Selasa, 23 Juli 2019

(Ngaji of the Day) Pengertian Riba dalam Tafsir at-Thabari


Pengertian Riba dalam Tafsir at-Thabari

Mengawali pembahasan ini, penulis ingin menukil sebuah ayat, di mana Allah SWT berfirman:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَن جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Arti tekstual : “[Perumpamaan] orang-orang yang memakan riba tidak berdiri kecuali seperti barang yang berdiri yang kemudian dibanting oleh setan dengan suatu timpaan (barang yang dirasuki oleh setan). Demikian itu, sebab sesungguhnya mereka telah berkata bahwa jual beli itu menyerupai riba. Padahal, Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Maka, barangsiapa yang telah dating padanya suatu nasihat (peringatan) dari Tuhannya, lalu mereka berhenti dari memungut riba, maka baginya apa yang dulu ia pinjam, lalu mereka berserah diri kepada Allah. Dan barangsiapa yang mengulangi mengambil riba, maka mereka berhak atas neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (QS Al-Baqarah: 275)

Penggalan ayat الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ditafsirkan oleh Abu Ja’far at-Thabari sebagai “pihak yang membuat riba”. Riba berasal dari kata ربـــا- يربــو yang berarti sebagai  إذا زاد على ما كان عليه فعظم,  yang berarti “ketika melebihi dari apa yang seharusnya ada dan semakin besar.” Inti dari riba adalah al-ziyâdah, yang berarti tambahan. Orang yang mengambil riba disebut dengan istilah murbin (مُرْب). Oleh karenanya, pengertian riba juga didefinisikan sebagai:

وإنما قيل للمربي "مُرْبٍ"، لتضعيفه المال، الذي كان له على غريمه حالا أو لزيادته عليه فيه لسبب الأجل الذي يؤخره إليه فيزيده إلى أجله الذي كان له قبلَ حَلّ دينه عليه

Artinya: “Pihak yang mengambil riba diistilahkan dengan “murbin” karena usahanya “melipatgandakan” harta yang ditetapkan kepada pihak yang berutang, baik secara kontan (hâlan) atau dengan jalan menetapkan tambahan kepada pihak yang berutang sebab tempo pengembalian (ajal), yaitu penundaannya gharim (pihak yang berutang) kepada “murbin” lalu menetapkan tambahan atas aset yang dipinjam sampai masa jatuh tempo, yang mana hal ini berlaku sebelum pihak gharim melunasi utangnya.”(Lihat Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid at-Thabari, Jami'ul Bayan fi Ta'wil Qur'an, bisa diakses di alamat ini)

Penafsiran sedemikian ini oleh Abu Ja’far at-Thabari didasarkan pada adanya munasabah (kesesuaian) ayat di atas dengan ayat yang lain dalam Surat Ali Imran ayat130:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan jalan melipatgandakan lagi dilipatgandakan.” (QS Ali Imran: 130)

Ibnu Mujahid dan Qatadah memiliki penafsiran yang sama dengan Abu Ja’far. Keduanya, yang merupakan generasi tabi’in ahli qira’ah dan sekaligus ahli tafsir, menegaskan bahwa dulu berlaku di kalangan masyarakat jahiliyah, apabila ada seseorang hendak meminjam ke orang lain, maka kepadanya disampaikan: “jika kamu pinjam dengan tempo segini, maka kamu harus mengembalikan segini.” Bisyr yang menyandarkan ucapannya dari Imam Qatadah, juga menjelaskan secara terpisah bahwa riba pada masa jahiliyah berlangsung ketika ada seseorang melakukan jual beli barang sampai batas tempo tertentu kemudian ketika telah sampai masa jatuh tempo pelunasan, ternyata pihak pembeli belum bisa melunasi pembayarannya, maka ditetapkan “tambahan harga” kembali yang disertai “penetapan tunda pelunasan kembali.” 

Misalnya: Pak Udin membeli barang secara tempo sampai batas pelunasan 1 tahun. Sebut misalnya bahwa harga barang secara tempo adalah 20 juta rupiah. Setelah masa satu tahun, ternyata Pak Udin belum bisa melunasi harga pembelian barang tersebut, lalu diputuskan untuk melakukan negosiasi lagi, kemudian dilakukan penjadwalan kembali dengan menambahkan harga sebelumnya sebagai risiko penundaan lagi. Model transaksi seperti ini menurut mufasir generasi tabi’in, yakni Imam Qatadah adalah termasuk transaksi riba yang pernah berlaku di kalangan masyarakat jahiliyah.

Kesimpulan dari Tafsir at-Thabari di atas, adalah bahwa yang dimaksud sebagai riba, adalah:

1. Pengertian riba merujuk pada tradisi transaksi masyarakat jahiliyah

2. Riba terjadi disebabkan adanya ziyâdah (tambahan) yang ditetapkan di awal sebelum berlakunya utang-piutang

3. Sifat dari ziyâdah (tambahan harga) adalah melipatgandakan lagi dilipatgandakan (أضعافا مضاعفة). Kelak akan disampaikan maksud dari أضعافا مضاعفة ini.

4. Riba dalam transaksi jual beli terjadi ketika ada penjadwalan kembali utang pembelian yang disertai penetapan harga tambahan yang melebihi dari harga yang disepakati di awal.

Wallahu a’lam. []

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar