KHUTBAH JUMAT
Apa yang Terbesit di Balik Keinginan
Berangkat Haji?
Khutbah I
الحَمْدُ
لِلهِ الَّذِيْ خَلَقَ الزّمَانَ وَفَضَّلَ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ فَخَصَّ بَعْضُ
الشُّهُوْرِ وَالأَيَّامِ وَالَليَالِي بِمَزَايَا وَفَضَائِلِ يُعَظَّمُ فِيْهَا
الأَجْرُ والحَسَنَاتُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ
شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى
بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ إِلَى الرَّشَادِ. اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ علَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ
مُحَمّدٍ وَعَلَى آلِه وأصْحَابِهِ هُدَاةِ الأَنَامِ في أَنْحَاءِ البِلاَدِ.
أمَّا بعْدُ، فيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللهَ تَعَالَى بِفِعْلِ
الطَّاعَاتِ
فَقَدْ
قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ:
إِنَّ
عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ
يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ. وقال أيضًا:
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى
لِلْعَالَمِينَ، فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ
كَانَ آمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ
سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Jamaah shalat Jumat hafidhakumullâh,
Di antara lima rukun Islam, haji merupakan
ibadah yang tergolong “mewah dan berat”. Bukan hanya karena membutuhkan ongkos
yang mahal bagi kebanyakan orang, tapi juga pelaksanaannya memakan waktu dan
energi yang cukup banyak. Kesadaran akan keterpanggilan pun sangat menentukan.
Betapa banyak orang kaya raya yang tak berangkat haji. Sebaliknya, betapa
sering kita mendengar orang dengan ekonomi pas-pasan mampu menunaikan haji.
Karena itu, tak heran bila haji adalah rukun yang paling jarang dipenuhi
dibanding empat rukun lainnya, entah karena sengaja atau karena ada uzur
syar’i.
Keramaian tentang ibadah haji biasanya sudah
mulai kita dengar pada bulan Syawal dan Dzulqa’dah berlanjut kemudian
Dzulhijjah yang memang menjadi momentum utama pelaksanaan haji. Dzulhijjah
secara bahasa berarti bulan haji. Memasuki bulan ke-10 atau ke-11 orang-orang
sudah disibukkan dengan tradisi walimatus safar atau syukuran
menjelang keberangkatan haji. Media-media pun telah ramai memberitakan berbagai
persiapan dan aktivitas di Tanah Suci. Mari kita doakan kepada saudara-saudara
kita yang sedang menempuh perjalanan mulia ini, semoga senantiasa mendapat
bimbingan dari Allah dan menghasilkan haji yang mabrur!
Jamaah shalat Jumat hafidhakumullâh,
Di tengah hiruk pikuk orang berangkat haji
itulah, orang-orang yang belum mendapat anugerah berangkat haji terpacu lagi
gairahnya untuk bisa menunaikan rukun Islam kelima tersebut. Semangat mereka
seolah dipompa kembali, angan-angan agar bisa mengenakan pakaian ihram dan
mengitari Ka’bah hidup lagi. Sebuah mimpi dan kehendak yang amat wajar.
Kewajiban haji salah satunya tertuang dalam
ayat:
وَلِلهِ
عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke
Baitullah,” (QS Ali Imran: 97).
Ayat ini kerap kita muncul dan kita dengar
dalam konteks penjelasan tentang kewajiban berhaji bagi yang mampu.
Dijelaskanlah tolok ukur mampu mulai dari segi ekonomi, kesehatan fisik,
transportasi, keamanan, dan lainnya. Keterangan tersebut mengacu pada frasa dalam
ayat: man-istathâ‘a ilaihi sabîlâ. Yang kerap tertinggal dari
penjelasan tersebut justru frasa di awal: lillâh (untuk
Allah).
Lillâh dalam ayat tersebut amat krusial
karena merupakan ruh dari kewajiban haji. Semampu apa pun seseorang berhaji ia
mesti memancangkan niatnya secara serius untuk semata karena dan kepada
Allah ta’âlâ. Jika kata “haji” secara bahasa berarti menyengaja, maka inti dari
kesengajaan itu sepenuhnya tertuju pada maksud tulus menggapai ridha
Allah subhanahu wata’ala.
Pertanyaannya: bila keinginan kita ke Tanah
Suci kembali meledak-ledak di musim haji ini, untuk siapa atau untuk apakah
keinginan itu? Adakah yang terbesit selain beribadah kepada Allah di balik
keinginan tersebut?
Jamaah shalat Jumat hafidhakumullâh,
Di luar keperluan ibadah, haji tak dipungkiri
memang mengandung kepentingan-kepentingan lain yang bersifat duniawi. Pertama,
secara sosial, haji bisa membuat seseorang merasa “naik kelas” karena faktor
budaya yang berkembang di masyarakat kita. Biaya haji yang tidak sedikit
memberi kesan bahwa orang haji adalah orang mampu, mapan, dan kaya. Gelar
“haji” yang diperoleh sepulang nanti juga kian menambah citra kesalehan dan
kehormatan diri. Dengan demikian status sosial pun meningkat dari “biasa-biasa”
saja menjadi “luar biasa”. Penyakit hati yang mengiringi kondisi ini biasanya
adalah sombong, ujub, dan merasa “lebih” daripada orang lain.
Godaan jenis ini adalah yang paling sering
menjangkiti jamaah haji atau siapa pun yang berkeinginan berangkat haji.
Keuntungan duniawi yang diraup setelah pulang haji nanti tak jarang melenakan
tujuan hakiki haji, yakni menunaikan pilar kelima dalam Islam tulus karena
Allah subhanahu wata’ala. Gejala ini biasanya tampak ketika
sepulang haji seseorang banyak berubah pada tataran penampilan ketimbang
perilaku.
Kedua, haji sebagai wahana jalan-jalan dan
bersenang-senang. Bagi orang yang belum ke Makkah dan Madinah—apalagi belum
pernah ke luar negeri mana pun—haji bisa jadi merupakan kemewahan tersendiri.
Gambaran suasana Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Ka’bah, padang Arafah, atau
bukit-bukit di tanah Arab yang biasanya hanya terpampang dalam foto dan media
elektronik, akhirnya dialami secara nyata. Dalam suasana psikologis demikian,
tak jarang haji adalah sekaligus momentum berbelanja, selfie (swafoto), dan
berkunjung ke tempat-tempat menarik. Penyakit haji yang biasanya menyertai
adalah pamer, boros (mubazir), dan semacamnya.
Imam al-Ghazali dalam al-Adab fid
Dîn berpesan bahwa saat seseorang sampai di kota Makkah seyogianya
menerapkan etika-etika yang patut, semisal memasuki Masjidil Haram dengan penuh
rasa takzim, menyaksikan Ka’bah sembari takbir dan tahlil, dan lain sebagainya.
Intinya, adab yang penting ditonjolkan adalah sikap rendah hati, sopan, tulus,
dan penuh dengan gerak-gerik yang mengagungkan Allah.
Di luar ada kedua motif status sosial dan
jalan-jalan, dorongan lain seseorang datang ke Tanah Suci bisa jadi adalah
meraup keuntungan ekonomi. Motif ini lazimnya melekat pada diri para pelaku
bisnis yang mendapatkan berkah dari musim haji. Membludaknya jamaah adalah
potensi pasar yang nyata. Momentum yang tepat adalah surga bagi komoditas untuk
laris di pasaran.
Jamaah shalat Jumat hafidhakumullâh,
Sesuai dengan namanya, haji adalah persoalan
menata niat, sebelum hal-hal lain menyangkut ongkos, transportasi, dan
aktivitas manasik. Keliru menata niat akan berakibat pada kerugian yang besar,
mengingat pengorbanan yang dicurahkan untuk ibadah haji juga besar. Bukankah
sia-sia belaka membangun istana megah di atas fondasi yang rusak?
Secara fiqih ibadah haji mungkin sah, tapi
secara hakiki bisa jadi keropos baik sejak sebelum berangkat haji, saat
berhaji, bahkan setelah berhaji. Ini adalah tantangan yang amat sulit karena
memang berurusan dengan persoalan hati. Apa yang terbesit di benak dan hati
seseorang ketika dirinya berkeinginan naik haji? Sudah tuluskah karena ingin
menghamba dan mencapai ridha Allah? Atau masih tercampur dengan noda-noda
duniawi yang dapat merusak kualitas haji?
Bagi yang baru pada level ingin berangkat
haji, ikhtiar mesti dimulai dari perjuangan menata niat, sembari mempersiapkan
kebutuhan-kebutuhan lain yang senantiasa dilambari dengan doa kepada-Nya.
Semoga kita termasuk orang-orang yang diberi kesempatan berkunjung ke Baitullah
dan berziarah ke makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Bagi saudara-saudara kita yang sedang bersiap menunaikan ibadah haji, semoga
diberi kelancaran dan menggapai tujuan hakiki haji, yakni ridha Allah subhanahu
wata’ala. Wallahu a’lam bish shawab.
بَارَكَ
الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ
بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ
تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا
فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
Khutbah II
اَلْحَمْدُ
للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ
وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ
رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ
وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
أَمَّا
بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا
عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ
بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ
وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا
صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ
وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ
الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ
اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ
الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ
اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ
اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ
وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ
اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ
اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ
الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ
وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ
عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى
اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا
وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ.
عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ
ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ
وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar