Senin, 31 Juli 2017

(Do'a of the Day) 08 Dzulqa'dah 1438H



Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Alhamdu lillaahilladzii manna 'alainaa wa hadaanaa walladzii asyba'anaa wa arwaanaa wa kullal ihsaani aataanaa.

Ya Allah, Engkau telah memberi nikmat dan memberi hidayah kepada kami, yang telah mengeyangkan dan memuaskan dahaga kami serta yang telah memberikan segala kebaikan kepada kami.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 12, Bab 14.

(Hikmah of the Day) Kisah Keberkahan Sedekah Ibunda KH Abdul Karim Lirboyo



Kisah Keberkahan Sedekah Ibunda KH Abdul Karim Lirboyo

Banyak orang menjadi hebat karena di belakangnya ada orang hebat. Pernyataan ini dibenarkan oleh khalayak. Hal ini mirip dengan pepatah Arab:

كَمْ مِنْ مَشْهُوْرٍ، بِبَرَكَةِ الْمَسْتُورْ 

“Banyak orang yang tenar karena di belakangnya ada orang tersembunyi di belakangnya.” 

KH Aziz Mansur, Paculgowang, Jombang pernah bercerita, Pesantren Lirboyo Kediri yang hebat seperti sekarang ini—dengan ribuan santri dan alumni serta ilmu yang tersebar di berbagai pelosok negeri ini—tak terlepas dari jasa dan peran seorang ibu.

Alkisah, pendiri Pesantren Lirboyo, KH Abdul Karim yang mempunyai nama kecil Manab ditinggal wafat ayahnya dalam usia 6 tahun. Lalu ibunya dinikahi orang lain yang mempunyai latar belakang keluarga biasa (bukan dari kalangan kiai) dan hidup dalam balutan kekurangan dalam sisi ekonomi.

Ibunda Manab yang bernama Salamah ini setiap hari membantu sang suami berdagang di pasar. Namun sayang, setiap kali ke pasar, acap kali ia melihat jarik bermotif batik tulis dengan harga selangit yang otomatis tidak terjangkau dalam kantong Ibu Salamah.

"Kapan ya aku bisa membeli jarik yang sedemikian bagusnya," kata Salamah dalam hati sembari mengelus-elus batik yang ia maksud. 

Tiga tahun kemudian, dagangan yang ia jajakan laris sehingga Salamah mampu membeli batik yang sudah mengendap dalam angan-angannya selama ini. 

Baru dipakai sekitar satu hingga dua bulan, saat berjalan menuju pasar, Salamah melewati satu rumah di mana terdengar suara tangisan dari dalam sana. 

"Ada apa, Yu?" Tanyanya yang kemudian disahut sang pemilik rumah.

"Aku ini habis melahirkan, namun aku hanya memiliki satu helai pakaian saja. Andai pakaianku ini kupakaikan untuk anakku, aku pasti akan menjadi telanjang, namun jika tetap aku gunakan sendiri, anakku pasti akan kedinginan." 

Mendengar aduan yang sedemikian menyayat hati, Salamah kemudian segera pulang. Jarik yang ia impikan tiga tahun silam dan baru dipakai sekitar satu bulan diambil, diberikan kepada wanita itu. 

"Sudah, Yu, jarik yang masih bagus ini engkau gunakan, yang sudah lama punya kamu ini kau gunakan untuk popok anak kamu."

Sontak, wanita yang baru saja melahirkan menangis haru. Ia kemudian berdoa, "Semoga Allah memberikan kegembiraan kepadamu melalui perantara anak sebagaimana sekarang ini engkau membahagiakanku sebab aku bersedih karena urusan anak." 

Akhirnya, karena hal-hal yang demikian itulah, di kemudian hari, muncul Pesantren Lirboyo atas segala nama kebesarannya. 

Artinya, dalam kisah tersebut dapat kita ambil pelajaran bahwa:

1. Bersedekah yang bernilai sangat tinggi adalah menyedekahkan sesuatu yang menjadi kesayangan kita. Dalam kalam hikmah disebutkan:

ليس العطاء من الفضول سماحة حتى تجود وما لديك قليل

“Bukan dinamakan orang yang pemurah kalau ia memberikan sesuatu yang tidak ia butuhkan, kecuali kalau kamu memberikan apa yang kamu sukai dan tinggal sedikit saja yang ada di tanganmu.” 

Dalam Al-Qur'an juga disebutkan:

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيم

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS Ali Imran: 92)

2. Sayangilah anak kecil, tolonglah orang yang lemah, dan sedekahlah pada ahli ilmu. Pada pribadi mereka terdapat doa yang tulus yang tembus kepada Allah Ta'ala sehingga kita mendapatkan berkah manfaatnya.

[]

(Mundzir)

(Buku of the Day) Al-Durrah al-Bahiyyah, Fatwa Ulama Kurdistan atas Masalah Islam Nusantara Abad Ke-18



Al-Durrah al-Bahiyyah, Fatwa Ulama Kurdistan atas Masalah Islam Nusantara Abad Ke-18


Dalam manuskrip berjudul “Tarjamah al-Syikkh Muhammad Sulaimân al-Kurdî” (koleksi perpustakaan King Saud University, Riyadh, dengan nomor kode 5628) yang berisi sejarah hidup dan karya-karya Syekh Muhammad ibn Sulaimân al-Kurdî al-Madanî (w. 1780 M), didapati sebuah data dan informasi penting terkait sejarah Islam Nusantara, yaitu adanya salah satu karya beliau yang berjudul “al-Durrah al-Bahiyyah fî Jawâb al-As’ilah al-Jâwiyyah”.

Syekh Muhammad ibn Sulaimân al-Kurdî al-Madanî adalah salah seorang ulama besar dunia Islam asal Kurdistan yang lahir di Damaskus dan berkarir di Madinah pada abad ke-18 M. Beliau tercatat sebagai mufti Madinah di zamannya, sekaligus menjadi guru utama dari beberapa ulama Nusantara di kota suci itu pada masa tersebut (seperti Syekh Abdul Shamad Palembang, Syekh Arsyad Banjar, Syekh Abdul Wahhab Bugis, dan lain-lain), di samping Syekh Muhammad ibn ‘Abd al-Karîm al-Sammân al-Madanî (w. 1775 M).

Menyimak judulnya, kitab “al-Durrah al-Bahiyyah fî Jawâb al-As’ilah al-Jâwiyyah” sudah bisa dipastikan berisi kumpulan fatwa Syekh Muhammad ibn Sulaimân al-Kurdî atas beberapa persoalan yang datang dari Nusantara. Sayangnya, hingga saat ini, keberadaan manuskrip kitab ini belum berhasil ditemukan, sehingga masalah-masalah Nusantara apa saja yang diajukan kepada Syekh al-Kurdî tidak dapat terlacak, demikian pula halnya dengan jawaban fatwa yang diberikan oleh beliau.

Prof. Azyumardi Azra dalam “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII” (Bandung: Mizan, 2004, hal. 137), menyinggung keberadaan karya ini. Prof. Azra menulis; “pada abad ke-18 M, (Muhammad ibn) Sulaimân al-Kurdî, seorang ulama Haramain terkemuka juga menjadi guru sekelompok murid dari Melayu-Indonesia, menulis sebuah karya berjudul “al-Durrat al-Bahiyyah fî Jawâb al-Asilat al-Jâwiyyah”. Semua ini menunjukkan adanya wacana regio-intlektual yang kuat di antara para murid melayu-indonesia dan para ulama di Haramain dan tanggung jawabnya terhadap pembaharuan religio-intlektual di kalangan kaum muslimin Jawi”.

Adanya sebuah isyarat akan keberadaan kitab berjudul “al-Durrah al-Bahiyyah” karangan Syekh Muhamad ibn Sulaimân al-Kurdî ini setidaknya dapat menjadi bukti tambahan lain tentang sejarah jaringan intelektual ulama Nusantara-Haramain pada abad ke-18 M. Bahwa antara Muslim Nusantara dengan jantung intelektual dunia Islam, yaitu Makkah dan Madinah, terdapat hubungan yang erat dan kuat, yang salah satunya dibuktikan oleh adanya surat meminta fatwa (risâlah al-istiftâ) yang dikirimkan oleh Muslim Nusantara ke salah seorang ulama sentral Madinah saat itu, dalam hal ini adalah Syekh Muhammad ibn Sulaimân al-Kurdî.

Syekh Muhammad ibn Sulaimân al-Kurdî pun menjawab pertanyaan-pertanyaan Muslim Nusantara tersebut melalui sebuah risalah yang diberi judul ““al-Durrah al-Bahiyyah fî Jawâb al-As’ilah al-Jâwiyyah”.

Hal ini sekaligus menegaskan bahwa hubungan dan jaringan intelektual Muslim Nusantara-Haramain itu tidak terputus, karena pada generasi sebelumnya, yaitu pada abad ke-17 M, seorang ulama asal Kurdistan yang juga berkarir di Madinah, yaitu Syekh Ibrâhîm ibn Hasan al-Kûrânî al-Madanî (w. 1690 M), yang juga guru utama ulama Nusantara di Haramain pada generasi Syekh ‘Abd al-Raûf ibn ‘Alî al-Jâwî (Syekh Abdul Rauf Singkel, w. 1693 M) dan Syekh Yûsuf al-Tâj al-Khalwatî al-Jâwî (Syekh Yusuf Makassar, w. 1699 M), telah menulis sebuah risalah dengan tema serupa.

Risalah yang ditulis oleh Syekh Ibrâhîm al-Kûrânî di atas berjudul “al-Jawâbât al-Gharâwiyyah li al-Masâ’il al-Jâwiyyah al-Juhriyyah”. Risalah ini menghimpun fatwa Syekh Ibrâhîm al-Kûrânî atas lima permasalahan yang dikemukakan oleh umat Muslim Nusantara dari wilayah “Johor” di Semenanjung (kini Malaysia). Karena itu pulalah, dalam judul disebutkan “al-Asilah al-Jâwiyyah al-Juhriyyah” (Soalan-soalan [dari] Negeri Jawi Johor). Risalah ini selesai ditulis pada hari Selasa, 25 Shafar tahun 1070 Hijri (11 November 1659 M).

Kembali ke Syekh Muhammad ibn Sulaimân al-Kurdî. Di Nusantara, ada sebuah karya beliau yang cukup populer dan masih dikaji khususnya di kalangan pesantren tradisional (Nahdlatul Ulama). Karya tersebut adalah “al-Hawâsyî al-Madaniyyah ‘alâ Syarh al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah” yang mengkaji bidang fikih madzhab Syafi’i. “al-Hawâsyî al-Madaniyyah” merupakan “hâsyiah” (ulasan panjang) atas kitab “al-Manhaj al-Qawwîm” karya al-Imâm Ibn Hajar al-Haitamî al-Makkî (w. 1566 M), yang merupakan “syarh” (komentar/ penjelasan) atas “matn” (teks) “Masâ’il al-Ta’lîm” atau “al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah” karya Syekh ‘Abdullâh ibn ‘Abd al-Rahmân Bâ-Fadhal al-Hadhramî (w. 1512 M).

Kitab “al-Hawâsyî al-Madaniyyah” karangan Syekh Muhammad ibn Sulaimân al-Kurdî ini berkerabat dengan kitab hâsyiah “Mauhibah Dzî al-Fadhal ‘alâ Syarh Muqaddimah Bâ-Fadhal” atau “al-Manhal al-‘Amîm ‘alâ syarh al-Manhaj al-Qawwîm” (dikenal juga dengan “Hâsyiah al-Tarmasî”) karangan seorang ulama Nusantara yang berkarir di Makkah, yaitu Syekh Muhammad Mahfûzh ibn ‘Abdullâh ibn ‘Abd al-Mannân al-Tarmasî al-Makkî (dikenal dengan Syekh Mahfuzh Tremas, w. 1920 M).

Abu Daudi dalam bukunya “Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (Tuan Haji Besar)” yang diterbitkan oleh Madrasah Sullam al-Ulum (Martapura: 1996, hal. 29) mengatakan bahwa Syekh Muhammad Arsyad Banjar meminta fatwa kepada gurunya Syekh Muhammad Sulaimân al-Kurdî tentang keadaan Sultan Banjar yang memungut pajak dan mengenakan hukuman denda bagi mereka yang meninggalkan shalat Jum’at dengan sengaja, serta berbagai masalah lainnya.

Syekh Muhammad Sulaimân al-Kurdî pun menjawab pertanyaan Syekh Arsyad Banjar tersebut. Dikatakan oleh Daudi, bahwa naskah fatwa jawaban tersebut sampai sekarang masih ada dan tetap tersimpan dengan baik pada salah seorang zuriat Syekh Arsyad Banjar yang tinggal di desa Dalam Pagar Martapura, Kalimantan Selatan.

Diceritakan pula oleh Daudi, bahwa Syekh Arsyad Banjar pulang ke negerinya di Kesultanan Banjar atas anjuran dari gurunya Syekh Muhammad ibn Sulaimân al-Kurdî itu, padahal Syekh Muhammad Arsyad Banjar saat itu hendak melanjutkan pengembaraan intelektual ke Mesir dan berencana belajar di Al-Azhar. Oleh Syekh Muhammad ibn Sulaimân al-Kurdî, Syekh Muhammad Arsyad Banjar disuruh pulang ke Banjar guna menyebarkan ilmu pengetahuan yang telah didapat di Haramain. []

(A. Ginanjar Sya’ban)

BamSoet: Densus Tipikor, Pencegahan, dan Efek Jera



Densus Tipikor, Pencegahan, dan Efek Jera
Oleh: Bambang Soesatyo

Efek jera korupsi tak kunjung tumbuh kendati Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah dan akan terus menjerat koruptor. Lalu, apa yang sepatutnya diharap­kan dari gagasan Polri meng­hadirkan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor)?

Mudah-mudahan saja Densus Tipikor tidak hanya fokus pada penindakan. Aspek yang jauh lebih penting dan strategis adalah pencegahan dan upaya menumbuhkembangkan efek jera bagi siapa saja untuk berani dan mau meng­hindari tipikor. Program untuk dua target strategis ini terasa kosong di ruang publik. Masyarakat tidak tahu apakah negara punya program spesifik untuk mencegah pejabat negara atau warga biasa melakukan korupsi? Bahkan, dengan fakta semakin maraknya praktik korupsi, Indonesia seperti kehilangan akal untuk menum­buhkembangkan efek jera. Tersangka korupsi tidak malu ketika mereka "dipermalukan" oleh status sebagai tahanan KPK. Vonis Pengadilan Tipikor pun tidak membuat para calon koruptor takut atau jera me­laku­kan korupsi.

Memang, penindakan tetap penting karena perilaku korup terlalu sulit dihilangkan. Namun, terbukti bahwa penindakan nyaris tidak menyelesaikan masalah. Akhir-akhir ini penangkapan atau operasi tangkap tangan (OTT) terhadap terduga koruptor bahkan ibarat tontonan yang tidak menarik untuk dicermati. Masyarakat cenderung bosan disuguhi berita tentang penangkapan atau OTT terduga koruptor. Apalagi, banyak kasus yang dugaan nilai korupsinya tidak signifikan seperti kasus BLBI, kasus Bank Century, dan terakhir kasus korupsi proyek e-KTP.

Pergunjingan publik justru masuk ke tema tentang efek jera itu. Biasanya disampaikan dalam bentuk pertanyaan; me­ngapa mereka masih berani melakukan korupsi? Dari pertanyaan sederhana ini, bisa dimunculkan kesimpulan lain yang relevan. Kesimpulannya adalah mereka masih berani melakukan korupsi karena manajemen keuangan negara belum memiliki sistem atau pola pencegahan korupsi yang efektif. Ada inspektorat jenderal yang melaksanakan fungsi pengawasan internal pada setiap kementerian dan lembaga, serta inspektorat daerah pada semua pemerintah daerah. Namun, fakta mengenai maraknya korupsi mengonfirmasi bahwa peran pengawasan oleh inspektorat masih jauh dari efektif. Inspektorat jenderal bahkan ibarat macan ompong yang tidak berdaya menyikapi perilaku korup oknum pegawai negara.

Seperti itulah sekilas gambaran tentang problem negara memerangi korupsi. Sudah belasan tahun negara menugaskan KPK. Publik memang menyaksikan KPK sudah menindak banyak koruptor. Hasil lain adalah calon-calon koruptor memang takut kepada KPK. Itu saja. Tetapi, rasa takut itu tidak mengurangi atau menghilangkan hasrat melakukan korupsi. Calon-calon koruptor selalu dan tetap mencari celah serta modus baru untuk mencuri uang atau kekayaan negara. 

Maka itu, hasil apa yang sudah didapat negara dari belasan tahun menggelar perang melawan korupsi? Hasilnya terbilang minim. Tak lebih dari tumpukan kasus korupsi yang perkaranya telah divonis Pengadilan Tipikor. Tetapi, rentetan kasus baru terus bertambah. Tambahan kasus-kasus baru itu membuktikan bahwa perilaku korup oknum pegawai negara dan daerah, oknum anggota parlemen, juga oknum swasta sebagai mitra kementerian, lembaga, dan daerah masih tumbuh subur. 

Lalu, ketika Polri nanti berhasil menghadirkan Densus Tipikor, target apa yang ingin diraih? Kalau sebatas penindakan, kapabilitas Polri tak perlu diragukan. Dalam waktu singkat, Polri bahkan bisa menindak banyak kasus jika semua kepolisian daerah digerakkan. Sebab, kemampuan jelajah kerja Densus Tipikor jelas jauh lebih luas. Banyak dugaan kasus tipikor di daerah belum diperlakukan sebagaimana mestinya kendati sering dipergunjingkan warga setempat. Harus ada perhatian lebih terhadap perilaku korup sejumlah oknum di banyak daerah.

Nilai Tambah 

Namun, masyarakat tentu berharap Densus Tipikor bisa menghadirkan strategi atau rumusan baru dalam memerangi korupsi. Untuk menekan perilaku korup di semua lembaga negara dan daerah, tidak ada salahnya jika Polri ambisius dalam merumuskan tugas dan fungsi Densus Tipikor. Ambisius dalam arti berani mematok target-target besar dan strategis. Jadi, selain menggelar penindakan, Densus Tipikor hendaknya juga bisa memberikan rekomendasi bagi upaya pencegahan korupsi serta rekomendasi tentang strategi menumbuhkan efek jera. Mengapa faktor pencegahan dan faktor efek jera menjadi sangat penting? Karena, sudah terbukti bahwa kegiatan pemberantasan korupsi yang hanya fokus pada penindakan gagal menyelesaikan persoalan. 

Karena itu, pada saat merancang Densus Tipikor, sangat penting bagi Polri untuk merumuskan nilai tambah dari kehadiran Densus Tipikor itu sendiri. Nilai tambah itu sangat mungkin diberikan jika Densus Tipikor bisa merancang program spesifik tentang pencegahan korupsi serta upaya untuk membangun efek jera. Boleh jadi, tugas dan fungsi Densus Tipikor beda-beda tipis dengan KPK. Namun, di tingkat operasional, Densus Tipikor hendaknya tidak meng-copy paste metode dan target KPK. Tentang target, ada baiknya Polri membangun komunikasi dengan KPK. Misalnya, untuk dugaan kasus korupsi berdasarkan nilai atau besaran. Komunikasi dengan KPK jelas sangat diperlukan untuk menghindari tumpang tindih penanganan target operasi dan kasus. Pun, harus dibuka peluang bekerja sama dalam menggarap sebuah kasus dugaan korupsi. 

Pada saatnya nanti, Densus Tipikor akan juga pasti menyita perhatian publik. Karena dilahirkan oleh Polri, belum tentu Densus Tipikor akan mudah meraih kepercayaan publik. Benar bahwa kepercayaan publik terhadap Polri mulai membaik. Tetapi, membaiknya kepercayaan itu untuk peran Polri dalam menjaga keamanan dan ketertiban umum,  serta komitmen Polri menjaga kebinekaan. Ketika masuk dalam tugas pemberantasan korupsi, Polri masih harus bekerja keras lagi agar bisa meraih kepercayaan publik. Bagaimanapun, suka tidak suka, fakta mengatakan bahwa KPK telah menggenggam penuh kepercayaan publik untuk tugas pemberantasan korupsi itu. 

Maka itu, kehati-hatian dalam membentuk organisasi dan satuan-satuan kerja Densus Tipikor harus diutamakan. Potensi penyalahgunaan wewenang harus diminimalisasi. Sebab, mengendus dan mengintai terduga koruptor itu sangat dekat dengan tumpukan uang. Pekerjaan yang sarat godaan. Maka itu, Polri harus menempatkan Densus Tipikor pada posisi yang mudah untuk diawasi publik. Institusi Densus Tipikor itu pun tidak boleh eksklusif. Dia harus komunikatif dengan publik karena semua elemen masyarakat sangat peduli dengan pemberantasan korupsi.

Dalam konteks itu, kearifan Polri menjadi faktor yang sangat signifikan karena Densus Tipikor akan menjadi sebuah pertaruhan besar lagi strategis bagi masa depan institusi Polri. Segenap jajaran pimpinan Polri harus memastikan dan men­jamin bahwa Densus Tipikor bukan hanya bekerja sesuai dengan  tugas pokok dan fungsinya, melainkan juga jujur dan bersih serta taat asas. Jika Densus Tipikor bersih dan bekerja sesuai aspirasi masyarakat, Polri juga bisa menggenggam penuh kepercayaan masyarakat.

Jika nanti Densus Tipikor tampil, Indonesia setidaknya punya tiga instrumen yang fokus kerjanya memerangi perilaku korup: Densus Tipikor, KPK, dan Satuan Tugas (Satgas) Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli). Karena membidik oknum-oknum berperilaku korup, akan sangat ideal jika tiga instrumen ini bisa berkoordinasi membangun sinergi. Ketidaknyamanan masyarakat bukan hanya disebabkan oleh oknum-oknum yang korup, melainkan juga oknum yang berada di belakang praktik pungli yang terjadi pada hampir semua pos layanan publik. []

KORAN SINDO, 25 Juli 2017
Bambang Soesatyo | Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar/Presidium Nasional KAHMI 2012-2017