Jumat, 28 Juli 2017

(Ngaji of the Day) Tinggalkan Tiga Kali Jumat Jadi Kafir?



Tinggalkan Tiga Kali Jumat Jadi Kafir?

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Yang terhormat redaksi Bahtsul Masail NU Online. Lelaki yang tidak sholat Jumat tiga kali dihukumi kafir. Jika orang itu sholat apakah sah? Jika ia membaca syahadat, apakah Islam kembali. Mohon keterangannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Bagus Alvi

Jawaban:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan petunjuk-Nya untuk kita semua. Jumat merupakan hari ied mingguan bagi umat Islam. Sementara sembahyang Jumat merupakan sebuah kewajiban bagi mereka yang menjadi ahli Jumat seperti laki-laki, sehat, aqil, baligh, penduduk setempat, dan seterusnya sebagaimana diatur dalam kitab fikih.

Kewajiban sembahyang Jumat sangat kuat. Karena banyak sekali keutamaan di dalamnya. Bahkan sembahyang Jumat disinggung secara khusus dan diabadikan dalam Al-Quran pada surat Al-Jumuah.

Adapun status kufur-nifaq yang disematkan kepada mereka yang meninggalkan sembahyang Jumat tiga kali berturut-turut didasarkan pada sebuah hadits Rasulullah SAW bahwa mereka yang meninggalkan Jumat sebanyak tiga kali akan dicatat sebagai kalangan munafiq.

Tetapi apakah munafiq yang dimaksud ini adalah munafiq-kafir sebagaimana sebagian penduduk Madinah dan sekitarnya di zaman Rasulullah SAW atau sekadar munafiq-praktis? Ada baiknya kita melihat keterangan Al-Munawi perihal hadits tersebut.

من ترك ثلاث جمعات من غير عذر كتب من المنافقين) أراد النفاق العملي قال في فتح القدير : صرح أصحابنا بأن الجمعة فرض آكد من الظهر وبإكفار جاحدها.

Artinya, “(Siapa saja yang meninggalkan tiga Jumat tanpa udzur, maka ia akan dicatat sebagai kalangan orang-orang munafik) munafik yang dimaksud adalah kemunafikan dalam bentuk perbuatan, (bukan keyakinan). Penulis Fathul Qadir menyebutkan, sahabat-sahabat kami menyatakan bahwa shalat Jumat adalah kewajiban bahkan lebih wajib dari sembahyang Zuhur. Mereka juga menyatakan bahwa orang yang mengingkari kewajibannya menjadi kafir,” (Lihat Abdurrauf Al-Munawi, Faidhul Qadir, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, tahun 14-15 H/1994 M, juz 6, halaman 33).

Dari keterangan Al-Munawi, kita menyimpulkan bahwa sifat kemunafikan terbagi sedikitnya atas dua jenis, pertama munafik keyakinan (mereka yang memang tidak beriman kepada Allah dan rasul-Nya seperti banyak orang Madinah di masa Rasulullah SAW yang kerap disinggung Al-Quran); kedua munafik perbuatan (mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan rasul-Nya, hanya saja kerap melanggar agama seperti berbohong, berkhianat, melanggar janji). Mereka yang meninggalkan Jumat tiga kali itu termasuk dalam kategori kemunafikan jenis kedua.

Dengan demikian, mereka yang meninggalkan sembahyang Jumat tidak keluar dari Islam. Artinya ia tidak perlu membaca syahadat kembali sebagai pernyataan masuk Islamnya. Hanya saja ia harus bertobat kepada Allah dan beritikad kuat di dalam untuk tidak mengulangi kesalahannya. Meninggalkan sembahyang Jumat termasuk salah satu dosa besar. Karenanya agama Islam sangat mengecam keras orang-orang yang meninggalkan sembahyang Jumat tanpa ada uzur syar’i.

Merujuk pada pandangan Ahlussunnah wal Jamaah, orang beriman yang terjebak dalam dosa kecil maupun besar (misalnya meninggalkan sembahyang Jumat) tetap dihukumkan sebagai seorang yang beriman. Artinya, kalau orang seperti ini meninggal dunia, kita yang masih hidup tetap berkewajiban mengurus jenazahnya dari “a” sampai “z” seperti keterangan Syekh Al-Baijuri dalam Jauharatut Tauhid berikut ini.

لا نكفر مؤمنا  بالوزر) مفرع على ما ذكر أي فلا نكفر بالنون أي معاشر أهل السنة أو بالتاء أي أيها المخاطب أحدا من المؤمنين بارتكاب الذنب صغيرة كان الذنب أو كبيرة عالما كان مرتكبه أو جاهلا بشرط أن لا يكون ذلك الذنب من المكفرات كإنكار علمه تعالى بالجزئيات والا كفر مرتكبه قطعا وبشرط أن لا يكون مستحلا له وهو معلوم من الدين بالضرورة كالزنا وإلا كفر باستحلاله لذلك وخالفت الخوارج فكفروا مرتكب الذنوب وجعلوا جميع الذنوب كبائر كما سيأتي (ومن يمت ولم يتب من ذنبه فأمره مفوض لربه)

Artinya, “(Kita tidak boleh mengafirkan orang lain yang seiman karena sebuah dosa), ini rincian atas penjelasan sebelumnya. Kalau dibaca dengan ‘nun’, maka artinya ‘Kita sebagai penganut Ahlussunah tidak mengafirkan orang lain.’ Kalau dibaca dengan ‘ta’, maka artinya, ‘Kamu tidak boleh mengafirkan orang lain yang seiman karena ia telah berdosa baik dosa kecil maupun dosa besar, baik ia menyadari maupun tidak menyadari bahwa itu adalah dosa.’ Tentu dengan catatan bahwa dosa itu bukan termasuk dosa yang menyebabkannya menjadi kufur seperti pengingkaran atas pengetahuan Allah terhadap hal-hal yang kecil. Kalau seseorang mengingkari itu, maka ia jatuh ke dalam kekufuran. Di samping itu ia juga tidak menghalalkan larangan Allah yang sangat maklum dalam agama seperti larangan zina. Kalau seseorang menganggap halal larangan seperti itu, maka ia telah kufur karena telah menganggap halal larangan yang hukumnya sudah terang. Ahlusunnah berbeda dengan kelompok Khawarij. Khawarij mengafirkan orang seiman yang berbuat dosa dan mereka menganggap semua dosa itu sebagai dosa besar. (Orang beriman yang meninggal dunia sementara ia belum sempat bertobat, maka [kita] serahkan saja kepada Allah),” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyah Tuhfatil Murid ala Jauharatit Tauhid, Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabaiyah, tanpa tahun, halaman 112).

Saran kami, kita sebaiknya lebih bersemangat dalam sembahyang Jumat karena selain kewajiban, di dalamnya juga terdapat banyak keutamaan. Selagi tidak ada uzur yang memberatkan, sebaiknya kita menunaikan kewajiban sembahyang Jumat.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar