Senin, 15 Juli 2019

Tuan Syekh Djalaluddin Pane Parsambilan dan Gerakan Aswaja di Tapanuli (4)


Tuan Syekh Djalaluddin Pane Parsambilan dan Gerakan Aswaja di Tapanuli (4)

Padamnya Api Dendam

Di suatu senja, ketika Jalo  sedang istirahat, ia mendekati Tuanku Tambuse sambil bertanya, ”Maaf Tuanku Panglima Perang, tahukah tuanku siapa panglima perang yang datang memerangi tanah Sipirok beberapa tahun yang lalu? Haraplah tuanku bersedia memberi penjelasan.”

Tuanku Tambuse sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu, kemudian menjawab, ”Menurut kabar yang saya dengar ketika di tanah Daludulu, dalam perang Minangkabau, ada seorang panglima dari Rao yang bergerak ke tanah Batak.”

”Siapakah nama panglima itu?” tanya Jalo.

”Panglima Batak dengan membawa pasukan besar,” jawab Tuanku Tambuse.

”Panglima Batak atau Panglima Rao?” kali ini Jalo bertanya dengan nada penasaran.

”Orang asal Batak yang diangkat menjadi panglima dan menantu oleh Baginda Tuanku Rao. Nama panglima itu saya kurang tahu, hanya yang jelas, dia adalah pahlawan Islam,” jawab Tuanku Tambuse.

Mendengar penjelasan , Jalo terdiam sejenak. Kelihatan ia sedang memikirkan ucapan Tuanku Tambuse.

”Mengapa engkau menanyakan hal itu, anak muda?” tanya Tuanku Tambuse.

”Panglima itu telah membunuh ayahku ketika saya masih kecil,” jawab Jalo sedih.

”Ya Allah...dari Allah kembali kepada Allah. Kita sebagai umat Islam harus melapangkan hati. Dalam perang, perkara bunuh membunuh itu wajar. Hanya syaratnya, kita berperang dalam kebenaran demi untuk menegakkan kebenaran diiringi niat suci,” jawab Tuanku Tambuse dengan nada yang miris.

”Maaf tuanku, Kalau memang Islam itu benar, mengapa harus berperang?” tanya Jalo.

”Dalam Islam, tidak boleh ragu-ragu. Berperang demi mencapai kebenaran yang diridhai Allah adalah diwajibkan terhadap setiap kaum Muslim,” jawab Tuanku Tambuse dengan tegas.

Kemudian Jalo menarik nafas panjang, lalu bertanya, ”Salahkah jikalau seseorang akan membalas dendam?”

”Dalam agama dilarang untuk untuk membalas dendam!” Tuanku Tambuse mencoba memberikan penjelasan.

”Jikalau dendam itu karena benar?”

”Dalam kebenaran tidak ada dendam!”

”Kalau sekiranya terjadi juga?”

”Hal demikian adalah suatu perbuatan dosa yang besar.”

”Demi untuk menunaikan amanah orang tua yang sakit hati, apakah kita tidak lebih berdosa andai kata tidak dilaksanakan?”

Tanya jawab yang susul-menyusul antara guru dan murid ini belum berakhir dengan pertanyaan Jalo. Tuanku Tambuse terdiam mendengar pertanyaan terakhir Jalo tersebut yang tidak pernah diduganya.

”Katakanlah, apa sesungguhnya yang tersirat dalam pertanyaanmu itu,” tanya Tuanku Tambuse kemudian sambil menepuk-nepuk bahu Jalo.

”Terlebih dahulu, maaf Tuanku Panglima Perang...sesungguhnya aku telah sekian lama bermaksud untuk membalas dendam terhadap si pembunuh mendiang ayahku. Bermula, aku bertekad untuk menjumpai Tuanku Panglima, justru aku menyangka sejak semula bahwa Tuanku Panglima lah yang membunuh ayah ketika memerangi tanah Batak dahulu. Syukurlah..., kiranya bukan tuanku yang akan menjadi tumpuan dendamku yang salah,” kata Jalo yang diiringi deraian air mata.

Melihat air mata Jalo yang keluar, air mata kesadaran, Tuanku Tambuse pun turut terharu dan berlinang air mata.

Peristiwa dialog ini terjadi di Gunung Tua pada akhir tahun 1885 M. Dialog ini diperoleh Ender Pane dari seorang tua bekas murid Tuan Syekh Djalaluddin Pane.

Sejak dialog itu, Jalo mendapat perhatian khusus dari Tuanku Tambuse. Ia makin intensif dididik oleh Tuanku Tambuse tentang pelajaran agama Islam. Setelah memperoleh kemantapan, nama ”Jalo” diganti menjadi ”Djalaluddin” (yang artinya kemuliaan atau keagungan agama). Maksud pergantian nama ini adalah untuk menyesuaikan namanya dengan nama Islam. Penggantian nama ini membuat Jalo makin dikenal orang sebagai muballigh muda yang sering mendampingi Tuanku Tambuse dalam kegiatan-kegiatan tablignya.

Pada pertengahan tahun 1837 M, Tuanku Tambuse meninggalkan daerah Padang Lawas di saat-saat berakhirnya Perang Minangkabau dan juga ketika itu daerah asalnya, Dalu-Dalu, sedang terancam api peperangan melawan Belanda. Djalaluddin sengaja tidak diikutsertakan oleh Tuanku Tambuse karena usia Djalaluddin masih terlalu muda, 14 tahun, yang masih panjang masa depannya sehingga lebih baik tinggal di Padang Lawas sebagai kader Islam dan dapat mengembangkan diri menjadi mubalig tangguh.

Di samping itu ada firasat buruk dari Tuanku Tambuse bahwa peperangan ini adalah peperangan yang bakal menimbulkan banyak korban bahkan bisa saja menjadi peperangan terakhirnya. Firasat yang kemudian menjadi kenyataan karena pada peperangan yang terjadi pada bulan Oktober 1837 M, Dalu-Dalu jatuh ke tangan Kompeni Belanda dan panglima perang yang gagah perkasa, Tuanku Tambuse gugur.

Menjadi Pengembala Umat
Setelah gurunya pergi, Djalaluddin menjadi lebih waspada. Dia menganggap bahwa pasukan Belanda juga akan membunuhnya, terlebih di tanah Minangkabau sedang bergejolak perang dengan Belanda dan akan terus merambat ke daerah Tapanuli, ke Padang Lawas. Apalagi, dia diamanatkan sebagai pengganti Tuanku Tambuse di daerah Padang Lawas ini.

Gurunya ini pernah berkata, ”Jagalah keselamatan dirimu terhadap Belanda di daerah Padang Lawas ini. Amanahku, kamulah muridku sebagai pengganti diriku untuk mengembangkan agama Islam. Kembangkanlah agama Allah sebelum engkau mati. Engkau masih muda, masih banyak yang dapat engkau lakukan di daerah ini.”

Walaupun Djalaluddin bukan seorang pejuang perang, namun dirinya tetap akan dikejar oleh marsose Belanda yang terkenal tidak berperikemanusiaan itu karena dirinya adalah pengganti seorang panglima perang. Karena dia diamanatkan untuk mengembangkan ajaran Islam dan tidak punya keahlian perang untuk melawan Belanda, ia pun meninggalkan Padang Lawas yang sebentar lagi akan diserbu pasukan Belanda dengan tekad akan kembali ke daerah itu jika keadaannya sudah memungkinkan.

Djalaluddin pun melakukan pengembaraan seorang diri, berpindah-pindah ke Luat Harangan, Padang Bolak dan terus ke Sipiongot. Pengembaraannya ini dibilang luar biasa untuk ukuran waktu itu. Bagaimana tidak? Pada masa itu sekitar tahun 1838 M, Luat Harangan dan Sipiongot masih merupakan daerah tertutup dan terpencil dari masyarakat ramai. Mayoritas penduduk di kedua daerah tersebut masih menganut pelbegu dan sangat primitif. Masih banyak memiliki binatang-binatang buas dan berbisa, berdesa kecil yang berjarak berjauhan. Jika bukan pertolongan Allah, Djalaluddin tidak akan selamat dalam pengembaraannya itu.

Di dalam pengembaraannya itu, Djalaluddin memberi pengobatan dan melakukan dakwah Islam. Begitu sabar dan tekun dia melakukannya, penduduk daerah Luat Harangan dan Sipiongot akhirnya sedikit demi sedikit dapat memahami dakwah Islam yang disampaikannya.

Walhasil, setiap kehadiran Djalaluddin di suatu desa selalu disambut hangat oleh penduduknya, seperti menyambut keluarga sendiri. Sedangkan desa-desa yang belum didatanginya menanti-nanti kedatangannya karena mendengar kesaktiannya dari desa lain yang pernah dikunjunginya. 

Djalaluddin terus mengembara dari desa ke desa lain sampai tiba di Simangambat yang penduduknya telah banyak memeluk agama Islam, yaitu sejak Pongki Nangolngolan datang ke daerah itu. Di daerah ini, kedatangan Djalaluddin disambut dengan meriah. Tidak lama kemudian, ia memutuskan untuk mengakhiri perjalanannya kali ini ke kampung kelahirannya, Paran Padang, Sipirok di usianya yang ke-17 (sekitar tahun 1840 M).

Salah satu tujuan kedatangannya ke Paran Padang, Sipirok, adalah untuk menghadiri horja godang (pesta) pernikahan saudara sepupunya, Tahuru. Pada horja godang itu, Djalaluddin menjadi salah seorang yang turut mendampingi perkawinan tersebut yang walau masih memakai adat lama, tetapi berjalan secara Islami. Ia juga didaulat menjadi salah seorang yang membacakan doa selamatan pernikahan tersebut karena dianggap mampu. (bersambung...)

Rakhmad Zailani Kiki. Penulis adalah sekretaris RMI NU DKI Jakarta. Ia juga diamanahi sebagai Kepala Divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre (JIC).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar