Mengakhiri Tragedi Kemanusiaan Palestina
Oleh: A Helmy Faishal Zaini
PADA Muktamar Ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) pada 2015 di Jombang,
Jawa Timur, salah satu isu utama yang dibahas dalam forum tertinggi milik
organisasi Nahdlatul Ulama (NU) tersebut ialah soal kemerdekaan Palestina. Isu
itu dibahas secara serius dan hasilnya tertuang dalam rekomendasi hasil
muktamar. Dalam rekomendasi tersebut terdapat beberapa poin penting. Pertama,
untuk kalangan internal NU, direkomendasikan agar NU membentuk tim secara
khusus untuk menangani masalah-masalah internasional, khususnya masalah
Palestina, agar keterlibatan NU dalam masalah tersebut lebih berkesinambungan.
Kedua, NU mendesak pemerintah Indonesia agar secara sistematis
melakukan langkah konkret untuk mendukung kemerdekaan Palestina, baik melalui
diplomasi antarnegara, memperkuat hubungan people to people maupun keterlibatan
dalam pasukan keamanan internasional. Ketiga, NU mendukung kemerdekaan
Palestina. Dukungan bagi kemerdekaan rakyat dan negara Palestina tidak bisa
ditangguhkan. Oleh karena itu, NU mendesak agar PBB segera memberikan dan
mengesahkan keanggotaan negara Palestina menjadi anggota resmi PBB dan
memberikan hak yang setara dengan rakyat dan negara yang merdeka mana pun. Keempat,
NU mendesak PBB untuk memberikan sanksi, baik politik maupun ekonomi, kepada
Israel jika tidak bersedia mengakhiri pendudukan terhadap tanah Palestina.
Kelima, mendesak agar OKI (Organisasi Kerja Sama Islam) untuk
secara intensif mengorganisasi anggotanya untuk mendukung kemerdekaan
Palestina. Selang satu bulan setelah Muktamar Ke-33 NU, bendera Palestina resmi
dikibarkan di markas PBB, yakni September 2015. Hal itu merupakan kemajuan yang
luar biasa. Jatuh bangun perjuangan untuk kemerdekaan Palestina memang penuh
dengan bumbu-bumbu intrik politik dan kekerasan fisik. Bahkan, ironisnya
kekerasan fisik tersebut juga menimpa rakyat sipil. Pada kondisi seperti ini,
dalam hemat saya, kondisinya sudah bergeser dari krisis keamanan menjadi krisis
kemanusiaan. Rasa manusiawi telah hilang digerus kepentingan politik dan
kekuasaan. Itu sudah berlangsung cukup lama.
Saya mencatat, pada 1969 ada seorang Yahudi bernama Denis Michael
Rohan yang mencoba membakar Masjid Al-Aqsa. Ketika itu sejumlah bagian bangunan
masjid, termasuk mihrab di dalamnya, telah dapat dibakar. Nasib masih berpihak
pada umat Islam, dengan penuh perjuangan api dapat dipadamkan jemaah salat
sesaat sebelum menjalar dan membumihanguskan seluruh bangunan masjid. Tindakan
Rohan tersebut kemudian tak ayal menyulut dan memantik kemarahan umat Islam.
Peristiwa itulah yang kemudian melahirkan Organisasi Konferensi Islam (OKI)
lalu bertransformasi dan berganti nama menjadi Organisasi Kerja Sama Islam.
Hingga kini OKI beranggotakan 57 negara Islam atau negara berpenduduk mayoritas
Islam.
Bagaimanapun juga kekerasan, dalam bentuk apa pun, tidak akan pernah dibenarkan agama dan kepercayaan mana pun. Tidak satu pun ideologi di dunia ini menjadikan kekerasan sebagai platform gerakannya. Kecuali gerakan tersebut memang memiliki akar perjuangan filosofis yang keliru.
Karen Amstrong (2000) dalam The Battle for God mengatakan
kekerasan bukanlah jalan keluar. Ia justru merupakan persoalan yang sangat
mungkin membuka peluang untuk menyulut dan melahirkan persoalan selanjutnya.
Kekerasan ialah awal dan pangkal, bukan akhir dan pungkasan. Saya cenderung
mengatakan tragedi yang terjadi di Masjid Al-Aqsa hari ini merupakan konflik
keyakinan yang lebih dominan dibumbui kepentingan politik. Ini bukan soal
perbedaan keyakinan semata, melainkan lebih pada soal kekuasaan dan wilayah
dominasi yang memang menjadi konsen utama Israel sejak dahulu.
Rentetan sejarah kekerasan merentang terutama sejak 2007, saat Tel
Aviv memblokade jalur ekonomi di Gaza yang membuat lebih dari 1.500 penduduk
Gaza kehilangan hak asasi mereka. Hak-hak dasar mereka tergadaikan akibat
pemblokadean jalur ekonomi. Pada 2009, sebanyak 1.400 penduduk Palestina
menjadi korban akibat serangan Israel yang sangat mematikan. Kebanyakan korban
merupakan penduduk sipil yang tidak berdosa. Bahkan, pada puncaknya 2012, PBB
menyatakan jalur Gaza merupakan kawasan yang tidak layak huni sama sekali.
Setelah menyimak rentetan peristiwa yang menimpa rakyat Palestina,
saya sepakat bahwa hal ini merupakan tragedi kemanusiaan yang sangat memalukan
dan memilukan. Padahal, konflik yang disulut dari kepentingan politik tersebut
apa pun alasannya harus diakhiri dengan alasan kemanusiaan. Sebab, meminjam Gus
Dur, yang lebih tinggi daripada politik ialah kemanusiaan. Dalam pada itu,
peristiwa penyegelan Masjid al-Aqsa dan juga pelarangan ibadah bagi umat muslim
di Palestina merupakan kejahatan kemanusiaan yang sangat menyalahi hak asasi
manusia. Meminjam istilah Said Aqil Siroj (2017), peristiwa penyegelan dan
pelarangan ibadah tersebut merupakan tragedi kemanusiaan sesungguhnya. Ibadah
merupakan hak dasar setiap individu. Siapa pun harus menghormati sekaligus
menghargai hak-hak manusia untuk beribadah. Sebaliknya, tidak ada pihak mana
pun yang berhak melarang seseorang untuk beribadah dan menjalankan
keyakinannya.
Kita, umat Islam Indonesia, merasa sangat waswas pada sederetan
masalah dengan latar belakang, motif, dan nuansa yang sama. Sebuah konflik yang
diseret-seret menggunakan baju agama. Padahal, sejatinya yang bersembunyi di
balik itu semua ialah kepentingan kekuasaan dan politik yang lebih dominan.
Pada akhirnya yang bisa kita lakukan untuk mengakhiri tragedi kemanusiaan ini
ialah dengan cara ‘melawan’. Semoga. []
MEDIA INDONESIA, 26 July 2017
A Helmy Faishal Zaini | Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar