Senin, 15 Juli 2019

(Ngaji of the Day) Cara Shalat di Bus ketika Seluruh Waktu Shalat Habis di Perjalanan


Cara Shalat di Bus ketika Seluruh Waktu Shalat Habis di Perjalanan

Pertanyaan:

Assalamualaikum Ustadz, Saya mau tanya. Bagaimana cara mengerjakan shalat ashar di waktu maghrib bagi musafir. Sedangkan shalat tidak bisa dijamak dengan maghrib. Padahal jadwal keberangkatan bus yang saya naiki jam dua siang, antara waktu dhuhur dan ashar. Bagaimana solusinya ustadz? Terima kasih.

Abrori S.

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahamtullahi wabarakatuh, penanya yang budiman, semoga senantiasa dirahmati oleh Allah subhanahu wata’ala.

Permasalahan yang Anda tanyakan lebih fokus pada persoalan bagaimana melaksanakan shalat ashar ketika seseorang berada di perjalanan pada seluruh waktu shalat ashar, mulai awal hingga akhir. Sehingga tidak dimungkinkan baginya untuk melaksanakan shalat ashar secara sempurna.

Dalam menyikapi pertanyaan Anda, patut dipahami bahwa Anda harus tetap melaksanakan shalat ashar pada saat waktu shalat ashar sedang berlangsung meskipun dengan cara yang tidak sempurna, shalat ini biasa disebut dengan shalat li hurmatil waqti (untuk menghormati waktu shalat).  

Salah satu ketentuan dalam pelaksanaan shalat li hurmatil waqti yaitu wajib bagi seseorang untuk melaksanakan rukun dan syarat-syarat shalat yang mampu ia lakukan, sedangkan untuk syarat atau rukun yang tidak mampu ia lakukan, syara' menoleransi hal ini karena sudah bukan termasuk hal yang dapat ia jangkau dan shalatnya wajib untuk diulang kembali (i'adah) dalam keadaan sempurna ketika telah sampai di tempat tujuan. 

Dalam praktik shalat li hurmatil waqti di bus, sulit utuk melaksanakan beberapa rukun-rukun dan syarat-syarat shalat dengan sempurna, seperti tidak dapat menghadap kiblat, menyempurnakan ruku’ dan sujud, serta rukun-rukun lain yang sulit untuk dilakukan. Sehingga cara shalat yang realistis dilakukan bagi orang dalam perjalanan bus adalah dengan duduk di kursi (jika tidak memungkinkan berdiri) dengan menghadap arah tujuan (jika tidak memungkinkan menghadap arah kiblat), lalu ketika hendak ruku’ dan sujud ia membungkuk sebagai isyarat tanda perpindahan rukun—dengan ketentuan membungkuk untuk sujud dilakukan dengan cara lebih rendah daripada membungkuk untuk ruku’. Gerakan-gerakan demikian dilakukan sampai dengan akhir rakaat dan diakhiri dengan salam. 

Sedangkan dalam hal kewajiban melakukan wudhu, baiknya seseorang melakukan wudhu sebelum perjalanan. Namun ketika naik di bus dalam keadaan tidak memiliki wudhu, atau di tengah perjalanan wudhu-nya batal,  maka ia baiknya menunggu barangkali bus berhenti di tempat pemberhentian (seperti SPBU, rest area, terminal, dll) yang sekiranya waktu pemberhentian bus cukup untuk dibuat melaksanakan wudhu, agar ia dapat melaksanakan wudhu sebelum melaksanakan shalatnya. 
Namun ketika ia menduga kuat bus tidak berhenti pada saat waktu ashar, atau berhenti namun waktunya tidak memungkinkan untuk melakukan wudhu, maka ia tetap wajib melaksanakan shalat ashar li hurmatil waqti, meskipun tanpa wudhu. Sebab melaksanakan wudhu baginya adalah sesuatu yang bukan jangkauannya, sehingga tidak wajib untuk dilakukan.

Setelah melaksanakan shalat ashar di bus dengan cara yang dijelaskan di atas, ia dianggap telah melaksanakan kewajiban berupa menghormati datangnya waktu shalat dengan melaksanakan shalat semampunya, namun bukan berarti kewajiban shalat ashar telah gugur baginya, sebab ia masih wajib mengulangi shalat ashar tersebut (secara lebih sempurna) ketika telah sampai di tempat tujuan. 

Ketentuan di atas adalah pandangan mayoritas ulama mazhab Syafi’iyah yang mewajibkan melaksanakan shalat li hurmatil waqti pada saat perjalanan. Namun ada pula pendapat lain dalam mazhab Syafi’i yang berpandangan bahwa tidak wajib melaksanakan shalat yang nantinya akan diulang kembali (di-qadha). Pedapat ini seperti yang ditegaskan dalam Hasyiyah Ibnu Qasim 'ala al-Ghurar al-Bahiyah:

وَنَقَلَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَالْغَزَالِيُّ أَنَّ لِلشَّافِعِيِّ قَوْلًا أَنَّ كُلَّ صَلَاةٍ تَفْتَقِرُ إلَى الْقَضَاءِ لَا يَجِبُ فِعْلُهَا فِي الْوَقْتِ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ

"Imam Haramain dan Imam Ghazali menukil bahwa dalam mazhab Syafi'i terdapat pendapat bahwa sesungguhnya setiap shalat yang butuh (bisa) untuk di-qadha tidak wajib melaksanakannya pada waktunya, pendapat ini juģa merupakan pendapat yang diutarakan Imam Abu Hanifah." (Ibnu Qasim, Hasyiyah Ibnu Qasim 'ala al-Ghurar al-Bahiyah, Juz 1, Hal. 207)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bagi anda, penanya yang budiman, dapat melaksanakan dua cara dalam merespons kewajiban shalat ashar. Pertama, melaksanakan shalat ashar li hurmatil waqti semampunya, dan mengulangi shalat ashar secara lebih sempurna ketika sampai di tempat tujuan. Kedua, tidak melaksanakan shalat ashar sama sekali dengan niatan nantinya ketika sampai di tempat tujuan akan mengqadha shalat ashar yang telah tertinggal serta niat mengikuti (taqlid)pada ulama yang berpandangan demikian. Hal yang lebih utama bagi penanya adalah memilih opsi pertama sebab merupakan pendapat mayoritas ulama. Wallahu a’lam. []

Ustadz  Ali Zainal Abidin
Tim Bahtsul Masail NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar