Selasa, 11 Juli 2017

Azyumardi: Prahara Timur Tengah (2)



Prahara Timur Tengah (2)
Oleh: Azyumardi Azra

Sulit memprediksi entah bagaimana akhir krisis koalisi Arab Saudi versus Qatar. Untuk terhindar dari prahara yang tidak diharapkan diperlukan tidak hanya peningkatan diplomasi damai dan dialog, tetapi juga pemulihan akal sehat di antara berbagai pihak yang terlibat.

Jelas prahara lebih parah bisa dihindari jika pihak-pihak yang bertikai ke dalam perang dapat menahan diri. Seandainya perang pecah, boleh jadi menjadi perang regional, yang juga bakal melibatkan Turki dan Iran. Jika ini terjadi, Timur Tengah bisa menjadi neraka.

Bagaimana perang bisa dielakkan? Entahlah, karena pada waktu yang sama terus terjadi peningkatan persenjataan. Qatar yang agaknya sudah mengendus konflik dengan Arab Saudi jauh sebelum terjadinya krisis sekarang, pada awal Ramadhan 1438 H membeli persenjataan dari Amerika Serikat senilai 23 milyar dollar. Begitu krisis terjadi, Qatar membeli lagi pesawat tempur F-15 senilai 12 miliar dollar dari AS. Presiden Donald Trump yang berpihak pada Saudi dengan oportunisme mengizinkan penjualan ini kepada Qatar.

Di lain pihak, Saudi juga menumpuk persenjataan. Dalam KTT dengan negara-negara Muslim dan Presiden Trump, Saudi menandatangani persetujuan pembelian senjata yang langsung tersedia senilai 110 miliar dollar dan 350 miliar dollar dalam waktu 10 tahun ke depan. Padahal, persenjataan Saudi yang dibeli dari AS sudah menumpuk karena sejak 2011 sampai 2015 Saudi membeli sekitar 10 persen berbagai produk persenjataan AS. Singkatnya, Saudi adalah negara pembeli terbesar persenjataan di dunia sepanjang kurun tersebut.

Jadi, pelajaran pertama dari krisis ini adalah bahwa pihak yang mendapatkan keuntungan besar dari konflik yang terus bertahan (ISIS, al-Qaidah, Libya, Yaman) yang meningkat dengan krisis Qatar adalah AS. Presiden Trump menyatakan, pembelian persenjataan dengan dana demikian besar terlalu besar untuk ditolak. Keadaan inilah yang disebut dalam kajian sekuriti dan perdamaian sebagai ‘military industrial complex’

Penumpukan persenjataan yang begitu besar di Timur Tengah khususnya Saudi, Qatar, dan juga Israel jelas dapat menghancurkan kemanusiaan dan peradaban jika perang terjadi. Jika perang tidak pecah dan perdamaian bisa dicapai, persenjataan yang demikian banyak merupakan kesia-siaan.

Oleh karena itulah perlombaan persenjataan di negara-negara ini dapat dikatakan sebagai ‘kutukan minyak’ (oil curse). Melimpah ruahnya minyak dan gas di negara-negara ini bukan digunakan untuk meningkatkan kedamaian dan kesejahteraan manusia serta memajukan peradaban; sebaliknya digunakan guna saling mengintimidasi dan menghancurkan.

Pelajaran kedua adalah kontestasi antar-negara yang berlarut-larut di Timur Tengah sulit dielakkan hanya berujung pada krisis yang dapat berujung pada eskalasi menuju perang. Kontestasi yang terus berlanjut sejak waktu sangat lama antara Saudi dengan Iran menjadi salah satu penyebab utama kenapa Saudi dan koalisinya memutuskan hubungan dengan Qatar.

Kontestasi antara kedua negara ini bukan hanya menyangkut persaingan politik dan ekonomi. Pada gilirannya juga disertai sektarianisme Sunni-Syi’ah—walau dalam kasus krisis Saudi-Qatar sekarang, sektarianisme itu nampak tidak lagi relevan.

Bagi Saudi dan koalisinya, Qatar tidak bisa lagi dimaafkan karena ‘main mata’ dengan Iran. Qatar yang merasakan selalu tersudutkan Arab Saudi, secara alamiah berusaha mencari sekutu lain dalam hal ini adalah Iran. ‘Persekutuan’ antara Qatar dan Iran tidak hanya menyangkut soal sekuriti, tetapi juga ekonomi khususnya terkait eksploatasi minyak dan gas cair.

Pelajaran ketiga adalah bahwa kebijakan yang berbeda antara Qatar dengan Arab Saudi menyangkut kelompok radikal hanya berujung pada peningkatan konflik regional. Qatar memang menjadi tempat yang aman (safe haven) bagi kelompok radikal semacam al-Ikhwan al-Muslimun atau Hamas Palestina, yang anti-Saudi dan juga anti-pemerintahan militer Mesir. Tak kurang pentingnya, Qatar juga menyediakan tempat yang aman dan nyaman bagi Syekh Yusuf Qardhawi, ‘bapak intelektual’ Ikhwan.

Bagi Arab Saudi, dengan perlindungan Qatar cepat atau lambat kelompok-kelompok yang dinyatakannya sebagai ‘teroris’ mengancam status-quo penguasa Saudi. Oleh karena itulah pemerintah Saudi tidak dapat membiarkan Qatar terus menyediakan safe heaven bagi mereka.

Pelajaran kelima adalah bahwa banyak negara Arab tidak pernah mau belajar dari sejarah. Kepahitan demi kepahitan yang terjadi sepanjang sejarah, termasuk konflik yang belum juga terselesaikan dengan Israel, tidak dijadikan sebagai pelajaran untuk melangkah hari ini dan ke depan membangun peradaban lebih damai dan maju.

Dengan begitu, banyak negara Arab tergelincir ke dalam lubang yang sama. Terjerumus ke lubang yang dalam dan gelap perpecahan dan konflik, hasilnya tidak lain adalah keterbelakangan dan kesengsaraan. []

REPUBLIKA, 22 Juni 2017
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar