Selasa, 18 Juli 2017

BamSoet: Hak Angket DPR Akan Perkuat KPK



Hak Angket DPR Akan Perkuat KPK
Oleh: Bambang Soesatyo

Pada akhirnya, akan terbukti bahwa Hak Angket DPR terhadap KPK yang sedang berlangsung sekarang ini akan semakin meningkatkan reputasi dan kredibilitas KPK. Proses pelaksanaan Hak Angket yang transparan akan menunjukkan kepada publik aspek apa saja di dalam KPK yang akan dikoreksi oleh Panitia Khusus (Pansus) DPR.

Pascalibur Lebaran, semua elemen masyarakat akan kembali pada kesibukannya masing-masing. Begitu juga dengan DPR. Terhadap aktivitas parlemen, tentu saja perhatian publik masih tertuju pada pelaksanaan Hak Angket DPR atas KPK.

Seperti diketahui, sebelum memasuki libur Lebaran, isu tentang Hak Angket DPR diramaikan oleh sikap Polri yang ingin melakukan pembicaraan terlebih dahulu sebelum melaksanakan pemanggilan paksa untuk menghadirkan tersangka pemberi keterangan palsu perkara e-KTP, Miryam S Haryani. Secara terbuka Kapolri Jenderal Tito Karnavian sudah mengemukakan alasan Polri terkait pemanggilan paksa itu.

Pansus Hak Angket DPR menghargai penjelasan Kapolri. Namun, penjelasan resmi tentu saja harus diberikan di forum Pansus. Pansus DPR dan Polri sudah sepakat untuk menggelar pertemuan di forum Hak Angket guna memperjelas duduk persoalan. Jika semua pihak mau melihat dan memahami persoalan dengan jernih dan objektif, masalah ini seharusnya tidak menimbulkan kegaduhan.

Ada pijakan konstitusi dan hukumnya ketika Pansus Hak Angket DPR meminta Polri menghadirkan Miryam. Pijakan konstitusinya adalah UUD 1945 dan pijakan hukumnya adalah Undang-undang (UU) No. 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Pasal 204 dan 205 UU MD3 mengatur dengan tegas dan jelas tata cara dan pelaksanaan pemanggilan paksa itu.

Pasal 205 ayat 7 UU MD3 juga memberi hak dan wewenang kepada polisi untuk melakukan penyanderaan paling lama 15 hari atas permintaan Pansus atau DPR. Bahkan ayat 5 dari Pasal 204 UU MD3 pun menetapkan anggaran pemanggilan yang dibebankan ke DPR.

KPK juga sempat mengemukakan pendapat bahwa pemanggilan Miryam oleh Pansus Hak Angket sudah tidak diperlukan karena Miryam sudah membuat pengakuan bahwa dirinya tidak ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III DPR. KPK menilai surat pengakuan Miryam itu sudah menjawab keinginan Pansus Hak Angket DPR.

Saya pribadi sependapat dengan pernyataan tersebut. Namun, pernyataan Miryam secara resmi penting juga sebagai bukti hukum di persidangan Pansus Hak Angket. Hanya mekanismenya saja yang harus dicarikan jalan keluar agar tidak ada pihak yang harus kehilangan muka.

Memang, faktor pengakuan Miryam menjadi salah satu poin yang akan dipersoalkan Pansus. Sebab, pengakuan Miryam itu melahirkan pertanyaan tentang siapa yang harus dipercaya; Miryam atau kesaksian penyidik KPK?

Jika Pansus Hak Angket DPR akhirnya lebih percaya pada pernyataan tertulis Miryam, maka siapa yang sesungguhnya memberikan keterangan atau kesaksian palsu di persidangan? Apakah kasus dugaan kesaksian palsu di persidangan Tipikor oleh oknum penyidik KPK cukup didiamkan atau harus disikapi biasa-biasa saja?

Kalau ada oknum di KPK diduga menyalahgunakan wewenang, sudah barang tentu harus dikoreksi. Pansus akan mendalami kemungkinan penyalahgunaan wewenang yang lebih luas. Jadi, kasus keterangan palsu yang diduga melibatkan Miryam atau oknum penyidik KPK itu hanya sebagai faktor penggerak yang menginisiasi Hak Angket DPR.

Tetapi, faktor keterangan palsu bukan yang utama. Tujuan dan target utama dari pelaksanaan Hak Angket DPR adalah semakin memperkuat KPK. Menjadikan KPK institusi yang kredibel, taat azas, taat UU, bersih dari kepentingan kelompok, tidak ada penyalahgunaan wewenang dan tidak menjadi lembaga yang imun dari pengawasan eksternal. Jangan pernah berasumsi bahwa KPK dan orang-orang di dalamnya tidak pernah bisa berbuat salah. KPK itu dikelola oleh manusia-manusia biasa.

Ketika tujuan Pansus Hak Angket dicurigai sebagai upaya memperlemah atau intervensi, kecurigaan itu harus diterima DPR sebagai risiko. Sudah menjadi tugas dan kewajiban DPR untuk selalu bersikap kritis, tidak hanya kepada KPK, tetapi juga kepada lembaga Kepresidenan sekali pun. Sikap kritis adalah bentuk lain dari dukungan untuk memperkuat KPK.

Disharmoni dan Insubordinasi

Ada sejumlah alasan strategis di balik langkah DPR menghadirkan Pansus Hak Angket KPK. Selama ini, pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) KPK tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan tata kelola kelembagaan yang baik. Penilaian ini tercermin dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Kepatuhan KPK Tahun 2015, yang mencatat tujuh (7) indikasi ketidakpatuhan (tata kelola anggaran) terhadap peraturan perundang-undangan.

DPR dan sejumlah ahli hukum juga menilai KPK berperilaku tidak profesional dan juga tidak elegan dalam mengkomunikasikan informasi proses penanganan kasus kepada publik. KPK cenderung hanya ingin meraih popularitas sehingga sering tidak cermat dan tidak berhati-hati memberi keterangan atau penjelasan kepada masyarakat. Antara lain ditandai dengan kasus dugaan pembocoran informasi kepada media tertentu, pembocoran dokumen-dokumen penting yang bersifat rahasia, seperti BAP, Sprindik dan Surat Cekal.

Selain itu, sebagian besar masyarakat tentu tidak tahu bahwa telah terjadi disharmoni di dalam organisasi KPK. Ada satuan kerja yang merasa paling berjasa dan meremehkan satuan kerja lainnya. Tak hanya meremehkan satuan kerja lain, tetapi konon terjadi pula insubordinasi atau perlawanan terhadap keputusan pimpinan KPK.

Kemungkinan terjadinya insubordinasi terhadap pimpinan KPK memang sangat terbuka mengingat ketua atau pimpinan KPK selalu berganti dalam periode tertentu. Karena mekanismenya seperti itu, selalu saja ada sekumpulan pegawai KPK merasa paling powerfull untuk mengontrol dan mengendalikan organisasi KPK.

Seperti di banyak lembaga atau organisasi lainnya, kecenderungan seperti itulah yang mendorong sekelompok bawahan menganggap remeh atau melawan atasan, karena para pimpinan dinilai sebagai orang luar atau pegawai kontrakan. Arogansi kelompok pegawai seperti itu pula yang menjadi penyebab disharmoni dalam lembaga atau organisasi bersangkutan.

Sebuah organisasi kerja yang sudah terperangkap disharmoni dan insubordinasi terhadap pimpinan lazimnya melahirkan sejumlah ekses. Pada KPK, ekses itu setidaknya terlihat pada beberapa kasus yang kemungkinan besar akan terungkap di Pansus Hak Angket nanti. Oleh Pansus DPR, KPK akan didorong untuk jujur dan lebih transparan.

Jika ingin lebih kuat sesuai Tupoksi, KPK harus berhenti membohongi dirinya sendiri. Insubordinasi adalah perilaku tidak profesional. Insubordinasi mencerminkan nafsu untuk bertindak semena-mena. Disharmoni di tubuh KPK pun harus dihentikan. Koordinasi dan sinkronisasi antarsatuan kerja harus dipulihkan, dan pimpinan KPK harus kuat mengendalikan.

Kalau seperti itu cakupan objek pemeriksaan dan pendalaman masalah oleh Pansus DPR, lantas apa yang salah dengan Hak Angket terhadap KPK? Ditinjau dari berbagai aspek sekali pun, Hak Angket DPR terhadap KPK sudah memenuhi syarat konstitusionalitasnya. Pun, tujuannya bukan menghalangi proses hukum atau melemahkan KPK. Sebaliknya, Hak Angket DPR ingin menjadikan KPK semakin kredibel dan taat azas.

Semua elemen masyarakat harus mendukung dan memperkuat KPK dengan sikap kritis dan konstruktif. Jangan sesatkan persepsi publik dengan sikap dan perilaku tidak profesional. Mendukung KPK haruslah dengan argumentasi dan perilaku yang mencerahkan dan mencerdaskan publik. []

DETIK, 05 Juli 2017
Bambang Soesatyo | Ketua Komisi III DPR, Fraksi Partai Golkar/Anggota Pansus Hak Angket KPK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar