Mata Uang Fiat dan Unsur
Penyusunnya
Pada pembahasan yang telah lalu kita sudah membahas tentang mata
uang logam, dan mata uang kertas klasik yang mana ia berperan layaknya surat
jaminan atas kepemilikan suatu aset berupa logam mulia, yaitu emas dan perak.
Karena adanya jaminan ini, maka mata uang logam dan mata uang klasik disebut
juga sebagai mata uang komoditas. Maksudnya adalah bahwa ia merupakan bentuk
surat jaminan atas suatu aset.
Dalam perkembangannya, mata uang ini dalam
dunia perbankan melahirkan angka inflasi yang tinggi dalam dunia perbankan. Ia
dapat menjelma menjadi sebuah mata uang yang tanpa jaminan aset berupa logam
mulia. Uang jelmaan ini selanjutnya disebut dengan “fiat”. Lebih jelasnya, bisa
anda lihat pada tabel yang digambarkan sebelum unggahan di kanal ini!
Sebagai resiko usaha, uang fiat ini tidak
bisa didiamkan begitu saja. Yang menjadi persoalan bagaimana selanjutnya uang
ini dapat berperan sebagai alat tukar atas suatu barang, padahal ia tidak
memiliki jaminan berupa aset? Persoalan ini kemudian mengundang pemikiran dari
para pialang pasar di seluruh dunia.
Perlu diketahui bahwa uang bisanya dijadikan
sebagai alat tukar manakala ia memiliki “Standar Nilai Tukar” (qîmatul mitslî)
yang diakui oleh pasar. Sebagaimana sejarah uang sebelumnya yang menjadikan
garam sebagai alat tukar, ia wajib memiliki standar nilai tukar. Selain itu,
uang juga harus memiliki nilai nominal (mutaqawwam) yang bisa dijamin
keberadaannya. Bila dalam sejarah uang klasik, nilai mutaqawwam ditentukan
berdasarkan wujud (ainul mitslî), maka pada uang fiat, keberadaan mutaqawwam
ini ditentukan berdasarkan apa? Padahal sebagai mutaqawwam, ia harus memiliki
nilai manfaat. Jika garam seberat 1 kg memiliki nilai manfaat yang bisa
digunakan untuk bumbu masak, emas bisa digunakan sebagai perhiasan, nilai
manfaat uang fiat ini terletak di mana?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini,
kita perlu mengetahui bagaimana uang fiat ini dibuat. Ada beberapa prosedur
bagaimana uang fiat ini dibuat dan diproses, antara lain: (1) uang fiat dibuat
oleh pemerintah, (2) uang ini dibikin berdasarkan regulasi global sistem
perbankan, dan (3) uang fiat bisa dipergunakan sebagai alat tukar karena faktor
nilai kepercayaan yang terdapat didalamnya disebabkan legal/sahnya uang
tersebut sebagai alat tukar.
Berdasarkan prosedur penerbitan tersebut,
maka nilai mutaqawwam uang fiat ini terletak pada “nilai kepercayaan” (amânah)
uang tersebut sebagai alat tukar karena dilegalkan oleh pemerintah. Nilai
kepercayaan ini terbentuk selain karena faktor dilegalkan, ia juga ditentukan
berdasarkan hasil kurs perdagangan antar negara. Dengan demikian, secara tidak
langsung, sisi mutaqawwam uang sudah jauh berbeda dengan mata uang klasik. Bila
mata uang klasik ditentukan berdasarkan “aset terjamin”, maka mata uang fiat
ditentukan berdasar kurs (sharf) di pasar internasional (masharif
tijâry).
Dengan memahami hal ini, maka sebenarnya
dalam uang fiat ini menyimpan “unsur tijariyah” yang bergantung pada “nilai
kepercayaan” uang tersebut sebagai “alat tukar” di pasaran. Singkatnya, uang
fiat bergantung pada pasar. Dengan demikian, nilai nominal (mutaqawwam) uang
juga bergantunng pada pasar. Inilah yang membedakan uang fiat dengan uang
kertas klasik berjamin aset. Oleh karena itu, para sarjana ekonomi selalu
menyebut bahwa uang fiat adalah uang yang tidak memiliki nilai intrinsik (nilai
bahan). Ia hanya menyimpan nilai ekstrinsik, yaitu nilai tukar yang diakui dan
mendapatkan legalitas dari negara.
Perpindahan unsur penyusun ini secara tidak
langsung membawa imbas dan pengaruh yang besar di masyarakat. Salah satu
contohnya adalah apabila seseorang meminjam uang 100 ribu rupiah, pada dasarnya
ia tidak meminjam wujud uang, melainkan meminjam nilai tukar. Pernahkah saudara
pembaca mencermati bahwa bila harga BBM (Bahan Bakar Minyak) naik, maka harga
kebutuhan bahan pokok rumah tangga menjadi naik pula? Mengapa? Jangan lupa
bahwa kajian kita adalah fokus pada unsur pembentuk Uang Fiat!
Jika kita teliti lebih lanjut, maka inflasi
yang terjadi pada harga bahan pokok adalah sebuah resiko dari kenaikan BBM.
Artinya, bahwa harga dan manfaat BBM merupakan standar (mitsil) harga.
Kenaikannya menyebabkan kenaikan bahan pokok. Turunnya, juga membawa imbas
turunnya harga bahan pokok. Jika harga ditentukan oleh “bahan uang”
(mutaqawwam), maka semestinya kenaikan harga BBM tidak membawa pengaruh pada
harga bahan pokok. Demikian pula, seharusnya tidak perlu ada kenaikan harga
BBM, karena “bahan uang” tertentu pada dasarnya adalah sama harganya dengan
harga BBM per liternya. Namun, mengapa harus naik? Tidak lain jawabnya adalah
sedang ada penurunan “nilai kepercayaan uang” terhadap BBM. Dengan demikian,
“nilai kepercayaan” uang tersebut yang diambil, dan bukan “nilai bahan”.
Hal yang berbeda akan terjadi apabila
pertukaran terjadi antar bahan. Misal, 1 gram emas dapat ditukar dengan 30 kg
beras. Ketika emas yang diserahkan adalah seberat 2 gram, maka imbal baliknya
adalah pihak lawan harus menyerahkan 60 kg beras. Atau sebaliknya, pihak
penjual harus mengembalikan 1 gram emas sebagai bentuk selisih. Kejadian seperti
ini bisa berlangsung manakala ia terjadi pada pasar yang masih steril. Dan yang
perlu menjadi catatan adalah emas dan beras di sini keduanya adalah sama-sama
merupakan barang komoditas. Berbeda apabila emas tersebut adalah uang. Maka ia
memiliki nilai tukar sekaligus nilai bahan. Andai nilai tukar hilang, maka ia
masih berwujud nilai bahan. Nilai bahan ini masih bisa dipertukarkan disebabkan
bisa dipergunakan untuk kebutuhan lain, seperti diubah menjadi perhiasan, dan
lain sebagainya. Namun keberadaan nilai bahan ini hilang, pada uang fiat. Yang
tersisa adalah nilai tukar.
Sekarang, bayangkan bahwa anda memegang
sebuah uang senilai 50 ribu rupiah. Anda bisa menggunakannya untuk membeli
kebutuhan-kebutuhan yang senilai dengan itu. Dan sekarang bayangkan kembali,
bahwa gambar yang terdapat uang anda hilang sehingga yang tersisa tinggal
lembar kertas kosong. Apakah anda masih bisa menggunakannya kembali? Tentu
tidak bukan? Semoga bermanfaat!
Wallahu a’lam bish shawab. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar