat ini sepakat mentafsir
penggalan ayat كما يقوم الذي يتخبطه الشيطان من المس sebagai
orang yang akan dibangkitkan dari kuburnya di akhirat kelak sebagai layaknya
orang gila.
Yang menjadi soal kemudian adalah, siapakah
yang dimaksud dengan pelaku riba yang diancam kelak akan dibangkitkan seperti
orang yang gila di sini? Apakah termasuk orang yang memakan harta hasil
riba, atau ada maksud lain?
Syekh Abu Ja’far at-Thabari menjelaskan dalam
kitab tafsirnya:
فإن
قال لنا قائل: أفرأيت من عمل ما نهى الله عنه من الرِّبا في تجارته ولم يأكله،
أيستحقّ هذا الوعيدَ من الله؟
قيل: نعم، وليس المقصود من الربا في هذه الآية الأكلُ، إلا أنّ
الذين نـزلت فيهم هذه الآيات يوم نـزلت، كانت طُعمتهم ومأكلُهم من الربا، فذكرهم
بصفتهم، معظّمًا بذلك عليهم أمرَ الرّبا، ومقبِّحًا إليهم الحال التي هم عليها في
مطاعمهم، وفي قوله جل ثناؤه: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ * فَإِنْ لَمْ
تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
Artinya: “Jika ada yang bertanya kepada saya:
Adakah (bagaimanakah) pandangan tuan tentang orang yang melakukan pekerjaan
yang dilarang oleh Allah berupa praktik riba di dalam niaganya, akan tetapi ia
tidak memakannya. Apakah ia termasuk juga yang diancam oleh Allah sebagaimana
ayat ini dimaksudkan? Jawab: Iya. Maksud dari riba pada ayat ini bukan hanya sebatas
makan saja, melainkan konteks ayat ini diturunkan adalah adanya kaum yang
sumber makanan pokok dan mata pencahariannya berasal dari riba. Oleh karenanya,
Allah sebutkan sifat-sifat mereka dengan penekanan pada perkara ribanya, dan
mencela kondisi mereka terkait dengan sumber konsumsinya. Oleh karenanya, Allah
berfirman dalam ayat lain:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا
إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ * فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ
اللَّهِ وَرَسُولِهِ
(wahai orang-orang yang beriman, takutlah
kalian kepada Allah dan tinggalkan hal yang berkaitan dari riba, jika kalian
beriman. Maka, jika kalian tidak melakukannya, maka umumkanlah perang dengan
Allah dan Rasulnya (Q.S. Al-Baqarah: 278-279)) (Lihat: Abu Ja’fa At-Thabari, Jâmi’u
al-Bayân ‘an Ta’wili ayi al-Qur’ân, Kairo: Daru Hijr, 2001, Juz 5, halaman
38).
Maksud dari ayat yang dinukil dari Q.S.
Al-Baqarah ayat 278-279 di atas, adalah mencakup segala sesuatu yang
berhubungan dengan riba. Status pengharaman ini berhubungan dengan وأنّ التحريم من الله في ذلك كان لكل معاني الرّبا، وأنّ سواءً
العملُ به وأكلُه وأخذُه وإعطاؤُه,
yaitu semua pihak baik pelaku, pemakan hasil riba, penarik riba dan pemberi
riba. Tafsir ini didasarkan pada konteks sabda Nabi SAW dalam sebuah hadits:
لعن
الله آكلَ الرّبا، وُموكِلَه، وكاتبَه، وشاهدَيْه إذا علموا به
Artinya: “Allah melaknatipemakan riba, orang
yang mewakilkan, penulisnya dan orang-orang yang menyaksikannya, padahal ia
mengetahui.”(Abu Ja’fa At-Thabari, Jâmi’u al-Bayân ‘an Ta’wîli ayi al-Qur’ân,
Kairo: Daru Hijr, 2001, Juz 5, hal: 38!). Hadits ini diriwayatkan oleh Imam
Ahmad, Imam Muslim, Al-Baihaqi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Tirmidzy, Al-Darimy,
Al-Nasaiy, dan juga tertuang dalam Kitab Musnad Abdullah bin Mas’ud.
Syekh Ali bin Sulthan Muhammad Al-Qari, dalam
kitabnya yang berjudul Syurûhu al-Hadîts Mirqâtu al-Mafâtîhi Syarah Mishkatu
al-Mashâbîhi, beliau memberikan penejelasan hadits di atas bahwa yang dimaksud
dengan آكل الربا, adalah:
آخذه
وإن لم يأكل ، وإنما خص بالأكل لأنه أعظم أنواع الانتفاع كما قال – تعالى: إن
الذين يأكلون أموال اليتامى ظلما
Artinya: “Orang yang memungut riba dan
meskipun tidak memakannya. Hanya saja Rasulullah SAW menetapkan sifat
kekhususan di sini dengan lafadh ‘memakan’, disebabkan karena aktifitas makan
merupakan sebesar-besarnya aktifitas pemanfaatan. Sebagaimana Allah SWT
(menunjukkan pengkhususan ini dalam firman-Nya) : “Sesungguhnya orang yang
“memakan” harta anak yatim secara dhalim,...” (Ali bin Sulthan Muhammad
al-Qari, Shurûhu al-Hadits Mirqâtu al-Mafâtîhi Sharah Mishkatul al-Mashâbîhi,
Daru al-Fikr, 2002, Juz 5, hal: 1915).
Adapun yang dimaksud dengan orang yang
mewakilkan riba (الموكل), Syekh Ali bin Sulthan Muhammad Al-Qari menjelaskan:
معطيه
لمن يأخذه ، وإن لم يأكل منه نظرا إلى أن الأكل هو الأغلب أو الأعظم كما تقدم
Artinya: “Orang yang memberikan riba kepada
orang yang memungut meskipun ia sendiri tidak memakannya, dengan fokus kepada
makan karena ia yang paling umum dan paling sering terjadi sebagaimana telah
disampaikan terdahulu.” (Lihat: Ali bin Sulthan Muhammad al-Qari, Shurûhu
al-Hadits Mirqâtu al-Mafâtîhi Sharah Mishkatul al-Mashâbîhi, Daru al-Fikr,
2002, Juz 5, hal: 1915).
Antara آكل dan موكل keduanya
bersekutu dalam dosa, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam: هما شريكان في الإثم yang artinya:
keduanya bersekutu di dalam dosa.
Selain kedua person di atas, ada juga yang
masuk unsur diancam oleh Rasulullah SAW, yaitu:
وكاتبه
وشاهديه ) : قال النووي : فيه تصريح بتحريم كتابة المترابيين والشهادة عليهما
وبتحريم الإعانة على الباطل)
Artinya: “Katib dan Syahid. Imam Nawawi
rahimahullah berkata bahwa dalam hadits ini terdapat penjelasan haramnya
mencatat transaksi dua orang yang beraqad riba, bersaksi atas keduanya dan
haramnya membantu kebathilan.”(Ali bin Sulthan Muhammad al-Qari, Shurûhu
al-Hadits Mirqâtu al-Mafâtîhi Sharah Mishkatul al-Mashâbîhi, Daru al-Fikr,
2002, Juz 5, hal: 1915).
Sebagai kesimpulan dari tulisan ini adalah
bahwa seiring haramnya riba, maka semua pihak yang berhubungan dengannya
dihukumi sebagai haram dan berdosa. Tidak hanya pemakannya, orang yang
mewakilkan, saksi dan penulisnya juga dihukumi sebagai haram disebabkan unsur
ta’âwun (tolong menolong) dalam perkara batil. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar