Halalbihalal dan Saling Memaafkan
Oleh: Musdah Mulia
PENGALAMAN selama ini menunjukkan bahwa yang dimaksudkan dengan
kegiatan halalbihalal ialah berkumpulnya sejumlah orang pada suatu tempat tertentu
yang diadakan setelah Hari Lebaran untuk bersalaman sebagai ungkapan
maaf-memaafkan. Menarik dicatat, tradisi halalbihalal hanya dijumpai di
Indonesia. Karena itu, kegiatan itu tidak dikenal di negara-negara Islam
lainnya, bahkan di Arab Saudi tempat asal agama Islam. Walaupun tidak dilakukan
di lingkungan masyarakat muslim lain, tradisi itu memiliki akar yang kuat dalam
ajaran Islam, khususnya ajaran mengenai perlunya mempererat hubungan
silaturahim dan saling memaafkan di antara sesama manusia (QS An-Nur 24:22,
Al-Baqarah 2:237, dan Al-Maidah 5:13).
Sulit memastikan kapan tradisi ini muncul, tetapi yang jelas
tradisi ini mulai dilembagakan di Tanah Air dalam bentuk upacara sekitar
1940-an dan mulai berkembang luas setelah 1950-an. Kini penyelenggaraan
halalbihalal dijumpai pada seluruh lapisan masyarakat muslim, baik di
lingkungan instansi negara maupun swasta, serta di lingkungan organisasi-
organisasi kemasyarakatan lainnya. Secara linguistik halalbihalal ialah kata
majemuk yang terdiri atas pengulangan kata halal dan diantarai sebuah kata
penghubung. Kata halal berasal dari akar kata halla atau halala yang mengandung
beberapa pengertian. Di antaranya dapat berarti 'melepaskan ikatan', 'mengurai
benang kusut', 'mencairkan kebekuan', dan 'menyelesaikan masalah'.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat ditarik suatu benang merah
yang merupakan esensi halalbihalal, yaitu aktivitas silaturahim yang dilakukan
setelah puasa Ramadan dan setelah salat Idul Fitri untuk lebih mempererat
hubungan persaudaraan dan kekeluargaan serta hubungan kemanusiaan di antara
anggota keluarga, tetangga, kerabat dan kolega. Tujuannya agar tidak ada lagi
belenggu yang mengganggu, tidak ada lagi kebekuan dan masalah yang merintangi
hubungan dan komunikasi di antara sesama.
Perlunya menyucikan jiwa
Islam secara tegas mengajarkan bahwa manusia itu pada dasarnya suci. Hanya dalam perjalanan hidupnya manusia tercemar oleh berbagai dosa. Pencemaran terjadi karena dalam diri manusia ada tendensi untuk mengikuti hawa nafsu yang bersifat irasional dan senantiasa membujuk manusia berpaling dari fitrah kesucian. Hawa nafsu merupakan pangkal dari semua penyakit hati dalam kehidupan manusia, yaitu sombong, arogan, dengki, dendam, benci, iri, rakus, serakah harta dan kekuasaan serta semua bentuk sifat keji lainnya. Hawa nafsu pada dasarnya ialah kecenderungan jiwa yang salah. Allah SWT berfirman: "Andai kata kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini (QS Al-Mukminun, 23:71).
Di kalangan sufi dikenal ungkapan 'musuh manusia yang paling
berbahaya adalah nafsunya sendiri'. Ketika usai Perang Badr yang terkenal
sangat dahsyat, Nabi SAW berkata kepada para sahabatnya: "Kita baru saja
selesai dengan perang yang kecil menuju perang yang lebih besar," para sahabat
terperanjat dan bertanya perang apakah gerangan yang lebih dahsyat daripada
Perang Badr, Nabi pun menjawab: "Perang melawan hawa nafsu." Anehnya,
sekalipun telah dianugerahi fitrah yang hanif, manusia tetap merupakan makhluk
lemah. Kelemahan utama manusia justru terletak pada dua sifat yang menonjol,
yakni kepicikan atau sempit pikiran (al-dha'f) dan kekikiran (al-qatr). Hampir
semua bentuk kesalahan, kekhilafan, dan dosa yang diperbuat manusia timbul
akibat dua sifat tersebut (perhatikan kandungan QS Al-Ma'rij, 70:19-21,
An-Nisa', 4:128, Al-Hasyr, 59:9, At-Taghabun, 64:16, Al-Isra', 17:100).
Karena dua sifat buruk: kepicikan dan kekikiran itulah, manusia
mudah tergoda oleh daya tarik jangka pendek suatu perbuatan sambil melupakan
akibat jangka panjangnya yang sering kali merugikan dan membahayakan, bukan
hanya dirinya, melainkan juga keluarga dan orang banyak. Tidak mengherankan
jika manusia mudah tergoda untuk berdusta dan menipu secara licik dan keji demi
mendapatkan harta, meraih jabatan dan kekuasaan, korupsi, menebar berita hoax
dan fitnah, mudah terpicu provokasi yang berakhir konflik.
Kedua sifat buruk itulah yang menjadikan manusia mempunyai sifat tergesa-gesa (panik dan tidak sabaran), dan tidak suka merenungkan akibat jangka panjang dari semua tindakannya (QS Al-Anbiya', 21:37, Al-Isra', 17:11, Al-Qiyamah, 75:20-21, Al-Baqarah, 2:10, dan Al-Muzammil, 73:20).
Manusia cenderung sulit menahan diri dari godaan dosa dan zulm
(kegelapan) sehingga menjadi pelaku dosa dan dirinya diliputi kegelapan. Makin
parah manusia bergelimang dosa makin gelaplah hatinya dan pada akhirnya hati
itu akan berubah dari nurani (terang benderang) menjadi zulmani (gelap gulita).
Sifat tergesa-gesa membuat seseorang mudah menebar berita hoax dan fitnah tanpa
merasa perlu tabayun atau klarifikasi terlebih dahulu. Akibatnya, bagai sumbu
pendek yang mudah meledak, manusia mudah sekali terjerumus dalam konflik,
permusuhan dan perseteruan lantaran berita hoax dan fitnah tadi. Sifat
tergesa-gesa juga membawa kepada sifat sombong dan arogan, serta mudah putus
asa atau frustrasi.
Tidak ada makhluk lain di jagat raya yang demikian mudahnya
menjadi arogan dan frustrasi seperti halnya manusia. Alquran berulang kali
menandaskan kedua sifat tercela ini, yakni jika memperoleh rahmat dari Tuhan,
manusia lalu bersikap sombong dan arogan karena merasa rahmat itu datang karena
ikhtiarnya semata, bukan karena anugerah Tuhan Sang Pencipta. Sebaliknya, jika
rahmat Tuhan ditarik kembali dari dirinya atau mereka ditimpa bencana dan
musibah, mereka pun menjadi putus asa dan kecewa, seolah-olah Tuhan tidak
pernah menganugerahi mereka rahmat (QS Al-Fussilat, 41:49-51, dan Al-Isra'
17:83, 10:12). Semua ibadah yang diperintahkan Allah pada hakikatnya bertujuan
melatih jiwa manusia untuk mengekang dan mengendalikan hawa nafsu. Puasa,
misalnya merupakan media penyucian rohani sebagai latihan pengendalian diri
dari berbagai godaan hawa nafsu sehingga menjadi manusia yang bertakwa, yaitu
manusia yang menang dalam perjuangan menghadapi segala macam godaan.
jiwa melalui puasa tidak terbatas pada aspek pengekangan diri
terhadap kebutuhan fisik material belaka (makan, minum, dan hubungan seksual),
tetapi mencakup juga sikap positif yang ditandai dengan sikap syukur
kepada-Nya. Itulah sebabnya mengapa Alquran menegaskan bahwa puasa yang
produktif ialah puasa yang mampu mengantarkan pelakunya menjadi orang yang
bertakwa dan bersyukur. Puasa membimbing manusia untuk kembali kepada fitrah,
yakni asal kejadiannya. Itulah sebabnya setelah usai berpuasa selama Ramadan
umat Islam beridul fitri atau kembali ke fitrahnya.
Diharapkan pada Idul fitri ini setiap individu berhasil tampil
kembali sebagai manusia suci seperti ketika ia dilahirkan. Selanjutnya
diharapkan melalui tradisi halalbihalal tersebut, manusia dapat terus-menerus
menyadari bahwa kesucian ialah pembawaan alami dirinya yang harus dipertahankan
dengan ucapan, sikap, dan perilaku yang baik, positif, dan konstruktif. Mengapa
harus saling memaafkan? "Mohon maaf lahir batin." Apa makna ucapan
seperti itu bagi seseorang? Para ahli psikologi agama menyebutkan ucapan maaf
itu besar maknanya, yakni sebagai langkah awal untuk menyatakan penyesalan.
Itulah tindakan paling sederhana untuk menunjukkan sikap
penyesalan seseorang terhadap berbagai kesalahan yang pernah diperbuatnya.
Namun, yang lebih berarti bagi seseorang yang melakukan kesalahan ialah bahwa
penyesalan yang diucapkan itu sungguh-sungguh merupakan refleksi batin dan
sebagai komitmen untuk tidak mengulangi kesalahan lagi. Alquran mengajarkan
tiga hal yang harus dilakukan seorang muslim yang bertakwa berkenaan dengan
orang yang berbuat kesalahan terhadapnya, yaitu menahan amarah, memaafkan, dan
berbuat baik kepadanya (QS Al-Maidah, 5:134).
Bahkan, sekalipun orang lain bersumpah untuk tidak berbuat baik
kepadanya, ia pun tetap dianjurkan untuk memaafkan dan menghapuskan
kesalahannya (QS An-Nur, 24:22). Beridul fitri pada hakikatnya bermakna
merayakan kembalinya sifat kemanusiaan sejati. Manusia hendaknya diliputi rasa
cinta kasih dan kemurahan hati yang disertai dengan kemampuan menahan marah
serta keinginan tulus untuk meminta maaf dan memaafkan sesama. Sikap-sikap
terpuji itulah yang sesungguhnya merupakan wujud nyata dari fitrah manusia yang
dituliskan Allah dalam diri manusia pada awal penciptaannya (QS Ar-Rum, 30:30).
Kesadaran akan fitrah manusia dan kenyataan bahwa dalam realitas
tidak ada manusia yang luput dari dosa dan kesalahan membawa kepada kesadaran
baru akan perlunya meminta maaf kepada sesama manusia, terutama kepada
orangtua: ibu dan bapak, serta kerabat dekat. Bukan hanya meminta maaf,
melainkan juga memberi maaf kepada sesama tidak kalah pentingnya. Sebesar apa
pun kesalahan orang lain tidak perlu dihitung. Berpasrahlah hanya kepada Allah
karena Dia lebih tahu hitungannya. Yang penting bagi kita ialah memberi maaf
dan tunjukkan sikap yang lebih baik.
Memang sangat tidak mudah melakukan ini, tapi itulah perintah
agama demi membangun kehidupan damai dan harmoni dengan sesama. Dalam interaksi
antarsesama manusia sulit dihindarkan adanya saling benturan kepentingan, salah
paham, dan salah persepsi. Namun, kenyataan itu tidaklah membuat manusia mudah
melupakan kesalahan orang lain atau meminta maaf. Orang umumnya lebih suka
membayar ganti rugi atau membayar sanksi daripada harus meminta maaf sebab
meminta maaf diidentikkan dengan kehilangan harga diri atau kehilangan muka.
Untuk menghapus keengganan meminta maaf dan memaafkan sesama, agaknya perlu
direnungkan sifat-sifat Tuhan yang baik (al-asma'ul husna). Di antara 99
al-asma'ul husna empat yang berkaitan dengan sifat pemaaf, yakni sifat-sifat
Al-Ghaffar, Al-Ghafur, Al-Thawwab, dan Al-Afwu.
Sebagai Al-Ghaffar, Allah senantiasa berjanji menutupi kesalahan
dan dosa orang-orang yang bertaubat, bahkan kesalahannya akan ditukar dengan
kebajikan (QS Al-Furqan, 25:70). Allah SWT menyambut permohonan tulus
hamba-hamba-Nya yang berdosa, betapa pun besar dan banyak dosanya selama yang
bersangkutan tidak mempersekutukan Allah (QS Al-Furqan, 25:70). Allah SWT
memerintahkan manusia agar meneladani-Nya dalam memberi maaf dan ampunan (QS
Al-Jatsiyah, 45:15), bahkan ditegaskan bahwa: "Siapa yang bersabar dan
memaafkan kesalahan orang lain maka hal demikian termasuk sifat utama." (Asy-Syura',
42:43).
Ampunan Tuhan tak terbatas dan tak ternilai oleh apa pun. Hanya
satu syarat yang digariskan, yaitu tidak mempersekutukan Allah dengan suatu apa
pun. Mari kita renungkan bunyi suatu hadis qudsi sebagai berikut:
"Hamba-Ku, seandainya kalian datang kepada-Ku dengan membawa sepenuh isi
bumi dosa, Aku pasti menyambut kalian dengan sepenuh bumi ampunan, asalkan
kalian tidak mempersekutukan Aku." (HR Tarmizi dari Anas ibn Malik).
Sebagai konklusi dapat disimpulkan bahwa halalbihalal bukan saja menuntut
seseorang agar memaafkan orang lain, melainkan lebih daripada itu, yakni agar
setiap orang berbuat lebih baik, bahkan yang terbaik, kepada siapa pun.
Itulah landasan filosofis dari halalbihalal. Dengan demikian,
esensi halalbihalal tidak terhenti hanya sesudah Lebaran, tetapi hendaknya
berlangsung sepanjang masa. Untuk itu, marilah kita pada halalbihalal kali ini
membuat komitmen baru pada diri kita masing-masing bahwa sepanjang tahun jiwa
kita tetap bersih dan berada dalam koridor fitrah sehing a kta semua tergolong
dalam kelompok al-a'idin wal faizin (orang-orang yang kembali ke fitrah dan
menggapai kemenangan abadi). Amin, ya rabbal alamin. []
MEDIA INDONESIA, 30 June 2017
Musdah Mulia | Presiden Indonesian Conference on Religion for
Peace (ICRP) Dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar