Rabu, 26 Juli 2017

Nasaruddin Umar: Ukhuwah Wathaniyah



Ukhuwah Wathaniyah
Oleh: Nasaruddin Umar

UKHUWAH wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) bukan hanya slogan, melainkan juga sudah menjadi kepribadian bangsa, khususnya bangsa Indonesia. Semua umat dan etnik yang hidup di bawah atap Indonesia mengejawantahkan slogan ini di dalam bentuk kepribadian. Khusus untuk umat Islam, sejak awal berdirinya bangsa ini menganggap kosakata Islam dan NKRI bagaikan sebuah kata majemuk. Kedua kata ini tidak bisa dipisahkan karena sudah saling memberi energi satu sama lain. Jika kita berbicara tentang Islam di Indonesia, pasti kita berbicara tentang NKRI, demikian pula sebaliknya. Pemahaman Islam yang berkeindonesiaan dan Islam yang berkeislaman sudah terjadi jauh sebelum proto-Indonesia.

Banyak teori tentang kapan masuknya Islam di Indonesia. Mulai dari orang mengatakan semenjak masa pemerintahan Utsman ibn ‘Affan sampai sejarawan Barat yang mengatakan semenjak abad ke-13 M. Akulturasi dan enkulturasi di antara keduanya sudah terjadi sejak awal. Wajar jika the founding fathers bangsa ini tidak perlu mempersoalkan kenapa Islam tidak menjadi dasar negara di Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, lebih penting mempertahankan 'negara islami' ketimbang 'negara Islam'.

Dalam lintasan sejarah panjang Indonesia membuktikan bahwa Indonesia hidup damai dengan berbagai kemajemukannya, termasuk kemajemukan agama. Jiwa besar yang dimiliki para pejuang dan pendiri bangsa ini mengajari kita sebagai generasi pelanjutnya untuk tidak perlu mengusik keberadaan NKRI.

Salah satu hasil Muktamar Nahdlatul Ulama (NU), organisasi kemasyarakatan terbesar di negeri ini, pernah memberikan legitimasi bahwa NKRI sudah merupakan bentuk final bagi bagsa Indonesia. Keberadaan NKRI tidak perlu diutak-atik, bahkan tidak perlu ditafsirkan bermacam-macam. Islam dan NKRI sudah senapas dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Realitas seperti ini sesungguhnya wujud nyata ukhuwah wathaniyah. Keberadaan ukhuwah wathaniyah harus dipertahankan dan harus selalu dipupuk.

Kini muncul kekhawatiran sementara pihak yang meragukan kelanggengan keutuhan di antara keduanya dengan munculnya kelompok ideologi yang mempersoalkan hubungan tersebut. Bahkan ada yang secara terang-terangan mau menafikan keberadaan NKRI dengan memperkenalkan ideologi transnasional, seperti yang dikembangkan kelompok Islamic State ini Iraq and Syam (ISIS). Kelompok itu bermimpi akan mengeliminasi negara bangsa (nation state) lalu digantikan dengan konsep khilafah, yang menyerahkan kepemimpinan tunggal negara ke tangan seorang khalifah.

Alquran dan hadis sesungguhnya memberikan hak-hak budaya lokal (cultural rights) untuk menginterpretasikan dirinya sehingga tidak mesti menjadi 'orang Arab' untuk menjadi muslim/muslimah terbaik. Kita bisa tetap menjadi orang Indonesia sekaligus sebagai muslim/muslimah terbaik. Rasulullah SAW makan dengan tiga jari tangan karena makanannya adalah roti. Bagi kita bangsa Indonesia tidak mesti makan dengan menirukan Nabi makan karena makanan kita nasi.

Nabi mencontohkan dengan kencing duduk karena pakaian Arab umumnya menggunakan gamis, mirip sarung. Memang kita harus duduk atau jongkok agar aurat kita tertutup dan terbebas dari percikan najis. Akan tetapi, bangsa yang menggunakan celana panjang justru lebih nyaman dan aman dengan kencing berdiri. Kloset kencing kita pun dirancang berdiri. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa ukhuwah wathaniyah tidak mesti harus diperhadap-hadapkan dengan ajaran Islam.[]

MEDIA INDONESIA, 21 July 2017
Nasaruddin Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar