Pertikaian Pertama di
Tengah Umat Islam Sepeninggal Rasulullah SAW
Pertikaian sesama umat Islam terjadi bukan
baru-baru ini. Pertikaian sesama umat Islam sudah terjadi sejak awal sekali
persis pada hari wafat Rasulullah SAW. Pertikaian di tengah umat Islam terjadi
besar-besaran terjadi persis di hari wafatnya Rasulullah SAW.
Guru besar Ahlussunnah wal Jamaah Syekh Abul
Hasan Al-Asy‘ari menyebut pertikaian pertama yang terjadi di tengah umat Islam
sepeninggal Rasulullah SAW. Pertikaian ini dipicu oleh persoalan politik.
واول
ما حدث من الاختلاف بين المسلمين بعد نبيهم صلى الله عليه و سلم اختلافهم في
الإمامة وذلك أن رسول الله صلى الله عليه و سلم لما قبضه الله عز و جل ونقله إلى
جنته ودار كرامته
Artinya, “Pertikaian pertama yang terjadi di
kalangan umat Islam sepeninggal Rasulullah SAW adalah pertikaian mereka perihal
kepemimpinan (politik). Peristiwa itu terjadi ketika Rasulullah SAW wafat dan
beralih ke sisi-Nya yang mulia,” (Lihat Abul Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari,
Maqalatul Islamiyyin wa Ikhtilaful Mushallin, [Beirut, Al-Maktabah Al-Ashriyah:
1990 M/1411 H], juz I, halaman 39).
Ketika Rasulullah SAW wafat, kelompok Ansor
berkumpul di balai Bani Saidah di Madinah. Mereka ingin mengukuhkan Sa’ad bin
Ubadah sebagai pemimpin pengganti Rasulullah SAW. Kabar ini sampai ke telinga
Abu Bakar dan Sayyidina Umar RA. Keduanya kemudian mendatangi balai tersebut
dan mengabarkan sabda Nabi Muhammad SAW bahwa pemimpin itu berasal dari
Quraisy, (Lihat Abul Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari, Maqalatul Islamiyyin wa
Ikhtilaful Mushallin, [Beirut, Al-Maktabah Al-Ashriyah: 1990 M/1411 H], juz I,
halaman 40-41).
Bani Sa'idah merupakan salah satu kaum Ansor
terkemuka dari Bani Ka'ab bin Khazraj bin Sa'idah. Sahabat terkemuka dari
kalangan mereka adalah Sa'ad bin Ubadah dan Sahal bin Sa'ad RA. Balai Bani
Saidah di Kota Madinah sebagai tempat pertemuan pribumi Madinah setara dengan
balai Darun Nadwah bagi Kaum Quraisy di Kota Mekkah. Balai Bani Sa'idah
merupakan tempat pertemuan elit masyarakat pribumi Madinah untuk mendiskusikan
masalah politik, dan masalah publik lainnya.
Kelompok Ansor kemudian patuh terhadap
putusan tersebut setelah sebelumnya kelompok Ansor menyatakan pilihan untuk
mengangkat sendiri pemimpin untuk mereka. Suasana panas sempat terjadi perihal
kepemimpinan karena kelompok Ansor sebelumnya mengusung calon pemimpin di mana
sebagian dari mereka mengacungkan pedang seperti Al-Hubbab bin Mundzir.
Sementara pemakaman Rasulullah SAW tertunda
hingga tiga hari lamanya. Rasulullah SAW wafat pada Senin siang selepas Zhuhur.
Sementara pemakamannya dilakukan pada Rabu sore, (Lihat Imam Al-Baijuri, Jauharatut
Tauhid, [Indonesia, Daul Ihayil Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun],
halaman 118-119).
Sebagaimana diketahui, Rasulullah wafat pada
Senin 12 Rabi‘ul Awwal selepas Dhuha. Sebelumnya Rasulullah SAW mengalami sakit
selama 14 hari. Menjelang wafat, Rasulullah SAW memasukkan tangannya pada air
di bejana yang ada di sampingnya, lalu mengusap wajahnya, “Allāhumma a‘innī
‘alā sakarātil maut. (Ya Allah, tolonglah aku melewati sakratul maut),” (Lihat
Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Tarikul Hawadits wal Ahwalin Nabawiyyah,
[Surabaya, Haiatus Shafwah: tanpa catatan tahun], halaman 52-53).
Dari sini, kemudian para ulama Ahlussunah wal
Jamaah memasukkan masalah kemepimpinan atau politik dalam arti sempit ke dalam
masalah furu’iyyah, bukan masalah aqidah. Imam Al-Ghazali kemudian menganjurkan
masyarakat menyikapi masalah politik secara bijak agar terhindar dari
pertikaian dan debat kusir yang tak perlu.
الباب
الثالث في الامامة النظر في الإمامة أيضاً ليس من المهمات، وليس أيضاً من فن
المعقولات فيها من الفقهيات، ثم إنها مثار للتعصبات والمعرض عن الخوض فيها أسلم من
الخائض بل وإن أصاب، فكيف إذا أخطأ
Artinya, “Bab Ketiga Perihal Kepemimpinan.
Pandangan dalam kepemimpinan juga bukan bagian dari perkara penting
(prinsip/ushul), juga bukan bagian dari kajian ilmu aqli, tetapi lebih pada
masalah fiqhiyah (furu’). Di samping itu masalah kepemimpinan mengobarkan
kefanatikan. Karenanya orang yang menghindarkan diri dari (pembicaran)
berlarut-larut di dalamnya lebih selamat dibanding mereka yang larut tenggelam
di dalamnya meskipun ia benar. Terlebih lagi kalau keliru!” (Lihat Abu Hamid
Al-Ghazali, Al-Iqtishad fil I‘tiqad, Beirut, Darul Fikr, 1997 M/1417 H, halaman
166-167). Wallahu a‘lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar