Cara Shalat di Bus ketika
Seluruh Waktu Shalat Habis di Perjalanan
Pertanyaan:
Assalamualaikum Ustadz, Saya mau tanya.
Bagaimana cara mengerjakan shalat ashar di waktu maghrib bagi musafir.
Sedangkan shalat tidak bisa dijamak dengan maghrib. Padahal jadwal
keberangkatan bus yang saya naiki jam dua siang, antara waktu dhuhur dan ashar.
Bagaimana solusinya ustadz? Terima kasih.
Abrori S.
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahamtullahi wabarakatuh,
penanya yang budiman, semoga senantiasa dirahmati oleh Allah subhanahu
wata’ala.
Permasalahan yang Anda tanyakan lebih fokus
pada persoalan bagaimana melaksanakan shalat ashar ketika seseorang berada di
perjalanan pada seluruh waktu shalat ashar, mulai awal hingga akhir. Sehingga
tidak dimungkinkan baginya untuk melaksanakan shalat ashar secara sempurna.
Dalam menyikapi pertanyaan Anda, patut
dipahami bahwa Anda harus tetap melaksanakan shalat ashar pada saat waktu
shalat ashar sedang berlangsung meskipun dengan cara yang tidak sempurna,
shalat ini biasa disebut dengan shalat li hurmatil waqti (untuk menghormati
waktu shalat).
Salah satu ketentuan dalam pelaksanaan shalat
li hurmatil waqti yaitu wajib bagi seseorang untuk melaksanakan rukun dan
syarat-syarat shalat yang mampu ia lakukan, sedangkan untuk syarat atau rukun
yang tidak mampu ia lakukan, syara' menoleransi hal ini karena sudah bukan
termasuk hal yang dapat ia jangkau dan shalatnya wajib untuk diulang kembali
(i'adah) dalam keadaan sempurna ketika telah sampai di tempat tujuan.
Dalam praktik shalat li hurmatil waqti di
bus, sulit utuk melaksanakan beberapa rukun-rukun dan syarat-syarat shalat
dengan sempurna, seperti tidak dapat menghadap kiblat, menyempurnakan ruku’ dan
sujud, serta rukun-rukun lain yang sulit untuk dilakukan. Sehingga cara shalat
yang realistis dilakukan bagi orang dalam perjalanan bus adalah dengan duduk di
kursi (jika tidak memungkinkan berdiri) dengan menghadap arah tujuan (jika
tidak memungkinkan menghadap arah kiblat), lalu ketika hendak ruku’ dan sujud
ia membungkuk sebagai isyarat tanda perpindahan rukun—dengan ketentuan
membungkuk untuk sujud dilakukan dengan cara lebih rendah daripada membungkuk
untuk ruku’. Gerakan-gerakan demikian dilakukan sampai dengan akhir rakaat dan
diakhiri dengan salam.
Sedangkan dalam hal kewajiban melakukan
wudhu, baiknya seseorang melakukan wudhu sebelum perjalanan. Namun ketika naik
di bus dalam keadaan tidak memiliki wudhu, atau di tengah perjalanan wudhu-nya
batal, maka ia baiknya menunggu barangkali bus berhenti di tempat
pemberhentian (seperti SPBU, rest area, terminal, dll) yang sekiranya waktu
pemberhentian bus cukup untuk dibuat melaksanakan wudhu, agar ia dapat
melaksanakan wudhu sebelum melaksanakan shalatnya.
Namun ketika ia menduga kuat bus tidak
berhenti pada saat waktu ashar, atau berhenti namun waktunya tidak memungkinkan
untuk melakukan wudhu, maka ia tetap wajib melaksanakan shalat ashar li
hurmatil waqti, meskipun tanpa wudhu. Sebab melaksanakan wudhu baginya adalah
sesuatu yang bukan jangkauannya, sehingga tidak wajib untuk dilakukan.
Setelah melaksanakan shalat ashar di bus
dengan cara yang dijelaskan di atas, ia dianggap telah melaksanakan kewajiban
berupa menghormati datangnya waktu shalat dengan melaksanakan shalat
semampunya, namun bukan berarti kewajiban shalat ashar telah gugur baginya,
sebab ia masih wajib mengulangi shalat ashar tersebut (secara lebih sempurna)
ketika telah sampai di tempat tujuan.
Ketentuan di atas adalah pandangan mayoritas
ulama mazhab Syafi’iyah yang mewajibkan melaksanakan shalat li hurmatil waqti
pada saat perjalanan. Namun ada pula pendapat lain dalam mazhab Syafi’i yang
berpandangan bahwa tidak wajib melaksanakan shalat yang nantinya akan diulang
kembali (di-qadha). Pedapat ini seperti yang ditegaskan dalam Hasyiyah Ibnu
Qasim 'ala al-Ghurar al-Bahiyah:
وَنَقَلَ
إمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَالْغَزَالِيُّ أَنَّ لِلشَّافِعِيِّ قَوْلًا أَنَّ كُلَّ
صَلَاةٍ تَفْتَقِرُ إلَى الْقَضَاءِ لَا يَجِبُ فِعْلُهَا فِي الْوَقْتِ وَبِهِ
قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ
"Imam Haramain dan Imam Ghazali menukil
bahwa dalam mazhab Syafi'i terdapat pendapat bahwa sesungguhnya setiap shalat
yang butuh (bisa) untuk di-qadha tidak wajib melaksanakannya pada waktunya,
pendapat ini juģa merupakan pendapat yang diutarakan Imam Abu Hanifah."
(Ibnu Qasim, Hasyiyah Ibnu Qasim 'ala al-Ghurar al-Bahiyah, Juz 1, Hal. 207)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bagi
anda, penanya yang budiman, dapat melaksanakan dua cara dalam merespons
kewajiban shalat ashar. Pertama, melaksanakan shalat ashar li hurmatil waqti
semampunya, dan mengulangi shalat ashar secara lebih sempurna ketika sampai di
tempat tujuan. Kedua, tidak melaksanakan shalat ashar sama sekali dengan niatan
nantinya ketika sampai di tempat tujuan akan mengqadha shalat ashar yang telah
tertinggal serta niat mengikuti (taqlid)pada ulama yang berpandangan demikian.
Hal yang lebih utama bagi penanya adalah memilih opsi pertama sebab merupakan
pendapat mayoritas ulama. Wallahu a’lam. []
Ustadz Ali Zainal Abidin
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar