Rabu, 19 Juli 2017

Azyumardi: Relijiusitas Masyarakat Urban (1)



Relijiusitas Masyarakat Urban (1)
Oleh: Azyumardi Azra

Fenomena, gejala, dan ekspresi relijiusitas keagamaan kontemporer dalam masyarakat urban di Indonesia sangat kompleks, baik dalam hal kemunculan dan perkembangan teologi, doktrin, dan ritual agama maupun dalam kaitan dengan bidang-bidang kehidupan lain. Perubahan dan perkembangan begitu cepat dalam kehidupan perkotaan menimbulkan disrupsi, disorientasi dan dislokasi masyarakat urban. Dalam keadaan seperti itu, ada kian banyak warga perkotaan yang berusaha mencari ‘makna’ (meanings) untuk menemukan kedamaian (solace) atau bahkan ‘pelarian’ (escapism) dalam agama, relijiusitas atau spiritualisme.

Akibat peningkatan ekspresi relijiusitas dalam masyarakat urban, agama merambah ke berbagai bidang kehidupan dan ranah publik. Relijiusitas yang baru ditemukan (newly-found religiousity) membuat agama kian terlibat dalam kontestasi di ranah publik; politik, sosial-budaya, ekonomi dan pendidikan. Semua fenomena ini terkait banyak dengan perubahan dan dinamika masyarakat Indonesia di tengah proses demokratisasi, globalisasi dan informasi instan. Pada saat yang sama juga terkait perkembangan keagamaan kontemporer global dan dinamika politik, ekonomi, keamanan, dan budaya internasional.

Kompleksitas perkembangan, fenomena dan ekspresi relijiusitas dan keagamaan kontemporer di Indonesia membuat tidak mungkin atau sulit sekali menjelaskannya secara relatif komprehensif. Baik karena perkembangan di dalam dirinya sendiri maupun karena pengaruh bidang-bidang kehidupan lain, agama mengalami perubahan sangat cepat pada berbagai seginya. Sebagai contoh, proses demokratisasi dan perubahan politik dan sosial yang dimunculkannya memberi ruang kebebasan sangat luas bagi ekspresi keagamaan yang sebelumnya terpendam karena restriksi yang diberlakukan rejim penguasa Orde Baru. Di tengah kian meningkatnya keragaman itu, perlu semacam ‘penyederhanaan’ konseptual dengan membangun kategorisasi dan tipologisasi berbagai ramifikasi relijiusitas dan agama yang meski juga mengandung masalah dalam batas tertentu, tetapi tetap membantu ke arah pemahaman lebih akurat.

Gejala dan fenomena agama kontemporer paling menonjol di wilayah urban Indonesia khususnya adalah ‘kebangkitan agama’ dan revitalisasi yang terekspresikan dalam bentuk peningkatan gairah dan semangat keagamaan. Gejala revitalisasi relijiusitas terkait banyak dengan kian banyaknya kalangan masyarakat urban—khususnya kaum muda berusia 30-an atau 40-an tahun—yang merasa bahwa mereka telah ‘terlahir kembali’, born-again Muslim dan juga born-again Christians. Mereka ini sering juga dikenal sebagai ‘YUPPIES’ (Young, Urban, Professionals), yang umumnya lulusan perguruan tinggi, bekerja sebagai white collar yang memiliki penghasilan tetap yang sebagiannya bisa ditabung (saved steady income).

Mencapai tingkat keserbacukupan (affluence), mereka ini kemudian berusaha mencari ‘makna lebih dalam’ (meanings) kehidupan. Mereka inilah yang kemudian menampilkan berbagai gejala relijiusitas; di kalangan Muslim pemahaman dan praksis keagamaan lebih ketat di antaranya ‘neo-konservatisme Islam’; di antara penganut Kristianitas pemahaman literal terhadap AlKitab (Bible) yang kemudian memunculkan ‘fundamentalisme Kristen’.

Semua gejala dan ekspresi relijiusitas dan agama ini bertolak belakang dengan anggapan dan teori klasik tentang perubahan sosial, modernisasi, bahwa peningkatan ekonomi dan pendidikan menyingkirkan agama darikehidupan dan ranah publik. Sebaliknya agama bukan hanya bertahan; lebih daripada itu agama mendapatkan momentum baru khususnya di kalangan masyarakat urban. Bahkan terjadi semacam eksplosi keagamaan yang bisa mengambil berbagai bentuk ekspresi sejak yang bersifat rohaniah damai, bergairah dalam ritual tapi tetap moderat sampai kepada bentuk puritanisme, literalisme, ekstrimisme, radikalisme, terorisme, dan terakhir sekali ‘populisme’.

Dalam konteks itu, pada level arus utama masyarakat agama (mainstream) terlihat pula gejala umum meningkatnya ‘religious attachment’ yang sudah disinggung di atas. Gejala ini di kalangan Muslim—selain yang sudah disebutkan di atas—juga nampak dalam peningkatan jumlah jamaah haji, umrah dan ziyarah keagamaan (Islamic tourism), meluasnya penggunaan jilbab di kalangan perempuan Muslimah atau meningkatnya filantropi Islam. Selain itu, gejala ini juga  jelas dalam peningkatan kerajinan dalam menjalankan berbagai ibadah, ritual keagamaan dan berbagai aspek ajaran agama lainnya—yang bisa disebut sebagai ‘kesalehan ritual personal’ as opposed to ‘kesalehan sosial komunal’.

Gejala lain relijiusitas sebagian warga Muslim di lingkungan urban adalah munculnya berbagai kelompok spiritual seperti zikir massal yang berbeda dengan Sufisme konvensional. Kelompok zikir ini selain menyelenggarakan ibadahnya di perumahan, hotel atau gedung juga di jalan raya, memblokir jalanan sehingga mengganggu lalu lintas—seperti yang digambarkan film ‘fiksi’ pendek ‘Aku Adalah Kau’ yang kontroversial itu. Tak jarang ada kelompok zikir dan aliran spiritual ini menjadi semacam ‘new age’ bermotif Islam. []

REPUBLIKA, 13 Juli 2017, 06:00 WIB
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar