Selasa, 25 Juli 2017

Azyumardi: Relijiusitas Masyarakat Urban (2)



Relijiusitas Masyarakat Urban (2)
Oleh: Azyumardi Azra

Satu lagi gejala relijiusitas masyarakat urban Indonesia adalah munculnya berbagai kelompok ‘kultus’ semacam Gafatar atau Kanjeng Dimas yang menghebohkan. Seperti bisa dilihat, kebanyakan mereka yang bergabung dengan Gafatar atau Kanjeng Dimas dan kelompok lain adalah ‘Young, Urban, Professionals’ (YUPPIES) Muslim dari berbagai kota. Banyak di antara mereka tamatan perguruan tinggi dengan pekerjaan dengan penghasilkan tetap. Mereka ‘tersesat’ oleh ‘con-man’ yang menawarkan berbagai hal yang ‘too good to be true’, terlalu muluk untuk bisa dipercaya.

Di kalangan warga Kristen (Protestan) gejala reljiusitas urban itu terlihat dalam merebaknya berbagai kelompok gereja Kharismatik yang menampilkan pemahaman dan praksis agak lain dari Pentakostalisme. Lazimnya, denominasi yang berbasis Amerika ini selain menyelenggarakan kebaktian massal di stadium misalnya, juga menawarkan ‘penyembuhan’ (healing) dari berbagai macam penyakit jasmani atau rohani.

Penulis tidak tahu pasti tentang penyebaran kelompok ‘new age’ atau juga kultus Kristiani di wilayah urban di Indonesia. Di AS berbagai kelompok new age dan kultus berdasarkan Kristianitas selalu merebak dari waktu ke waktu; di antara yang paling terkenal adalah kultus Davidian (David Koresh), the People’s Temple, atau Heaven’s Gate. Pemimpin yang dikultuskan para pengikutnya lazimnya memerintahkan mereka bunuh diri.

Salah satu bentuk peningkatan relijiusitas masyarakat urban adalah aktivisme mendirikan rumah ibadah. Aktivisme ini dapat menimbulkan pertikaian dan konflik; apalagi ketika rumah ibadah itu secara eksklusif hanya digunakan untuk denominasi, aliran atau mazhab di dalam agama tertentu.

Fenomena keagamaan kontemporer di Indonesia jelas juga terkait banyak dengan terbukanya ruang lebih luas dalam proses liberalisasi politik dan demokratisasi. Berbarengan dengan itu juga terjadi kemajuan ekonomi. Hasilnya, dalam 20 tahun terakhir, kelas menengah Indonesia terus bertumbuh berkat kemajuan pendidikan dan pertumbuhan ekonomi. Menurut berbagai sumber, kelas menengah Indonesia lebih dari separuh penduduk; menurut estimasi lebih daripada 152 juta orang. Terus bertambahnya kelas menengah  mendorong munculnya berbagai ekspresi keagamaan mulai dari peningkatan religious attachment—kelengketan kian kuat kepada agama dalam ritual, gaya hidup lebih relijius, pendidikan lebih agamis bagi anak-anak, sampai pada pengelolaan keuangan dan makanan lebih ketat sesuai syari’ah atau fiqh.

Proses demokratisasi memberi ruang kebebasan sangat luas bagi masyarakat mengekspresikan pemahaman dan pengamalan keagamaan berbeda-beda. Dalam batas tertentu pemahaman dan praksis keagamaan itu  menjadi ‘politik identitas’ yang bisa memunculkan masalah tersendiri ketika terlibat dalam pergumulan dan kontestasi politik di ruang publik.

Peningkatan religious attachment tidak jarang pula menjadi objek manipulasi politik oleh para politisi dan partai politik, dan juga kepemimpinan agama yang memainkan kartu agama untuk kepentingan politik. Introduksi dan penerapan Perda-perda moral yang sering disebut sebagian kalangan sebagai ‘Perda Syari’ah’ merupakan contoh terjelas bertemunya kepentingan simbolisme keagamaan dengan oportunisme politik. Gejala semacam ini terlihat dalam Pilpres 2014 dan terakhir sekali dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.

Karena kombinasi berbagai faktor—termasuk faktor gerakan religio-politik trans-nasional—pada lingkungan lebih terbatas, ada pula fenomena kemunculan pemahaman dan praktik keagamaan yang berbeda dengan mainstream agama. Perbedaan itu boleh jadi tidak terlalu substantif, tetapi lebih daripada sekadar masalah ‘furu’iyyah’; pada kasus tertentu perbedaan dapat menyangkut hal pokok dan fundamental, yang membuat kelompok tertentu ‘menyempal’ dari agama induknya. Perbedaan dalam kasus terakhir ini sering berujung konflik dan bahkan kekerasan, baik ketika kelompok menyempal bersikap eksklusif dan melakukan truth claim vis-a-vis mainstream. Atau ketika kalangan tertentu di dalam atau atas nama  mainstream melakukan tindakan kekerasan.

Mengamati berbagai gejala itu perlu riset tentang fenomena keagamaan kontemporer atau relijiusitas, yang memerlukan pemetaan komprehensif; dan sekaligus meliputi berbagai bidang kehidupan—tidak terbatas hanya pada bidang keagamaan ‘murni’, tetapi juga ke berbagai ranah kehidupan lain. Ada inter-dependensi dan interplay, saling mempengaruhi antara satu bidang dan ranah kehidupan dengan bidang lain, yang juga mempengaruhi dinamika internal keagamaan.

Riset yang dilakukan semestinya tidak hanya untuk kepentingan akademik-ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan secara substantif dan metodologis. Riset tersebut sekaligus juga mesti mengandung kajian implikasi, konsekuensi dan rekomendasi kebijakan yang dapat menjadi pertimbangan dalam pengambilan kebijakan untuk pembangunan kehidupan keagamaan lebih baik di Indonesia.

Agenda penelitian lain terkait dengan ranah-ranah kehidupan tertentu yang menampilkan simbolisme keagamaan seperti politik, ekonomi (bank syari’ah), pendidikan, sosial-budaya dan seterusnya. Penelitian dalam ranah-ranah ini bisa pula berfokus pada implikasi dan konsekuensi perkembangan tersebut terhadap kehidupan negara-bangsa Indonesia secara keseluruhan. []

REPUBLIKA 20 July 2017
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar