Senin, 31 Juli 2017

BamSoet: Densus Tipikor, Pencegahan, dan Efek Jera



Densus Tipikor, Pencegahan, dan Efek Jera
Oleh: Bambang Soesatyo

Efek jera korupsi tak kunjung tumbuh kendati Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah dan akan terus menjerat koruptor. Lalu, apa yang sepatutnya diharap­kan dari gagasan Polri meng­hadirkan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor)?

Mudah-mudahan saja Densus Tipikor tidak hanya fokus pada penindakan. Aspek yang jauh lebih penting dan strategis adalah pencegahan dan upaya menumbuhkembangkan efek jera bagi siapa saja untuk berani dan mau meng­hindari tipikor. Program untuk dua target strategis ini terasa kosong di ruang publik. Masyarakat tidak tahu apakah negara punya program spesifik untuk mencegah pejabat negara atau warga biasa melakukan korupsi? Bahkan, dengan fakta semakin maraknya praktik korupsi, Indonesia seperti kehilangan akal untuk menum­buhkembangkan efek jera. Tersangka korupsi tidak malu ketika mereka "dipermalukan" oleh status sebagai tahanan KPK. Vonis Pengadilan Tipikor pun tidak membuat para calon koruptor takut atau jera me­laku­kan korupsi.

Memang, penindakan tetap penting karena perilaku korup terlalu sulit dihilangkan. Namun, terbukti bahwa penindakan nyaris tidak menyelesaikan masalah. Akhir-akhir ini penangkapan atau operasi tangkap tangan (OTT) terhadap terduga koruptor bahkan ibarat tontonan yang tidak menarik untuk dicermati. Masyarakat cenderung bosan disuguhi berita tentang penangkapan atau OTT terduga koruptor. Apalagi, banyak kasus yang dugaan nilai korupsinya tidak signifikan seperti kasus BLBI, kasus Bank Century, dan terakhir kasus korupsi proyek e-KTP.

Pergunjingan publik justru masuk ke tema tentang efek jera itu. Biasanya disampaikan dalam bentuk pertanyaan; me­ngapa mereka masih berani melakukan korupsi? Dari pertanyaan sederhana ini, bisa dimunculkan kesimpulan lain yang relevan. Kesimpulannya adalah mereka masih berani melakukan korupsi karena manajemen keuangan negara belum memiliki sistem atau pola pencegahan korupsi yang efektif. Ada inspektorat jenderal yang melaksanakan fungsi pengawasan internal pada setiap kementerian dan lembaga, serta inspektorat daerah pada semua pemerintah daerah. Namun, fakta mengenai maraknya korupsi mengonfirmasi bahwa peran pengawasan oleh inspektorat masih jauh dari efektif. Inspektorat jenderal bahkan ibarat macan ompong yang tidak berdaya menyikapi perilaku korup oknum pegawai negara.

Seperti itulah sekilas gambaran tentang problem negara memerangi korupsi. Sudah belasan tahun negara menugaskan KPK. Publik memang menyaksikan KPK sudah menindak banyak koruptor. Hasil lain adalah calon-calon koruptor memang takut kepada KPK. Itu saja. Tetapi, rasa takut itu tidak mengurangi atau menghilangkan hasrat melakukan korupsi. Calon-calon koruptor selalu dan tetap mencari celah serta modus baru untuk mencuri uang atau kekayaan negara. 

Maka itu, hasil apa yang sudah didapat negara dari belasan tahun menggelar perang melawan korupsi? Hasilnya terbilang minim. Tak lebih dari tumpukan kasus korupsi yang perkaranya telah divonis Pengadilan Tipikor. Tetapi, rentetan kasus baru terus bertambah. Tambahan kasus-kasus baru itu membuktikan bahwa perilaku korup oknum pegawai negara dan daerah, oknum anggota parlemen, juga oknum swasta sebagai mitra kementerian, lembaga, dan daerah masih tumbuh subur. 

Lalu, ketika Polri nanti berhasil menghadirkan Densus Tipikor, target apa yang ingin diraih? Kalau sebatas penindakan, kapabilitas Polri tak perlu diragukan. Dalam waktu singkat, Polri bahkan bisa menindak banyak kasus jika semua kepolisian daerah digerakkan. Sebab, kemampuan jelajah kerja Densus Tipikor jelas jauh lebih luas. Banyak dugaan kasus tipikor di daerah belum diperlakukan sebagaimana mestinya kendati sering dipergunjingkan warga setempat. Harus ada perhatian lebih terhadap perilaku korup sejumlah oknum di banyak daerah.

Nilai Tambah 

Namun, masyarakat tentu berharap Densus Tipikor bisa menghadirkan strategi atau rumusan baru dalam memerangi korupsi. Untuk menekan perilaku korup di semua lembaga negara dan daerah, tidak ada salahnya jika Polri ambisius dalam merumuskan tugas dan fungsi Densus Tipikor. Ambisius dalam arti berani mematok target-target besar dan strategis. Jadi, selain menggelar penindakan, Densus Tipikor hendaknya juga bisa memberikan rekomendasi bagi upaya pencegahan korupsi serta rekomendasi tentang strategi menumbuhkan efek jera. Mengapa faktor pencegahan dan faktor efek jera menjadi sangat penting? Karena, sudah terbukti bahwa kegiatan pemberantasan korupsi yang hanya fokus pada penindakan gagal menyelesaikan persoalan. 

Karena itu, pada saat merancang Densus Tipikor, sangat penting bagi Polri untuk merumuskan nilai tambah dari kehadiran Densus Tipikor itu sendiri. Nilai tambah itu sangat mungkin diberikan jika Densus Tipikor bisa merancang program spesifik tentang pencegahan korupsi serta upaya untuk membangun efek jera. Boleh jadi, tugas dan fungsi Densus Tipikor beda-beda tipis dengan KPK. Namun, di tingkat operasional, Densus Tipikor hendaknya tidak meng-copy paste metode dan target KPK. Tentang target, ada baiknya Polri membangun komunikasi dengan KPK. Misalnya, untuk dugaan kasus korupsi berdasarkan nilai atau besaran. Komunikasi dengan KPK jelas sangat diperlukan untuk menghindari tumpang tindih penanganan target operasi dan kasus. Pun, harus dibuka peluang bekerja sama dalam menggarap sebuah kasus dugaan korupsi. 

Pada saatnya nanti, Densus Tipikor akan juga pasti menyita perhatian publik. Karena dilahirkan oleh Polri, belum tentu Densus Tipikor akan mudah meraih kepercayaan publik. Benar bahwa kepercayaan publik terhadap Polri mulai membaik. Tetapi, membaiknya kepercayaan itu untuk peran Polri dalam menjaga keamanan dan ketertiban umum,  serta komitmen Polri menjaga kebinekaan. Ketika masuk dalam tugas pemberantasan korupsi, Polri masih harus bekerja keras lagi agar bisa meraih kepercayaan publik. Bagaimanapun, suka tidak suka, fakta mengatakan bahwa KPK telah menggenggam penuh kepercayaan publik untuk tugas pemberantasan korupsi itu. 

Maka itu, kehati-hatian dalam membentuk organisasi dan satuan-satuan kerja Densus Tipikor harus diutamakan. Potensi penyalahgunaan wewenang harus diminimalisasi. Sebab, mengendus dan mengintai terduga koruptor itu sangat dekat dengan tumpukan uang. Pekerjaan yang sarat godaan. Maka itu, Polri harus menempatkan Densus Tipikor pada posisi yang mudah untuk diawasi publik. Institusi Densus Tipikor itu pun tidak boleh eksklusif. Dia harus komunikatif dengan publik karena semua elemen masyarakat sangat peduli dengan pemberantasan korupsi.

Dalam konteks itu, kearifan Polri menjadi faktor yang sangat signifikan karena Densus Tipikor akan menjadi sebuah pertaruhan besar lagi strategis bagi masa depan institusi Polri. Segenap jajaran pimpinan Polri harus memastikan dan men­jamin bahwa Densus Tipikor bukan hanya bekerja sesuai dengan  tugas pokok dan fungsinya, melainkan juga jujur dan bersih serta taat asas. Jika Densus Tipikor bersih dan bekerja sesuai aspirasi masyarakat, Polri juga bisa menggenggam penuh kepercayaan masyarakat.

Jika nanti Densus Tipikor tampil, Indonesia setidaknya punya tiga instrumen yang fokus kerjanya memerangi perilaku korup: Densus Tipikor, KPK, dan Satuan Tugas (Satgas) Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli). Karena membidik oknum-oknum berperilaku korup, akan sangat ideal jika tiga instrumen ini bisa berkoordinasi membangun sinergi. Ketidaknyamanan masyarakat bukan hanya disebabkan oleh oknum-oknum yang korup, melainkan juga oknum yang berada di belakang praktik pungli yang terjadi pada hampir semua pos layanan publik. []

KORAN SINDO, 25 Juli 2017
Bambang Soesatyo | Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar/Presidium Nasional KAHMI 2012-2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar