Tuan Syekh
Djalaluddin Pane Parsambilan dan Gerakan Aswaja di Tapanuli (4)
Padamnya Api Dendam
Di suatu senja,
ketika Jalo sedang istirahat, ia mendekati Tuanku Tambuse sambil
bertanya, ”Maaf Tuanku Panglima Perang, tahukah tuanku siapa panglima perang
yang datang memerangi tanah Sipirok beberapa tahun yang lalu? Haraplah tuanku
bersedia memberi penjelasan.”
Tuanku Tambuse
sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu, kemudian menjawab, ”Menurut kabar
yang saya dengar ketika di tanah Daludulu, dalam perang Minangkabau, ada
seorang panglima dari Rao yang bergerak ke tanah Batak.”
”Siapakah nama
panglima itu?” tanya Jalo.
”Panglima Batak
dengan membawa pasukan besar,” jawab Tuanku Tambuse.
”Panglima Batak atau
Panglima Rao?” kali ini Jalo bertanya dengan nada penasaran.
”Orang asal Batak
yang diangkat menjadi panglima dan menantu oleh Baginda Tuanku Rao. Nama
panglima itu saya kurang tahu, hanya yang jelas, dia adalah pahlawan Islam,”
jawab Tuanku Tambuse.
Mendengar penjelasan
, Jalo terdiam sejenak. Kelihatan ia sedang memikirkan ucapan Tuanku Tambuse.
”Mengapa engkau
menanyakan hal itu, anak muda?” tanya Tuanku Tambuse.
”Panglima itu telah
membunuh ayahku ketika saya masih kecil,” jawab Jalo sedih.
”Ya Allah...dari
Allah kembali kepada Allah. Kita sebagai umat Islam harus melapangkan hati.
Dalam perang, perkara bunuh membunuh itu wajar. Hanya syaratnya, kita berperang
dalam kebenaran demi untuk menegakkan kebenaran diiringi niat suci,” jawab
Tuanku Tambuse dengan nada yang miris.
”Maaf tuanku, Kalau
memang Islam itu benar, mengapa harus berperang?” tanya Jalo.
”Dalam Islam, tidak
boleh ragu-ragu. Berperang demi mencapai kebenaran yang diridhai Allah adalah
diwajibkan terhadap setiap kaum Muslim,” jawab Tuanku Tambuse dengan tegas.
Kemudian Jalo menarik
nafas panjang, lalu bertanya, ”Salahkah jikalau seseorang akan membalas
dendam?”
”Dalam agama dilarang
untuk untuk membalas dendam!” Tuanku Tambuse mencoba memberikan penjelasan.
”Jikalau dendam itu
karena benar?”
”Dalam kebenaran
tidak ada dendam!”
”Kalau sekiranya
terjadi juga?”
”Hal demikian adalah
suatu perbuatan dosa yang besar.”
”Demi untuk
menunaikan amanah orang tua yang sakit hati, apakah kita tidak lebih berdosa
andai kata tidak dilaksanakan?”
Tanya jawab yang
susul-menyusul antara guru dan murid ini belum berakhir dengan pertanyaan Jalo.
Tuanku Tambuse terdiam mendengar pertanyaan terakhir Jalo tersebut yang tidak
pernah diduganya.
”Katakanlah, apa
sesungguhnya yang tersirat dalam pertanyaanmu itu,” tanya Tuanku Tambuse
kemudian sambil menepuk-nepuk bahu Jalo.
”Terlebih dahulu,
maaf Tuanku Panglima Perang...sesungguhnya aku telah sekian lama bermaksud
untuk membalas dendam terhadap si pembunuh mendiang ayahku. Bermula, aku
bertekad untuk menjumpai Tuanku Panglima, justru aku menyangka sejak semula
bahwa Tuanku Panglima lah yang membunuh ayah ketika memerangi tanah Batak dahulu.
Syukurlah..., kiranya bukan tuanku yang akan menjadi tumpuan dendamku yang
salah,” kata Jalo yang diiringi deraian air mata.
Melihat air mata Jalo
yang keluar, air mata kesadaran, Tuanku Tambuse pun turut terharu dan berlinang
air mata.
Peristiwa dialog ini
terjadi di Gunung Tua pada akhir tahun 1885 M. Dialog ini diperoleh Ender Pane
dari seorang tua bekas murid Tuan Syekh Djalaluddin Pane.
Sejak dialog itu,
Jalo mendapat perhatian khusus dari Tuanku Tambuse. Ia makin intensif dididik
oleh Tuanku Tambuse tentang pelajaran agama Islam. Setelah memperoleh
kemantapan, nama ”Jalo” diganti menjadi ”Djalaluddin” (yang artinya kemuliaan
atau keagungan agama). Maksud pergantian nama ini adalah untuk menyesuaikan
namanya dengan nama Islam. Penggantian nama ini membuat Jalo makin dikenal
orang sebagai muballigh muda yang sering mendampingi Tuanku Tambuse dalam
kegiatan-kegiatan tablignya.
Pada pertengahan
tahun 1837 M, Tuanku Tambuse meninggalkan daerah Padang Lawas di saat-saat
berakhirnya Perang Minangkabau dan juga ketika itu daerah asalnya, Dalu-Dalu,
sedang terancam api peperangan melawan Belanda. Djalaluddin sengaja tidak
diikutsertakan oleh Tuanku Tambuse karena usia Djalaluddin masih terlalu muda,
14 tahun, yang masih panjang masa depannya sehingga lebih baik tinggal di
Padang Lawas sebagai kader Islam dan dapat mengembangkan diri menjadi mubalig
tangguh.
Di samping itu ada
firasat buruk dari Tuanku Tambuse bahwa peperangan ini adalah peperangan yang
bakal menimbulkan banyak korban bahkan bisa saja menjadi peperangan
terakhirnya. Firasat yang kemudian menjadi kenyataan karena pada peperangan
yang terjadi pada bulan Oktober 1837 M, Dalu-Dalu jatuh ke tangan Kompeni
Belanda dan panglima perang yang gagah perkasa, Tuanku Tambuse gugur.
Menjadi Pengembala Umat
Setelah gurunya
pergi, Djalaluddin menjadi lebih waspada. Dia menganggap bahwa pasukan Belanda
juga akan membunuhnya, terlebih di tanah Minangkabau sedang bergejolak perang
dengan Belanda dan akan terus merambat ke daerah Tapanuli, ke Padang Lawas. Apalagi,
dia diamanatkan sebagai pengganti Tuanku Tambuse di daerah Padang Lawas ini.
Gurunya ini pernah
berkata, ”Jagalah keselamatan dirimu terhadap Belanda di daerah Padang Lawas
ini. Amanahku, kamulah muridku sebagai pengganti diriku untuk mengembangkan agama
Islam. Kembangkanlah agama Allah sebelum engkau mati. Engkau masih muda, masih
banyak yang dapat engkau lakukan di daerah ini.”
Walaupun Djalaluddin
bukan seorang pejuang perang, namun dirinya tetap akan dikejar oleh marsose
Belanda yang terkenal tidak berperikemanusiaan itu karena dirinya adalah
pengganti seorang panglima perang. Karena dia diamanatkan untuk mengembangkan
ajaran Islam dan tidak punya keahlian perang untuk melawan Belanda, ia pun
meninggalkan Padang Lawas yang sebentar lagi akan diserbu pasukan Belanda
dengan tekad akan kembali ke daerah itu jika keadaannya sudah memungkinkan.
Djalaluddin pun
melakukan pengembaraan seorang diri, berpindah-pindah ke Luat Harangan, Padang
Bolak dan terus ke Sipiongot. Pengembaraannya ini dibilang luar biasa untuk
ukuran waktu itu. Bagaimana tidak? Pada masa itu sekitar tahun 1838 M, Luat
Harangan dan Sipiongot masih merupakan daerah tertutup dan terpencil dari
masyarakat ramai. Mayoritas penduduk di kedua daerah tersebut masih menganut
pelbegu dan sangat primitif. Masih banyak memiliki binatang-binatang buas dan
berbisa, berdesa kecil yang berjarak berjauhan. Jika bukan pertolongan Allah,
Djalaluddin tidak akan selamat dalam pengembaraannya itu.
Di dalam
pengembaraannya itu, Djalaluddin memberi pengobatan dan melakukan dakwah Islam.
Begitu sabar dan tekun dia melakukannya, penduduk daerah Luat Harangan dan
Sipiongot akhirnya sedikit demi sedikit dapat memahami dakwah Islam yang
disampaikannya.
Walhasil, setiap
kehadiran Djalaluddin di suatu desa selalu disambut hangat oleh penduduknya,
seperti menyambut keluarga sendiri. Sedangkan desa-desa yang belum didatanginya
menanti-nanti kedatangannya karena mendengar kesaktiannya dari desa lain yang
pernah dikunjunginya.
Djalaluddin terus
mengembara dari desa ke desa lain sampai tiba di Simangambat yang penduduknya
telah banyak memeluk agama Islam, yaitu sejak Pongki Nangolngolan datang ke
daerah itu. Di daerah ini, kedatangan Djalaluddin disambut dengan meriah. Tidak
lama kemudian, ia memutuskan untuk mengakhiri perjalanannya kali ini ke kampung
kelahirannya, Paran Padang, Sipirok di usianya yang ke-17 (sekitar tahun 1840
M).
Salah satu tujuan
kedatangannya ke Paran Padang, Sipirok, adalah untuk menghadiri horja godang
(pesta) pernikahan saudara sepupunya, Tahuru. Pada horja godang itu,
Djalaluddin menjadi salah seorang yang turut mendampingi perkawinan tersebut
yang walau masih memakai adat lama, tetapi berjalan secara Islami. Ia juga
didaulat menjadi salah seorang yang membacakan doa selamatan pernikahan
tersebut karena dianggap mampu. (bersambung...)
Rakhmad Zailani Kiki.
Penulis adalah sekretaris RMI NU DKI Jakarta. Ia juga diamanahi sebagai Kepala
Divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre (JIC).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar