Senin, 31 Juli 2017

(Buku of the Day) Al-Durrah al-Bahiyyah, Fatwa Ulama Kurdistan atas Masalah Islam Nusantara Abad Ke-18



Al-Durrah al-Bahiyyah, Fatwa Ulama Kurdistan atas Masalah Islam Nusantara Abad Ke-18


Dalam manuskrip berjudul “Tarjamah al-Syikkh Muhammad Sulaimân al-Kurdî” (koleksi perpustakaan King Saud University, Riyadh, dengan nomor kode 5628) yang berisi sejarah hidup dan karya-karya Syekh Muhammad ibn Sulaimân al-Kurdî al-Madanî (w. 1780 M), didapati sebuah data dan informasi penting terkait sejarah Islam Nusantara, yaitu adanya salah satu karya beliau yang berjudul “al-Durrah al-Bahiyyah fî Jawâb al-As’ilah al-Jâwiyyah”.

Syekh Muhammad ibn Sulaimân al-Kurdî al-Madanî adalah salah seorang ulama besar dunia Islam asal Kurdistan yang lahir di Damaskus dan berkarir di Madinah pada abad ke-18 M. Beliau tercatat sebagai mufti Madinah di zamannya, sekaligus menjadi guru utama dari beberapa ulama Nusantara di kota suci itu pada masa tersebut (seperti Syekh Abdul Shamad Palembang, Syekh Arsyad Banjar, Syekh Abdul Wahhab Bugis, dan lain-lain), di samping Syekh Muhammad ibn ‘Abd al-Karîm al-Sammân al-Madanî (w. 1775 M).

Menyimak judulnya, kitab “al-Durrah al-Bahiyyah fî Jawâb al-As’ilah al-Jâwiyyah” sudah bisa dipastikan berisi kumpulan fatwa Syekh Muhammad ibn Sulaimân al-Kurdî atas beberapa persoalan yang datang dari Nusantara. Sayangnya, hingga saat ini, keberadaan manuskrip kitab ini belum berhasil ditemukan, sehingga masalah-masalah Nusantara apa saja yang diajukan kepada Syekh al-Kurdî tidak dapat terlacak, demikian pula halnya dengan jawaban fatwa yang diberikan oleh beliau.

Prof. Azyumardi Azra dalam “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII” (Bandung: Mizan, 2004, hal. 137), menyinggung keberadaan karya ini. Prof. Azra menulis; “pada abad ke-18 M, (Muhammad ibn) Sulaimân al-Kurdî, seorang ulama Haramain terkemuka juga menjadi guru sekelompok murid dari Melayu-Indonesia, menulis sebuah karya berjudul “al-Durrat al-Bahiyyah fî Jawâb al-Asilat al-Jâwiyyah”. Semua ini menunjukkan adanya wacana regio-intlektual yang kuat di antara para murid melayu-indonesia dan para ulama di Haramain dan tanggung jawabnya terhadap pembaharuan religio-intlektual di kalangan kaum muslimin Jawi”.

Adanya sebuah isyarat akan keberadaan kitab berjudul “al-Durrah al-Bahiyyah” karangan Syekh Muhamad ibn Sulaimân al-Kurdî ini setidaknya dapat menjadi bukti tambahan lain tentang sejarah jaringan intelektual ulama Nusantara-Haramain pada abad ke-18 M. Bahwa antara Muslim Nusantara dengan jantung intelektual dunia Islam, yaitu Makkah dan Madinah, terdapat hubungan yang erat dan kuat, yang salah satunya dibuktikan oleh adanya surat meminta fatwa (risâlah al-istiftâ) yang dikirimkan oleh Muslim Nusantara ke salah seorang ulama sentral Madinah saat itu, dalam hal ini adalah Syekh Muhammad ibn Sulaimân al-Kurdî.

Syekh Muhammad ibn Sulaimân al-Kurdî pun menjawab pertanyaan-pertanyaan Muslim Nusantara tersebut melalui sebuah risalah yang diberi judul ““al-Durrah al-Bahiyyah fî Jawâb al-As’ilah al-Jâwiyyah”.

Hal ini sekaligus menegaskan bahwa hubungan dan jaringan intelektual Muslim Nusantara-Haramain itu tidak terputus, karena pada generasi sebelumnya, yaitu pada abad ke-17 M, seorang ulama asal Kurdistan yang juga berkarir di Madinah, yaitu Syekh Ibrâhîm ibn Hasan al-Kûrânî al-Madanî (w. 1690 M), yang juga guru utama ulama Nusantara di Haramain pada generasi Syekh ‘Abd al-Raûf ibn ‘Alî al-Jâwî (Syekh Abdul Rauf Singkel, w. 1693 M) dan Syekh Yûsuf al-Tâj al-Khalwatî al-Jâwî (Syekh Yusuf Makassar, w. 1699 M), telah menulis sebuah risalah dengan tema serupa.

Risalah yang ditulis oleh Syekh Ibrâhîm al-Kûrânî di atas berjudul “al-Jawâbât al-Gharâwiyyah li al-Masâ’il al-Jâwiyyah al-Juhriyyah”. Risalah ini menghimpun fatwa Syekh Ibrâhîm al-Kûrânî atas lima permasalahan yang dikemukakan oleh umat Muslim Nusantara dari wilayah “Johor” di Semenanjung (kini Malaysia). Karena itu pulalah, dalam judul disebutkan “al-Asilah al-Jâwiyyah al-Juhriyyah” (Soalan-soalan [dari] Negeri Jawi Johor). Risalah ini selesai ditulis pada hari Selasa, 25 Shafar tahun 1070 Hijri (11 November 1659 M).

Kembali ke Syekh Muhammad ibn Sulaimân al-Kurdî. Di Nusantara, ada sebuah karya beliau yang cukup populer dan masih dikaji khususnya di kalangan pesantren tradisional (Nahdlatul Ulama). Karya tersebut adalah “al-Hawâsyî al-Madaniyyah ‘alâ Syarh al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah” yang mengkaji bidang fikih madzhab Syafi’i. “al-Hawâsyî al-Madaniyyah” merupakan “hâsyiah” (ulasan panjang) atas kitab “al-Manhaj al-Qawwîm” karya al-Imâm Ibn Hajar al-Haitamî al-Makkî (w. 1566 M), yang merupakan “syarh” (komentar/ penjelasan) atas “matn” (teks) “Masâ’il al-Ta’lîm” atau “al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah” karya Syekh ‘Abdullâh ibn ‘Abd al-Rahmân Bâ-Fadhal al-Hadhramî (w. 1512 M).

Kitab “al-Hawâsyî al-Madaniyyah” karangan Syekh Muhammad ibn Sulaimân al-Kurdî ini berkerabat dengan kitab hâsyiah “Mauhibah Dzî al-Fadhal ‘alâ Syarh Muqaddimah Bâ-Fadhal” atau “al-Manhal al-‘Amîm ‘alâ syarh al-Manhaj al-Qawwîm” (dikenal juga dengan “Hâsyiah al-Tarmasî”) karangan seorang ulama Nusantara yang berkarir di Makkah, yaitu Syekh Muhammad Mahfûzh ibn ‘Abdullâh ibn ‘Abd al-Mannân al-Tarmasî al-Makkî (dikenal dengan Syekh Mahfuzh Tremas, w. 1920 M).

Abu Daudi dalam bukunya “Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (Tuan Haji Besar)” yang diterbitkan oleh Madrasah Sullam al-Ulum (Martapura: 1996, hal. 29) mengatakan bahwa Syekh Muhammad Arsyad Banjar meminta fatwa kepada gurunya Syekh Muhammad Sulaimân al-Kurdî tentang keadaan Sultan Banjar yang memungut pajak dan mengenakan hukuman denda bagi mereka yang meninggalkan shalat Jum’at dengan sengaja, serta berbagai masalah lainnya.

Syekh Muhammad Sulaimân al-Kurdî pun menjawab pertanyaan Syekh Arsyad Banjar tersebut. Dikatakan oleh Daudi, bahwa naskah fatwa jawaban tersebut sampai sekarang masih ada dan tetap tersimpan dengan baik pada salah seorang zuriat Syekh Arsyad Banjar yang tinggal di desa Dalam Pagar Martapura, Kalimantan Selatan.

Diceritakan pula oleh Daudi, bahwa Syekh Arsyad Banjar pulang ke negerinya di Kesultanan Banjar atas anjuran dari gurunya Syekh Muhammad ibn Sulaimân al-Kurdî itu, padahal Syekh Muhammad Arsyad Banjar saat itu hendak melanjutkan pengembaraan intelektual ke Mesir dan berencana belajar di Al-Azhar. Oleh Syekh Muhammad ibn Sulaimân al-Kurdî, Syekh Muhammad Arsyad Banjar disuruh pulang ke Banjar guna menyebarkan ilmu pengetahuan yang telah didapat di Haramain. []

(A. Ginanjar Sya’ban)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar