Senin, 17 Juli 2017

Buya Syafii: Posisi Takwa Itu Mahal



Posisi Takwa Itu Mahal
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Bulan September 2008 di ruang ini saya telah menulis tentang masalah posisi takwa di bawah judul serupa. Saat itu saya telah melakukan puasa Ramadhan sekitar 66 kali pada usia 73 tahun. Sekarang pada usia 82 tahun, apakah kualitas takwa ini sudah meningkat atau belum saya pun tidak tahu. Dalam upaya mengeritik diri sejujur-jujurnya, sebagian besar artikel itu saya tulis kembali dengan tambahan di sana-sini. Saya merasakan benar bahwa untuk menjadi manusia baik dalam pengertian takwa itu, perlu pergumulan spiritual yang terus menerus, tanpa henti. Dan saya belum tentu berhasil. Alangkah tidak mudahnya melangkah di pendakian ini!

Di ujung surat al-Baqarah ayat 183 Alquran memang menggunakan ungkapan la’allakum tattaqûn (semoga kamu berhasil meraih posisi takwa) dengan menjalankan puasa itu. Istilah takwa merupakan salah satu konsep kunci dalam Alquran di samping iman dan Islam. Tidak kurang 242 kali konsep itu dalam berbagai bentuk dapat dilacak dalam Kitab Suci ini. Dengan demikian fungsinya sangat sentral.

Dari segi akar kata takwa berasal dari tiga huruf w q y yang bermakna menjaga diri, baik dari kehancuran moral atau dari kemurkaan Allah akibat penyimpangan prilaku seseorang dari jalan lurus. Takwa adalah salah satu hasil  iman yang tulus dan otentik. Iman yang tidak tulus adalah sebuah sandiwara murahan, tidak punya bekas yang positif dalam mengarahkan prilaku kita ke jalan yang diridhai.

Oleh sebab itu pemaknaan takwa dengan takut (kepada Allah) tidaklah terlalu tepat, sebab rasa takut akan menjauhkan seseorang dari yang ditakuti, sementara takwa kepada Allah, justru sebaliknya, kita selalu rindu untuk senantiasa mendekat kepadaNya. Dalam perjalanan hidup saya rasa rindu kepada Allah tidak selalu hadir. Artinya kualitas iman saya belum beranjak jauh.

Apa indikator takwa itu? Dalam berbagai ayat Alquran telah menjelaskannya. Kita ambil yang paling sering dibaca pada bulan Ramadhan, ayat 133-136 surat Ali ‘Imrân yang artinya: “Dan cepat-cepatlah kamu menuju ampunan dari Tuhanmu dan menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi, disediakan bagi mereka yang telah berhasil meraih posisi taqwâ. [Yaitu] orang-orang yang memberikan infaq, baik di saat lapang maupun di saat sempit, dan orang-orang yang mampu mengendalikan marah serta bersedia memaafkan [kesalahan] orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan [juga] mereka yang apabila melakukan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, [segera] mengingat Allah dan mohon ampun atas segala dosanya, dan siapakah yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, padahal mereka mengetahui. Balasan bagi mereka ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan [itulah] sebaik-sebaik balasan bagi orang yang beramal.”

Cobalah simak baik-baik beberapa indikator takwa dalam ayat 34-35 di atas. Rasanya saya sendiri belum pernah memiliki indikator itu secara utuh dan sempurna. Sering bolong dan kendalanya banyak sekali, tentu karena tingkat ketakwaan saya jauh dari ideal, padahal usia sekarang sudah 82 tahun, liang kubur sudah sangat dekat. Inilah yang mencemaskan, inilah yang merisaukan.

Dalam beribadah dan beramal, saya rasanya hanyalah seorang minimalis, Allah-lah yang maha tahu akan segala kelemahan dan kekurangan diri saya. Kadang-kadang muncul pertanyaan ini: apakah hidup saya ini bernilai di sisi Allah? Jika jawabannya negatif, tentu ini berarti sebuah kegagalan, sesuatu yang sangat menakutkan. Tetapi tentu saja kita tidak boleh berputus harap akan ampunan Allah atas segala dosa, kekurangan, dan kelemahan yang mengitari diri.

Di sinilah barangkali fungsi do’a yang harus terus menerus kita sampaikan kepada Maha Pencipta hidup dan mati. Dalam masalah do’a memang saya tidak pernah lupa, sekalipun tidak selalu disertai hati yang khusyu’, bening, dan rindu. Kadang-kadang do’a hanya asal dibaca, tidak sungguh-sungguh, sementara rahmat Allah kepada saya sekeluarga telah turun berjibun, tidak henti-hentinya, datang dari berbagai penjuru. Hentakan Alquran adalah ini: “Belumkah datang saatnya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyu’ mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan? Dan janganlah mereka jadi seperti orang-orang yang telah diberi kitab sebelumnya, kemudian mereka melalui masa yang panjang, lantas hati-hati mereka menjadi keras, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasiq/durhaka” (al-Hadîd: 16). “Duh Gusti, bimbinglah hambaMu ini ke jalan yang lempang agar terhindar dari malapetaka kedurhakaan yang mengerikan itu. Amin!” 

Semua yang ditulis ini adalah pengalaman hidup yang saya lalui, tidak dibuat-buat, karena itulah kenyataannya, dengan harapan agar pengalaman spiritual para pembaca akan jauh lebih mulus dari apa yang sudah saya lalui. Posisi takwa bagi saya ternyata masih saja terlalu mahal untuk dikejar, sekalipun telah berpuasa puluhan tahun. Percayalah kehadiran mereka yang sudah berada pada maqâm mulia ini pasti dirindukan semua orang. []

REPUBLIKA, 04 Juli 2017
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar