HTI, Yahudi Madinah, dan Perongrong Negara Kesepakatan
Oleh: Akhmad Sahal
Dari perspektif sejarah Islam, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang
merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tampaknya bisa
disejajarkan dengan Yahudi Madinah yang merongrong Piagam Madinah di era Nabi.
Ketika Nabi membangun tatanan politik di Yastrib (nama asal
Madinah), beliau tidak mendirikan Negara Syariah dengan menjadikan Islam
sebagai agama resmi negara, dan al-Qur’an sebagai konstitusinya. Nabi justru
mendasarkan Negara Madinah pada kesepakatan bersama antar warganya. Kesepakatan
bersama yang dikenal dengan “Piagam Madinah” ini menjadi landasan bagi
kehidupan bernegara untuk masyarakat Madinah yang majemuk, agar kaum Muhajirin
dari Mekkah, kaum Ansor, penganut Yahudi, Kristen, Majusi, dan agama pagan di
Madinah bisa hidup berdampingan dan bersama-sama mempertahankan wilayahnya dari
agresi musuh.
Dalam Konstitusi Madinah, misalnya, terdapat pasal yang menegaskan
bahwa kaum Muslim dan Yahudi merupakan satu umat. “Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf
adalah satu umat dengan kaum Muslim. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi
kaum muslimin agama mereka.” Juga ada pasal tentang perlindungan terhadap
kebebasan menjalankan keyakinan agama masing-masing.
Pakta ini memang menempatkan Nabi Muhammad sebagai wasit dan
pemutus perkara manakala ada perselisihan. Tapi ingat, posisi Nabi di sini bukan
lantaran beliau adalah Rasulullah, karena warga Madinah yang non-Muslim jelas
tidak mengimaninya, dan tidak ada paksaan bagi mereka untuk mengakui
kerasulannya, melainkan karena seluruh komponen yang terlibat dalam Piagam
Madinah bersepakat mendapuknya sebagai kepala negara Madinah.
Dengan kata lain, dasarnya adalah kesepakatan bersama warga
Madinah. Nabi begitu kukuh memegang kesepakatan yang tertuang dalam Konstitusi
Madinah dan dengan tegas memberi sanksi pada para pelanggarnya, apa pun
agamanya. Ketika ada satu kabilah yang Muslim melanggar Konstitusi Madinah,
Nabi tak segan menghukum mereka.
Begitu juga terhadap beberapa kabilah Yahudi mengkhianati
Konstitusi Madinah dengan perbuatan makar mereka, Nabi mengusir dan memerangi
mereka. Itulah yang dilakukan Nabi terhadap kaum Yahudi Madinah dari Bani
Nadzir, Bani Qainuqa’, dan Bani Quraidzah. Mereka masih terikat dengan
kesepakatan Piagam Madinah, tapi mereka merongrongnya.
Penting untuk dicatat, pengusiran kaum Yahudi dari Madinah ini
sama sekali bukan karena keyakinan agama mereka, bukan karena mereka
non-Muslim. Buktinya, kalangan Yahudi dan non-Muslim lain yang loyal terhadap
Piagam Madinah tetap hidup damai di Madinah. Kaum Yahudi Madinah diusir karena
pengingkaran mereka terhadap kesepakatan yang mendasari berdirinya Negara
Madinah.
NKRI sebagai Negara Kesepakatan
Sebagaimana Negara Madinah adalah Negara Kesepakatan, republik kita juga lahir sebagai hasil kesepakatan para pendirinya. Pancasila dipilih sebagai dasar negara karena dengan cara itulah kebhinnekaan terjaga. Ikatan politik yang mendasarinya bukanlah sentimen primordial, melainkan kesatuan sebagai bangsa. Sebagaimana Piagam Madinah menjadi titik temu yang menyatukan kaum Muslim dan Yahudi Madinah dalam persaudaraan keumatan, maka Pancasila menjadi titik temu yang menyatukan warga Muslim dan non-Muslim dalam persaudaraan kebangsaan.
Para tokoh Islam yang ikut dalam kesepakatan tersebut sebagai
wakil umat Islam menyatakan setuju dengan negara kebangsaan tersebut ketimbang
mendesakkan berlakunya Piagam Jakarta yang memberi mandat kepada negara untuk
mewajibkan penerapan syariah pada pemeluknya. Dengan keputusannya itu, mereka
selintas tampak tidak menerapkan syariah dalam bernegara. Tapi itu hanya
lahiriahnya saja. Dari segi substansi, mereka justru menerapkan tujuan utama
syariah, yakni merealisasikan kemaslahatan bersama yang notabene merupakan
tujuan syariah.
Para tokoh Islam tersebut menyadari, tuntutan menegakkan dawlah Islamiyah atau
khilafah dalam konteks Indonesia yang majemuk akan berujung pada perpecahan
bangsa dan sektarianisme politiik yang justru bertentangan dengan prinsip
maslahat.
Kesepakatan bersama yang mendasari Negara Pancasila termanifestasi
dalam konstitusi RI. Konstitusi merupakan dokumen kontrak sosial yang mengikat
semua pihak yang terlibat, langsung ataupun tidak langsung. Artinya, kontrak
sosial tersebut juga mengikat warga negara yang lahir belakangan. Setiap warga
negara harus memiliki kesetiaan terhadap konstitusi, karena konstitusi
merupakan manifestasi dari perjanjian sosial seluruh warga negara.
Jadi, meskipun warga negara yang hidup pada masa sekarang tidak
ikut merumuskan konstitusi, ia tetap harus loyal terhadapnya. Mengapa? Karena
begitu seseorang menjadi warga negara dan memanfaatkan fasilitas dan
infrastruktur negara, membayar pajak, menggunakan sertifikat tanah, akte
kelahiran, KTP, SIM, surat nikah, paspor dan dokumen-dokumen negara lainnya,
maka sesungguhnya itu mengekspresikan persetujuannya terhadap negara dan
kesepakatan yang mendasarinya.
Dalam nomenklatur ilmu politik, persetujuan yang tak dinyatakan
secara eksplisit ini dikenal dengan istilah “tacit
consent.” Dengan kata lain, kewarganegaraan adalah penanda
bagi persetujuan untuk terikat dengan kontrak sosial yang termaktub dalam
konstitusi. Tentu saja kesepakatan bisa diubah, konstitusi bisa diamandemen,
ditambah, atau dikurangi sesuai dengan kalkulasi kemaslahatan hidup yang
dinamis. Namun, selama itu belum terjadi, maka warga negara harus menaati
konstitusi yang ada.
Mengingkari Kesepakatan: Kontra Syariah
HTI berkeras menegakkan khilafah karena dalam pandangan mereka, penerapan syariah tidak akan lengkap dan sempurna tanpa berdirinya institusi kekhilafahan. Absurdnya, upaya mereka menerapkan syariah justru bertolak dari pelanggaran terhadap ajaran syariah itu sendiri.
Dalam pandangan Islam, menaati kesepakatan sama artinya dengan
memenuhi janji yang wajib sifatnya. Pengingkaran sepihak terhadap kesepakatan
adalah perbuatan yang sangat tercela. Al-Qur’an dengan tegas mewajibkan umatnya
untuk menaati kesepakatan yang mereka buat, seperti dalam ayat “Penuhilah
perjanjian kalian; sesungguhnya janji itu akan dituntut pertanggungjawabannya”
(QS 17:34). Ayat yang senada bisa kita temukan pada QS 5:1, 2: 177, 16: 91, dan
13: 19.
Di samping itu, Nabi Muhammad juga bersabda, “umat Islam terikat
dengan perjanjian yang mereka buat.” Karena itulah tatkala terlibat dalam
kesepakatan, Nabi mewajibkan umatnya untuk menaatinya dan menindak tegas para
pelanggar.
Patut dicatat, watak mengikat dari kesepakatan dan perjanjian ini
tidak hanya berlaku antara sesama Muslim, melainkan juga antara pihak Muslim
dan non-Muslim. Dengan demikian, bahkan kalau NKRI divonis sebagai negara kafir
pun, sebagaimana yang sering dikampanyekan HTI, tak lantas warga negara
Indonesia yang Muslim boleh seenaknya mengkhianati NKRI.
Dari sudut pandang hukum Islam, orang Islam yang tinggal dan
menjadi warga negara di negara kafir tetaplah terikat kontrak dengan negara
tersebut selama negara tersebut memberikan jaminan keamanan kepada Muslim. Dan
patut diingat, kontrak dengan pihak non-Muslim punya kekuatan mengikat juga.
Dengan begitu, jika ia merongrong konstitusi negara tersebut, maka ia
sesunggunya menjadi pengkhianat kesepakatan. Di Indonesia, kaum Muslim
mendapatkan jaminan keamanan penuh serta bebas menjalankan agamanya.
Ibnu Qudamah, ulama bermazhab Hanbali abad ke-6 H, menulis dalam magnum opus-nya Al Mughni: “Muslim yang
tinggal di negara kaum kafir dalam keadaan aman haruslah mematuhi kontraknya
terhadap negara tersebut, karena mereka memberikan jaminan keamanan semata-mata
karena adanya kontrak bahwa si Muslim tidak akan berkhianat. Ketahuilah,
pengkhianatan terhadap kontrak (ghadr)
adalah tindakan yang dilarang dalam Islam. Nabi bersabda: “Al-muslimun ‘inda syuruthihim“ (Kaum
Muslim terikat dengan perjanjian yang telah mereka sepakati)”
Senada dengan pendapat Ibnu Qudamah, Imam Al-Sarakhsi, ulama abad
ke-5 H bermazhab Hanafi menyatakan dalam Kitab al-Mabsuth: “Sungguh tercela bagi
seorang Muslim yang memohon keamanan dari (negara kafir) berdasarkan
perjanjian, tapi lalu mengkhianatinya. Rasul berkata: “Siapa mengkhianati suatu
kesepakatan, maka pada hari kiamat nanti, di tubuhnya dipasang bendera sehingga
perbuatan khianatnya akan diketahui secara terbuka.” Artinya, bahkan seandainya
klaim HTI yang memvonis NKRI sebagai negara kafir atau thaghut diterima, tak
lantas kampanye khilafah HTI di NKRI bisa dibenarkan secara syar’i.
Ketaatan terhadap konstitusi hukumnya wajib secara syar’i, karena
itu sama artinya dengan memenuhi kesepakatan, yang diwajibkan dalam Islam.
Mempertentangakan antara ketaatan terhadap konstitusi dan ketaatan terhadap
Kitab Allah adalah pandangan yang salah alamat, karena menaati konstitusi
merupakan manifestasi dari menaati Kitab Allah.
Ini berarti kalangan Muslim Indonesia yang mengkampanyekan
khilafah atau negara Islam sejatinya telah melakukan pengingkaran sepihak
terhadap kesepakatan bersama. Mereka mengkampanyekan penegakan syariah, tapi
yang mereka lakukan justru melanggar syariah.
Kalau mereka memang konsisten dengan syariah, hanya ada dua opsi
yang tersedia: menjadi warga negara yang mematuhi NKRI sebagai Negara
Kesepakatan, atau tetap memperjuangkan khilafah tapi dengan syarat melepaskan
kewarganegaraan Indonesia mereka. Mengkampanyekan khilafah sambil tetap
mempertahankan kewarganegaraan RI bukan hanya sebuah hipokrisi, tapi juga
pelanggaran terhadap ajaran syariah yang justru mewajibkan Muslim untuk
mematuhi kesepakatan.
Kalau terus dibiarkan, para perongrong Negara Kesepakatan akan
menjadi benalu yang bisa mencekik mati NKRI sebagai pohon induknya. Sudah
waktunya pemerintah bersikap tegas menindak para perongrong Negara Kesepakatan,
sebagaimana Nabi Muhammad dulu juga bersikap tegas menghukum perongrong Negara
Kesepakatan Madinah.
Kalau mereka ngotot dengan khilafah boleh-boleh saja, asalkan
jangan di NKRI. Atau dalam bahasa mendiang Imam Besar Masjid Istiqlal KH.
Mustofa Ya’qub, silakan pejuang khilafah untuk angkat kaki dari Indonesia. []
GEOTIMES, 28 April 2017
Akhmad Sahal | Kandidat PhD, University of Pennsylvania, Amerika
Serikat. Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar