Rabu, 26 Juli 2017

Dua Kiai Aziz dari Jombang



Dua Kiai Aziz dari Jombang

Pada sekitar pukul 14.00 WIB, Sabtu 15 April 2017, KH Aziz Masyhuri Denanyar wafat. Berita ini tentu mengejutkan karena pada paginya beliau masih membaca koran dan melanjutkan menulis buku sebagaimana yang dilakukannya selama ini. Dengan demikian berarti dua kiai besar bernama Aziz dari Jombang telah tiada, satunya lagi yaitu KH Aziz Mansyur Paculgowang sudah wafat pada 2015 lalu.

Saya, walaupun tidak lama, pernah mengaji ke beliau berdua. Kiai Aziz Mansyur adalah sosok kiai yang mempunyai etos ilmiah ala Lirboyo, yang tidak lain adalah pondok kakeknya sendiri, karena beliau juga lama mondok di Lirboyo. Gaya ngaji beliau; duduk bersila di depan meja kecil, dilengkapi dengan lampu belajar, serta bersandar di bantal. Diatas meja kecil itu, selain ada kitab dan lampu belajar, juga ada segelas air putih.

Ketika saya mengaji romadhon pada 2014, saya begitu takjub dengan kedisiplinan Kiai yang menjabat dewan syuro PKB ini. Kalau sudah duduk didepan kitab, maka sekitar 2 jam sampai 2, 5 jam ke depan, tidak beranjak dari tempat duduknya, membaca kitab tanpa berhenti, dan tanpa basa-basi. Ketika membaca kitab semacam ini posisi beliau menghadap ke arah kiblat, bertempat di selasar masjid. sementara kami yang mengaji juga menghadap kiblat, berada di belakang beliau. Nah, ini tentunya menguntungkan bagi saya, karena kalau ngantuk tidak akan ketahuan, hehehe.

Kitab yang dikaji ba’da taraweh ketika itu adalah al-Asybah wa An-nadhair, dan Dalailul Khoirot. Belum lagi yang dibaca pada waktu pagi dan sore. Dengan etos yang demikian itu, maka wajar kalau dalam kesempatan romadhon yang biasanya tidak sampai tanggal 20 sudah selesai, berhasil menghatamkan beberapa kitab. Sehingga bisa dimaklumi jika santri alumni pondok salaf, semacam Paculgowang dan Lirboyo mempunyai perbendaharaan kitab kuning yang relatif banyak.

Lalu bagaimana gaya Kiai Aziz Masyhuri mengaji? Tempat belia mengaji tidak   di masjid, namun di ruang tamu. Beliau duduk di salah satu kursi, kemudian yang mengaji duduk dikursi-kursi yang lain, ada dua set kursi tamu di ruang tersebut. Sebagaimana layaknya menerima tamu, di meja tersaji aneka hidangan, ada makanan kering yang berada di toples-toples dan ada makanan basah, seperti pisang goreng, roti bakar, atau yang lainnya.

Jadwal mengaji satu minggu sekali, saya perhatikan hidangan di atas meja tersebut selalu berganti. Terasa benar bahwa memang itu disiapkan secara khusus untuk orang-orang yang mengaji pada beliau. Tidak berhenti sampai disitu, setiap ada yang datang, tidak lama kemudian ada yang menghidangkan kopi. Di tengah-tengah pengajian biasanya disusul dengan kolak, lalu diakhir ditutup dengan nasi goreng atau tahu petis. Jadi saya katakan pada Anda, bahwa tips mengaji pada Kiai Aziz Masyhuri haruslah dalam kondisi perut kosong, kalau tidak mau keringat dingin, karena harus menghabiskan makanan yang sedemikian banyak.

Nah, begitu kita datang ternyata tidak langsung mengaji kitab, tetapi masih mengobrol kesana-kemari antara setengah sampai satu jam. Bahan obrolan biasanya tentang permasalahan aktual, tentang ke-NU-an, tentang kegiatan-kegiatan beliau, atau seputar penulisan kitab yang sedang beliau kerjakan.

Jujur, awal-awal saya merasa gelisah dengan ritme mengaji seperti ini, karena tidak langsung to the poin. Tapi lama-kelamaan merasakan hal yang berbeda. Apa yang beliau obrolkan tersebut biasanya adalah pandangan atau sikap beliau sebagai seorang kiai menghadapi permasalahan yang sedang terjadi. Jadi ini adalah pengajian aktual, tidak melulu mengaji kitab, tapi juga mengaji kehidupan. Apalagi ketika membaca kitab juga selalu disisipi dengan penjelasan-penjelasan.

Yang dikaji ketika itu adalah kitab Kawakibul Lama’ah karangan Kiai Fadhol Senori Tuban, yang tak lain adalah pamannya sendiri. Mungkin Kiai Aziz Masyhuri produktif mengarang kitab karena terinspirasi oleh Kiai Fadhol ini. Kitab lain karya Kiai Fadhol diantaranya adalah ahlal musyamarah yang menceritakan tentang 10 wali di tanah Jawa. Di tangan Kiai Aziz Masyhuri, keterangan kawakibul lama’ah menjadi sangat luas.

Keterangan tentang apa yang tertulis di kawakibul lama’ah sepertinya sudah nempel banget di lidah beliau. Keterangannya bisa sangat detail. Misalkan saja, ketika masuk pada pembahasan devinisi sunnah dan jama’ah, dalam kitab tersebut menyitir devinisi dari kamus Muhith. Oleh beliau dijelaskan kamus mukhit ini merupakan kamus 4 jilid yang patokannya adalah huruf terakhir dari suatu kata. Misal kata ‘wasala’ yang terdiri dari huruf wawu, sin, dan lam, maka cara mencarinya dari huruf lam.

Keterangan ini kemudian melebar pada jenis-jenis kamus. Dimulai dari Tajul Arus yang merupakan sarah kamus mukhit. Lalu ada juga Misbahul Munir yang menurut beliau merupakan kamus yang paling ‘marem’, karena kalau ada masalah fiqh keterangannya dipanjangkan. Ada juga kamus munjit. Ini adalah kamus yang paling gampang, karena kalau ada yang tidak jelas dikasih gambar. Kelebihan yang lain dari kamus ini ada Faraidul Adab-nya. Namun yang mengarang orang kristen.

Keterangan kamus munjit ini menjadi semakin hidup manakala ditambahi dengan kisah Mbah Kiai Maksum Lasem dan putranya Mbah Kiai Ali Maksum. Mbah Kiai Maksum mengharamkan kamus munjit. Ketika Mbah Kiai Ali Maksum masih dipondok, waktu mau dijenguk ayahnya, santri-santri senior yang punya kamus munjit suruh menyembunyikan. Takut kalau-kalau Mbah Kiai Maksum memeriksa kamar-kamar. Nah, nanti kalau sudah pulang boleh dikeluarkan lagi.

Kitab berikutnya yang dikaji setelah kawakibul lama’ahkhatam adalah kitab tipis berjudul, butlani aqoidul syiah, sebuah kitab yang sepertinya belum ada di penerbitah Indonesia. Karena kami mengkajinya pun dari foto copy-an kitab yang beliau punya. Demikianlah Kiai Aziz Masyhuri, perbendaharaan kitab-kitab langkanya melimpah. Sehingga wajar kalau beliau menjadi rujukan kiai-kiai yang lain, termasuk dari pondok-pondok besar. Namun taqdir kami tidak bisa mempelajari kitab ini sampai selesai, karena setelah libur hari raya, pengajian kitab tersebut belum dilanjutkan lagi sampai beliau wafat.

Beliau memang pernah cerita, bahwa jika sedang haji, yang beliau buru adalah kitab-kitab terbitan timur tengah. Saking banyaknya yang beliau beli, sampai-sampai sebagiannya harus dititipkan ke orang lain yang jatah bagasinya masih ada. Maka wajar, kalau wacana kitab kuningnya di atas rata-rata. Sampai-sampai ketika Dr. Musthofa Ya’qub, imam besar Masjid Istiqlal Jakarta, yang juga karibnya waktu di Tebuireng membuat tulisan di Republika, tentang banyaknya kesamaan ajaran-ajaran NU melalui kitab karangan KH Hayim Asyari yang terkodifikasi dalam Irsyadus Syari, dengan ajaran-ajaran Wahabi, maka Kiai Aziz Masyhuri menegurnya, ketika bertemu di sebuah acara di madura. Hal ini karena Kiai Aziz Masyhuri mempunyai refrensi lain yang menguatkan tentang perbedaan besar antara ajaran NU dan wahabi.

Dengan kekayaan wacana kitab kuning demikian ini, ternyata Kiai Aziz Masyhuri mentransformasikan apa yang dipunyainya itu dengan cara yang santai; mengajar ngaji disambi dengan makan-makan dan ngobrol kesana-kemari. Perut terisi, kepala pun terisi.

Sedangkan Kiai Aziz Mansyur yang mempunyai tradisi dan etos kitab kuning yang disiplin, ternyata pembawaannya tidak dikit-dikit nge-dalil. Saya teringat ketika resepsi pernikahan saya, dalam tausyiahnya beliau malah hanya bercerita, tidak mendalil, tentang bagaimana galaunya ketika beliau dipasrahi untuk meneruskan estafet kepemimpinan pondok pesantren Tarbiyatun Nasihin, selepas ayahnya meninggal. Juga bercerita tentang awal-awal diundang mengaji ke kampung-kampung dengan mengendarai sepeda ontel, lalu beralih naik sepeda motor, lalu beralih memohon kapeda Allah agar diberi kendaraan yang ada iyup-iyupane (ada atapnya: mobil). Selanjutnya tausyiah beliau malah ditutup dengan penjelasan filosofi janur dan lain-lain, yang biasa digunakan di resepsi pernikahan adat Jawa. Allahummaghfirlahuma... []

M. Fathoni Mahsun, Kader Gerakan Pemuda Ansor Jombang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar