Densus
Tipikor, Pencegahan, dan Efek Jera
Oleh:
Bambang Soesatyo
Efek jera korupsi tak kunjung tumbuh kendati Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah dan akan terus menjerat koruptor. Lalu, apa
yang sepatutnya diharapkan dari gagasan Polri menghadirkan Detasemen Khusus
Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor)?
Mudah-mudahan saja Densus Tipikor tidak hanya fokus
pada penindakan. Aspek yang jauh lebih penting dan strategis adalah pencegahan
dan upaya menumbuhkembangkan efek jera bagi siapa saja untuk berani dan mau
menghindari tipikor. Program untuk dua target strategis ini terasa kosong di
ruang publik. Masyarakat tidak tahu apakah negara punya program spesifik untuk
mencegah pejabat negara atau warga biasa melakukan korupsi? Bahkan, dengan
fakta semakin maraknya praktik korupsi, Indonesia seperti kehilangan akal untuk
menumbuhkembangkan efek jera. Tersangka korupsi tidak malu ketika mereka
"dipermalukan" oleh status sebagai tahanan KPK. Vonis Pengadilan
Tipikor pun tidak membuat para calon koruptor takut atau jera melakukan
korupsi.
Memang, penindakan tetap penting karena perilaku
korup terlalu sulit dihilangkan. Namun, terbukti bahwa penindakan nyaris tidak
menyelesaikan masalah. Akhir-akhir ini penangkapan atau operasi tangkap tangan
(OTT) terhadap terduga koruptor bahkan ibarat tontonan yang tidak menarik untuk
dicermati. Masyarakat cenderung bosan disuguhi berita tentang penangkapan atau
OTT terduga koruptor. Apalagi, banyak kasus yang dugaan nilai korupsinya tidak
signifikan seperti kasus BLBI, kasus Bank Century, dan terakhir kasus korupsi
proyek e-KTP.
Pergunjingan publik justru masuk ke tema tentang efek
jera itu. Biasanya disampaikan dalam bentuk pertanyaan; mengapa mereka masih
berani melakukan korupsi? Dari pertanyaan sederhana ini, bisa dimunculkan
kesimpulan lain yang relevan. Kesimpulannya adalah mereka masih berani
melakukan korupsi karena manajemen keuangan negara belum memiliki sistem atau
pola pencegahan korupsi yang efektif. Ada inspektorat jenderal yang
melaksanakan fungsi pengawasan internal pada setiap kementerian dan lembaga,
serta inspektorat daerah pada semua pemerintah daerah. Namun, fakta mengenai
maraknya korupsi mengonfirmasi bahwa peran pengawasan oleh inspektorat masih
jauh dari efektif. Inspektorat jenderal bahkan ibarat macan ompong yang tidak
berdaya menyikapi perilaku korup oknum pegawai negara.
Seperti itulah sekilas gambaran tentang problem
negara memerangi korupsi. Sudah belasan tahun negara menugaskan KPK. Publik
memang menyaksikan KPK sudah menindak banyak koruptor. Hasil lain adalah
calon-calon koruptor memang takut kepada KPK. Itu saja. Tetapi, rasa takut itu
tidak mengurangi atau menghilangkan hasrat melakukan korupsi. Calon-calon
koruptor selalu dan tetap mencari celah serta modus baru untuk mencuri uang
atau kekayaan negara.
Maka itu, hasil apa yang sudah didapat negara dari
belasan tahun menggelar perang melawan korupsi? Hasilnya terbilang minim. Tak
lebih dari tumpukan kasus korupsi yang perkaranya telah divonis Pengadilan
Tipikor. Tetapi, rentetan kasus baru terus bertambah. Tambahan kasus-kasus baru
itu membuktikan bahwa perilaku korup oknum pegawai negara dan daerah, oknum
anggota parlemen, juga oknum swasta sebagai mitra kementerian, lembaga, dan
daerah masih tumbuh subur.
Lalu, ketika Polri nanti berhasil menghadirkan Densus
Tipikor, target apa yang ingin diraih? Kalau sebatas penindakan, kapabilitas
Polri tak perlu diragukan. Dalam waktu singkat, Polri bahkan bisa menindak
banyak kasus jika semua kepolisian daerah digerakkan. Sebab, kemampuan jelajah
kerja Densus Tipikor jelas jauh lebih luas. Banyak dugaan kasus tipikor di
daerah belum diperlakukan sebagaimana mestinya kendati sering dipergunjingkan
warga setempat. Harus ada perhatian lebih terhadap perilaku korup sejumlah
oknum di banyak daerah.
Nilai Tambah
Namun, masyarakat tentu berharap Densus Tipikor bisa
menghadirkan strategi atau rumusan baru dalam memerangi korupsi. Untuk menekan
perilaku korup di semua lembaga negara dan daerah, tidak ada salahnya jika
Polri ambisius dalam merumuskan tugas dan fungsi Densus Tipikor. Ambisius dalam
arti berani mematok target-target besar dan strategis. Jadi, selain menggelar
penindakan, Densus Tipikor hendaknya juga bisa memberikan rekomendasi bagi
upaya pencegahan korupsi serta rekomendasi tentang strategi menumbuhkan efek
jera. Mengapa faktor pencegahan dan faktor efek jera menjadi sangat penting?
Karena, sudah terbukti bahwa kegiatan pemberantasan korupsi yang hanya fokus
pada penindakan gagal menyelesaikan persoalan.
Karena itu, pada saat merancang Densus Tipikor,
sangat penting bagi Polri untuk merumuskan nilai tambah dari kehadiran Densus
Tipikor itu sendiri. Nilai tambah itu sangat mungkin diberikan jika Densus
Tipikor bisa merancang program spesifik tentang pencegahan korupsi serta upaya
untuk membangun efek jera. Boleh jadi, tugas dan fungsi Densus Tipikor
beda-beda tipis dengan KPK. Namun, di tingkat operasional, Densus Tipikor
hendaknya tidak meng-copy paste metode dan target KPK. Tentang target, ada
baiknya Polri membangun komunikasi dengan KPK. Misalnya, untuk dugaan kasus
korupsi berdasarkan nilai atau besaran. Komunikasi dengan KPK jelas sangat
diperlukan untuk menghindari tumpang tindih penanganan target operasi dan
kasus. Pun, harus dibuka peluang bekerja sama dalam menggarap sebuah kasus
dugaan korupsi.
Pada saatnya nanti, Densus Tipikor akan juga pasti
menyita perhatian publik. Karena dilahirkan oleh Polri, belum tentu Densus
Tipikor akan mudah meraih kepercayaan publik. Benar bahwa kepercayaan publik
terhadap Polri mulai membaik. Tetapi, membaiknya kepercayaan itu untuk peran
Polri dalam menjaga keamanan dan ketertiban umum, serta komitmen Polri
menjaga kebinekaan. Ketika masuk dalam tugas pemberantasan korupsi, Polri masih
harus bekerja keras lagi agar bisa meraih kepercayaan publik. Bagaimanapun,
suka tidak suka, fakta mengatakan bahwa KPK telah menggenggam penuh kepercayaan
publik untuk tugas pemberantasan korupsi itu.
Maka itu, kehati-hatian dalam membentuk organisasi
dan satuan-satuan kerja Densus Tipikor harus diutamakan. Potensi penyalahgunaan
wewenang harus diminimalisasi. Sebab, mengendus dan mengintai terduga koruptor
itu sangat dekat dengan tumpukan uang. Pekerjaan yang sarat godaan. Maka itu,
Polri harus menempatkan Densus Tipikor pada posisi yang mudah untuk diawasi
publik. Institusi Densus Tipikor itu pun tidak boleh eksklusif. Dia harus
komunikatif dengan publik karena semua elemen masyarakat sangat peduli dengan
pemberantasan korupsi.
Dalam konteks itu, kearifan Polri menjadi faktor yang
sangat signifikan karena Densus Tipikor akan menjadi sebuah pertaruhan besar
lagi strategis bagi masa depan institusi Polri. Segenap jajaran pimpinan Polri
harus memastikan dan menjamin bahwa Densus Tipikor bukan hanya bekerja sesuai
dengan tugas pokok dan fungsinya, melainkan juga jujur dan bersih serta
taat asas. Jika Densus Tipikor bersih dan bekerja sesuai aspirasi masyarakat,
Polri juga bisa menggenggam penuh kepercayaan masyarakat.
Jika nanti Densus Tipikor tampil, Indonesia
setidaknya punya tiga instrumen yang fokus kerjanya memerangi perilaku korup:
Densus Tipikor, KPK, dan Satuan Tugas (Satgas) Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber
Pungli). Karena membidik oknum-oknum berperilaku korup, akan sangat ideal jika
tiga instrumen ini bisa berkoordinasi membangun sinergi. Ketidaknyamanan
masyarakat bukan hanya disebabkan oleh oknum-oknum yang korup, melainkan juga
oknum yang berada di belakang praktik pungli yang terjadi pada hampir semua pos
layanan publik. []
KORAN
SINDO, 25 Juli 2017
Bambang
Soesatyo | Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar/Presidium Nasional
KAHMI 2012-2017