Ukhuwah Wathaniyah
Oleh: Nasaruddin Umar
UKHUWAH wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) bukan hanya slogan,
melainkan juga sudah menjadi kepribadian bangsa, khususnya bangsa Indonesia.
Semua umat dan etnik yang hidup di bawah atap Indonesia mengejawantahkan slogan
ini di dalam bentuk kepribadian. Khusus untuk umat Islam, sejak awal berdirinya
bangsa ini menganggap kosakata Islam dan NKRI bagaikan sebuah kata majemuk.
Kedua kata ini tidak bisa dipisahkan karena sudah saling memberi energi satu
sama lain. Jika kita berbicara tentang Islam di Indonesia, pasti kita berbicara
tentang NKRI, demikian pula sebaliknya. Pemahaman Islam yang berkeindonesiaan
dan Islam yang berkeislaman sudah terjadi jauh sebelum proto-Indonesia.
Banyak teori tentang kapan masuknya Islam di Indonesia. Mulai dari
orang mengatakan semenjak masa pemerintahan Utsman ibn ‘Affan sampai sejarawan
Barat yang mengatakan semenjak abad ke-13 M. Akulturasi dan enkulturasi di
antara keduanya sudah terjadi sejak awal. Wajar jika the founding fathers
bangsa ini tidak perlu mempersoalkan kenapa Islam tidak menjadi dasar negara di
Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, lebih penting mempertahankan 'negara islami'
ketimbang 'negara Islam'.
Dalam lintasan sejarah panjang Indonesia membuktikan bahwa
Indonesia hidup damai dengan berbagai kemajemukannya, termasuk kemajemukan
agama. Jiwa besar yang dimiliki para pejuang dan pendiri bangsa ini mengajari
kita sebagai generasi pelanjutnya untuk tidak perlu mengusik keberadaan NKRI.
Salah satu hasil Muktamar Nahdlatul Ulama (NU), organisasi
kemasyarakatan terbesar di negeri ini, pernah memberikan legitimasi bahwa NKRI
sudah merupakan bentuk final bagi bagsa Indonesia. Keberadaan NKRI tidak perlu
diutak-atik, bahkan tidak perlu ditafsirkan bermacam-macam. Islam dan NKRI
sudah senapas dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Realitas seperti ini
sesungguhnya wujud nyata ukhuwah wathaniyah. Keberadaan ukhuwah wathaniyah
harus dipertahankan dan harus selalu dipupuk.
Kini muncul kekhawatiran sementara pihak yang meragukan
kelanggengan keutuhan di antara keduanya dengan munculnya kelompok ideologi
yang mempersoalkan hubungan tersebut. Bahkan ada yang secara terang-terangan
mau menafikan keberadaan NKRI dengan memperkenalkan ideologi transnasional,
seperti yang dikembangkan kelompok Islamic State ini Iraq and Syam (ISIS).
Kelompok itu bermimpi akan mengeliminasi negara bangsa (nation state) lalu
digantikan dengan konsep khilafah, yang menyerahkan kepemimpinan tunggal negara
ke tangan seorang khalifah.
Alquran dan hadis sesungguhnya memberikan hak-hak budaya lokal
(cultural rights) untuk menginterpretasikan dirinya sehingga tidak mesti
menjadi 'orang Arab' untuk menjadi muslim/muslimah terbaik. Kita bisa tetap
menjadi orang Indonesia sekaligus sebagai muslim/muslimah terbaik. Rasulullah
SAW makan dengan tiga jari tangan karena makanannya adalah roti. Bagi kita
bangsa Indonesia tidak mesti makan dengan menirukan Nabi makan karena makanan
kita nasi.
Nabi mencontohkan dengan kencing duduk karena pakaian Arab umumnya
menggunakan gamis, mirip sarung. Memang kita harus duduk atau jongkok agar
aurat kita tertutup dan terbebas dari percikan najis. Akan tetapi, bangsa yang
menggunakan celana panjang justru lebih nyaman dan aman dengan kencing berdiri.
Kloset kencing kita pun dirancang berdiri. Dengan demikian, dapat ditegaskan
bahwa ukhuwah wathaniyah tidak mesti harus diperhadap-hadapkan dengan ajaran
Islam.[]
MEDIA INDONESIA, 21 July 2017
Nasaruddin Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar