Al-Durrah al-Bahiyyah, Fatwa Ulama Kurdistan
atas Masalah Islam Nusantara Abad Ke-18
Dalam manuskrip berjudul “Tarjamah al-Syikkh
Muhammad Sulaimân al-Kurdî” (koleksi perpustakaan King Saud University, Riyadh,
dengan nomor kode 5628) yang berisi sejarah hidup dan karya-karya Syekh
Muhammad ibn Sulaimân al-Kurdî al-Madanî (w. 1780 M), didapati sebuah data dan
informasi penting terkait sejarah Islam Nusantara, yaitu adanya salah satu
karya beliau yang berjudul “al-Durrah al-Bahiyyah fî Jawâb al-As’ilah
al-Jâwiyyah”.
Syekh Muhammad ibn Sulaimân al-Kurdî
al-Madanî adalah salah seorang ulama besar dunia Islam asal Kurdistan yang
lahir di Damaskus dan berkarir di Madinah pada abad ke-18 M. Beliau tercatat
sebagai mufti Madinah di zamannya, sekaligus menjadi guru utama dari beberapa
ulama Nusantara di kota suci itu pada masa tersebut (seperti Syekh Abdul Shamad
Palembang, Syekh Arsyad Banjar, Syekh Abdul Wahhab Bugis, dan lain-lain), di
samping Syekh Muhammad ibn ‘Abd al-Karîm al-Sammân al-Madanî (w. 1775 M).
Menyimak judulnya, kitab “al-Durrah
al-Bahiyyah fî Jawâb al-As’ilah al-Jâwiyyah” sudah bisa dipastikan berisi
kumpulan fatwa Syekh Muhammad ibn Sulaimân al-Kurdî atas beberapa persoalan
yang datang dari Nusantara. Sayangnya, hingga saat ini, keberadaan manuskrip
kitab ini belum berhasil ditemukan, sehingga masalah-masalah Nusantara apa saja
yang diajukan kepada Syekh al-Kurdî tidak dapat terlacak, demikian pula halnya
dengan jawaban fatwa yang diberikan oleh beliau.
Prof. Azyumardi Azra dalam “Jaringan Ulama
Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII” (Bandung: Mizan,
2004, hal. 137), menyinggung keberadaan karya ini. Prof. Azra menulis; “pada
abad ke-18 M, (Muhammad ibn) Sulaimân al-Kurdî, seorang ulama Haramain
terkemuka juga menjadi guru sekelompok murid dari Melayu-Indonesia, menulis
sebuah karya berjudul “al-Durrat al-Bahiyyah fî Jawâb al-Asilat al-Jâwiyyah”.
Semua ini menunjukkan adanya wacana regio-intlektual yang kuat di antara para
murid melayu-indonesia dan para ulama di Haramain dan tanggung jawabnya
terhadap pembaharuan religio-intlektual di kalangan kaum muslimin Jawi”.
Adanya sebuah isyarat akan keberadaan kitab
berjudul “al-Durrah al-Bahiyyah” karangan Syekh Muhamad ibn Sulaimân al-Kurdî
ini setidaknya dapat menjadi bukti tambahan lain tentang sejarah jaringan
intelektual ulama Nusantara-Haramain pada abad ke-18 M. Bahwa antara Muslim
Nusantara dengan jantung intelektual dunia Islam, yaitu Makkah dan Madinah,
terdapat hubungan yang erat dan kuat, yang salah satunya dibuktikan oleh adanya
surat meminta fatwa (risâlah al-istiftâ) yang dikirimkan oleh Muslim Nusantara
ke salah seorang ulama sentral Madinah saat itu, dalam hal ini adalah Syekh
Muhammad ibn Sulaimân al-Kurdî.
Syekh Muhammad ibn Sulaimân al-Kurdî pun
menjawab pertanyaan-pertanyaan Muslim Nusantara tersebut melalui sebuah risalah
yang diberi judul ““al-Durrah al-Bahiyyah fî Jawâb al-As’ilah al-Jâwiyyah”.
Hal ini sekaligus menegaskan bahwa hubungan
dan jaringan intelektual Muslim Nusantara-Haramain itu tidak terputus, karena
pada generasi sebelumnya, yaitu pada abad ke-17 M, seorang ulama asal Kurdistan
yang juga berkarir di Madinah, yaitu Syekh Ibrâhîm ibn Hasan al-Kûrânî
al-Madanî (w. 1690 M), yang juga guru utama ulama Nusantara di Haramain pada
generasi Syekh ‘Abd al-Raûf ibn ‘Alî al-Jâwî (Syekh Abdul Rauf Singkel, w. 1693
M) dan Syekh Yûsuf al-Tâj al-Khalwatî al-Jâwî (Syekh Yusuf Makassar, w. 1699
M), telah menulis sebuah risalah dengan tema serupa.
Risalah yang ditulis oleh Syekh Ibrâhîm
al-Kûrânî di atas berjudul “al-Jawâbât al-Gharâwiyyah li al-Masâ’il al-Jâwiyyah
al-Juhriyyah”. Risalah ini menghimpun fatwa Syekh Ibrâhîm al-Kûrânî atas lima
permasalahan yang dikemukakan oleh umat Muslim Nusantara dari wilayah “Johor”
di Semenanjung (kini Malaysia). Karena itu pulalah, dalam judul disebutkan
“al-Asilah al-Jâwiyyah al-Juhriyyah” (Soalan-soalan [dari] Negeri Jawi Johor).
Risalah ini selesai ditulis pada hari Selasa, 25 Shafar tahun 1070 Hijri (11
November 1659 M).
Kembali ke Syekh Muhammad ibn Sulaimân
al-Kurdî. Di Nusantara, ada sebuah karya beliau yang cukup populer dan masih
dikaji khususnya di kalangan pesantren tradisional (Nahdlatul Ulama). Karya
tersebut adalah “al-Hawâsyî al-Madaniyyah ‘alâ Syarh al-Muqaddimah
al-Hadhramiyyah” yang mengkaji bidang fikih madzhab Syafi’i. “al-Hawâsyî
al-Madaniyyah” merupakan “hâsyiah” (ulasan panjang) atas kitab “al-Manhaj
al-Qawwîm” karya al-Imâm Ibn Hajar al-Haitamî al-Makkî (w. 1566 M), yang
merupakan “syarh” (komentar/ penjelasan) atas “matn” (teks) “Masâ’il al-Ta’lîm”
atau “al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah” karya Syekh ‘Abdullâh ibn ‘Abd al-Rahmân
Bâ-Fadhal al-Hadhramî (w. 1512 M).
Kitab “al-Hawâsyî al-Madaniyyah” karangan
Syekh Muhammad ibn Sulaimân al-Kurdî ini berkerabat dengan kitab hâsyiah
“Mauhibah Dzî al-Fadhal ‘alâ Syarh Muqaddimah Bâ-Fadhal” atau “al-Manhal
al-‘Amîm ‘alâ syarh al-Manhaj al-Qawwîm” (dikenal juga dengan “Hâsyiah
al-Tarmasî”) karangan seorang ulama Nusantara yang berkarir di Makkah, yaitu
Syekh Muhammad Mahfûzh ibn ‘Abdullâh ibn ‘Abd al-Mannân al-Tarmasî al-Makkî
(dikenal dengan Syekh Mahfuzh Tremas, w. 1920 M).
Abu Daudi dalam bukunya “Maulana Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari (Tuan Haji Besar)” yang diterbitkan oleh Madrasah
Sullam al-Ulum (Martapura: 1996, hal. 29) mengatakan bahwa Syekh Muhammad
Arsyad Banjar meminta fatwa kepada gurunya Syekh Muhammad Sulaimân al-Kurdî
tentang keadaan Sultan Banjar yang memungut pajak dan mengenakan hukuman denda
bagi mereka yang meninggalkan shalat Jum’at dengan sengaja, serta berbagai
masalah lainnya.
Syekh Muhammad Sulaimân al-Kurdî pun menjawab
pertanyaan Syekh Arsyad Banjar tersebut. Dikatakan oleh Daudi, bahwa naskah
fatwa jawaban tersebut sampai sekarang masih ada dan tetap tersimpan dengan
baik pada salah seorang zuriat Syekh Arsyad Banjar yang tinggal di desa Dalam
Pagar Martapura, Kalimantan Selatan.
Diceritakan pula oleh Daudi, bahwa Syekh
Arsyad Banjar pulang ke negerinya di Kesultanan Banjar atas anjuran dari
gurunya Syekh Muhammad ibn Sulaimân al-Kurdî itu, padahal Syekh Muhammad Arsyad
Banjar saat itu hendak melanjutkan pengembaraan intelektual ke Mesir dan
berencana belajar di Al-Azhar. Oleh Syekh Muhammad ibn Sulaimân al-Kurdî, Syekh
Muhammad Arsyad Banjar disuruh pulang ke Banjar guna menyebarkan ilmu
pengetahuan yang telah didapat di Haramain. []
(A. Ginanjar Sya’ban)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar