Jumat, 31 Agustus 2018

(Do'a of the Day) 19 Dzulhijjah 1439H


Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Allaahummaj'alnaa nuhibbuka wa nuhibbu malaa'ikataka wa anbiyaa'aka wa rusulaka wa nuhibbu 'ibaadakash shalihiina.

Ya Allah, jadikanlah kami ini cinta kepada-Mu, cinta kepada malaikat-Mu, para nabi-Mu, dan rasul-rasul-Mu serta mencintai hamba-hamba-Mu yang shaleh.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 9.

Mengenang Kiai Mudjab Mahalli


Mengenang Kiai Mudjab Mahalli

Masyarakat pesantren dan NU di Yogyakarta pernah punya sosok yang digemari. Ahmad Mudjab Mahalli namanya, lahir di Bantul 25 Agustus 1958. Masih muda, tapi sudah digelari kiai. Ia aktif menerjemah dan menyadur dari bahasa Arab ke bahasa kita, tentunya selain ceramah dan pengasuh pesantren.

Dia dijuluki Gus Dur dari Yogyakarta karena memiliki banyak kemiripan: tubuh gemuk, kacamata tebal, bicara ceplas-ceplos, dan humor yang segar. Saya pernah sekali sowan di rumahnya, mungkin tahun 2001, kompleks Pesantren Al-Mahalli di daerah Jejeran, Bantul. Di antaranya obrolannya waktu itu bagaimana agar anak-anak senang belajar ngaji (baca Al-Quran).

“Carilah metode-metode belajar ngaji yang membuat anak senang. Bagaimana membuat anak senang? Ya, harus dekat dengan dunianya. Misalnya kasih contoh nama-nama binatang,” begitu kira-kira Kiai Mudjab mengatakan.

“Contohnya, ’alif’ fathah ‘A’, ‘sin’ dlamah ‘su’, dibaca ‘asu’.”

“Contoh lagi, ‘ba’ fathah ‘ba’, ba kasrah ‘bi’, dibaca ‘babi’.”

Begitu Kiai Mudjab mencontohkan. Kami yang mendengarkan tertawa terbahak-bahak. “Kok ada kiai macam begini,” kataku dalam hati.

Tentu saja, contoh mengaji gaya seperti tidak akan dipraktikkan dalam sebuah metode baca Al-Quran karena yang akan muncul adalah kontroversi. Yang sedang ia katakan sebenarnya adalah mendidik, mengajar anak-anak haruslah menyenangkan, santai, dekat dengan dunianya, dan tidak kaku.

Kiai Mudjab, waktu itu, sudah resah dengan model-model pendidikan yang hanya memandang peserta didik obyek semata. Dengan metode hafalan, indoktrinasi, dan hampir sama sekali tidak memandang anak sebagai anak, yang punya dunianya sendiri. Metode begini, satu sisi, cepat hasilnya, tapi di sisi lain, mencerabut anak dari dunianya dan menumpulkan daya apresiasi dan analisis anak yang juga harus tumbuh.

Gairah Kiai Mudjab dalam menerjemahkan kitab-kitab (bahasa Arab) menjadi buku-buku (bahasa Indonesia) atau menjadi karya saduran, itu juga dilatarbelakangi agar agama mudah dipelajari. Kiai Mujab tidak setuju agama Islam ekslusif, hanya dapat dimengerti oleh kalangan pesantren yang belajar bahasa Arab saja.

“Kekayaan literatur dalam tradisi Islam harus dapat dinikmati oleh masyarakat luas,” begitu kira-kira Kiai Mudjab bersuara.

Oleh karena itu, bagaimanapun caranya literatur Islam dalam bahasa Arab harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dan bukankah berabad silam, ulama pendahulu, para pendakwah sudah melakukannya? Semangat inilah yang menggerakkan Kiai Mudjab memiliki karya terjemahan dan saduran tidak kurang dari 150 judul buku.

Ada satu nama yang tidak boleh dilupakan atas kesuksesan Kiai Mudjab dalam dunia kepenulisan, yaitu Mahbub Djunaidi. Dalam sebuah kisah di fatmimie.blogspot.co.id karya pertama Kiai Mudjab yang berjudul Mutiara Hadits Qudsi diterbitkan oleh Al-Ma'arif, Bandung tahun 1980, dapat menarik perhatian penulis Mahbub Djunaidi yang waktu itu sudah senior.

Mahbub menghadiahi Mudjab muda sebuah mesin ketik, sambil menuliskan surat:

"Ke mana sarjana-sarjana kita? Sekarang banyak orang membawa ijazah, melamar pekerjaan. Setiap melamar, setiap itu pula ia ditolak. Padahal ada satu perusahaan besar membutuhkan beribu-ribu karyawan dan karyanya tidak pernah ditolak. Perusahaan mana itu? Dunia tulis menulis. Siapa yang menolak karya tulis? Tidak laku sekarang, kan laku besok. Kamu masih muda, tekuni nulis."

Di tengah-tengah kesibukannya sebagai pengasuh pesantren, penceramah, dan dunia kepenulisan, Kiai Mujab tidak meninggalkan dunia sosial kemasyarakatan. Ia bukan tipe kiai yang duduk manis depan santrinya saja. Bahkan ia aktif di Partai Kebangkitan Bangsa hingga menjadi ketua di kepengurusan tingkat provinsi. Namun ia tidak bersedia menjadi “anggota dewan”, ia memilih sebagai “King Maker”. Politisi seperti ini hari ini dapat ditemui pada sosok Gus Yusuf Tegalrejo, Ketua Partai Kebangkitan Bangsa Jawa Tengah.

Keterbukaan Kiai Mudjab juga terlihat dari pesantrennya. Di tengah sebagian kalangan Muslim menolak program Keluarga Berencana (KB), Pesantren Al-Mahalli dijadikan sebagai pesantren pelopor program KB. Kiai Mudjab mendirikan Pesantren Al-Mahalli, tahun 1982, tidak lama setelah pulang mondok.

Pesantren ini juga menjadi tempat “persembunyian” para aktivis dan demonstran yang dikejar-kejar rezim Orba, yang pada waktu itu memang sedang ganas-ganasnya.

Sayang sekali, kiai Mudjab wafat di usia muda. Ia mengembuskan nafas terakhir di bulan suci Ramadhan, tahun 2003. Almarhum masuk deretan tokoh NU dan ulama pesantren yang wafat di usia yang masih produktif: Kiai Abdul Wahid Hasyim, Kiai Mahfud Shiddiq, Pak Subhan ZE, Gus Yusuf Muhammad, Gus Ishom Hadzik, dan lain-lain.

Saya tiba-tiba teringat sosok Kiai Mudjab Mahalli di tengah kabar duka Kiai Saiful Mujab, penggerak NU di Yogyakarta, akhir pekan kemarin. []

(Hamzah Sahal)

(Khotbah of the Day) Empat Anjuran Rasulullah untuk Menggapai Surga


KHOTBAH JUM'AT
Empat Anjuran Rasulullah untuk Menggapai Surga

Khutbah I

اْلحَمْدُ للهِ اْلحَمْدُ للهِ الّذِي هَدَانَا سُبُلَ السّلاَمِ، وَأَفْهَمَنَا بِشَرِيْعَةِ النَّبِيّ الكَريمِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، ذُواْلجَلالِ وَالإكْرام، وَأَشْهَدُ أَنّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسولُه، اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبارِكْ عَلَى سَيِّدِنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِه وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعينَ بِإحْسانِ إلَى يَوْمِ الدِّين، أَمَّا بَعْدُ: فَيَايُّهَا الإِخْوَان، أوْصُيْكُمْ وَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنْ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي اْلقُرْانِ اْلكَرِيمْ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الَّشيْطَانِ الرَّجِيْم، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمْ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا وقال تعالى يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.
صَدَقَ اللهُ العَظِيمْ

Jamaah shalat Jumat rahimakumullah,

Ketika ada orang yang bertanya kepada kita, bagaimana jalan untuk menggapai surga, tentu kita akan menjawabnya sesuai dengan tuntunan Rasulullah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau telah memberikan beberapa penjelasan, yang akan menghantarkan kita menuju surga Allah subhanahu wata‘ala. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad sebagaimana berikut:

أَفْشُوا السَّلَامَ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ، وَصِلُوا الْأَرْحَامَ، وَصَلُّوا وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ 

Artinya: Sebarkan kedamaian, berikan makanan, bersilaturrahimlah, shalatlah ketika orang-orang tidur, engkau akan masuk surga dengan damai. 

Pertama, orang yang menghendaki untuk masuk surga adalah orang yang menebarkan salam, perdamaian dan kasih sayang. Menebarkan perdamaian bisa diawali dengan member ucapan salam kepada saudara kita, yaitu Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh. Yang artinya keselamatan, rahmat, dan berkah Allah subhanahu wata‘ala semoga tercurahkan untukmu. Lazimnya ucapan salam ini akan dijawab oleh saudara kita dengan jawaban wa’alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh yang artinya bagimu keselamatan, rahmat dan berkah Allah subhanahu wata‘ala. Ucapan tersebut tampak sepele, namun memiliki makna yang mendalam.

Imam an-Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim menjelaskan bahwa ucapan salam tidak sekadar kata-kata, namun mengandung arti menebarkan perdamaian, kasih sayang dan kerukunan terhadap sesama, baik kepada keluarga, tetangga, maupun terhadap sesama Muslim. Kata salam juga menjadi kunci yang ampuh untuk menghilangkan permusuhan, kebencian, dan kerenggangan di antara sesama. Karena itu, Islam sangat menganjurkan kita untuk saling mengucapkan salam, tujuannya adalah mewujudkan kerukunan dan kedamaian, dan menghilangkan kerenggangan dan permusuhan di antara sesama. 

Hadits di atas memberikan pelajaran kepada kita bahwa tidak diperkenankan bagi seorang Muslim untuk membenci dan menghujat sesama Muslim, menyebarkan permusuhan, menebarkan ujaran kebencian dan memutuskan tali persaudaraan. Karena menebarkan permusuhan adalah ciri-ciri dari ajaran syaitan, sebagaimana dalam Al-Qur’an Surat al-Maidah ayat 91, syaitan memiliki tujuan menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara sesama Muslim.

Kedua, jalan untuk menggapai surga adalah memberikan makanan, Selain kita diwajibkan untuk mengeluarkan nafkah untuk keluarga, atau mengeluarkan zakat atas harta, Nabi menganjurkan kepada kita untuk bersedekah, terutama bagi orang-orang yang membutuhkan. Mengapa memberikan makanan dapat menghantarkan kita menuju surga? Karena orang yang senang memberikan makanan adalah orang yang dekat dengan surga. Sebagaimana riwayat Imam Turmudzi dalam sunan Turmudzi Juz 3 halaman 407 disebutkan:

السَّخِيُّ قَرِيبٌ مِنَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الجَنَّةِ قَرِيبٌ مِنَ النَّاسِ بَعِيدٌ مِنَ النَّارِ

Artinya: “Orang dermawan itu dekat dengan Allah, dekat dengan surga, dekat dengan manusia, dan jauh dari neraka.”

Imam Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh kitab Faidlul Qadir karya Muhammad al-Munawi, juz 4 halaman 138 menjelaskan, bahwa sikap dermawan merupakan buah dari cinta akhirat, dan tidak berlebihan dalam mencintai dunia fana. Sikap dermawan tumbuh dari penghayatan seseorang tentang iman dan tauhid kepada Allah subhanahu wata‘ala. Sehingga muncul sikap tawakkal dan berserah diri kepada Allah, secara otomatis muncul sikap percaya bahwa Allah adalah pemberi rezeki. Seorang dermawan yakin bahwa orang berbuat baik dengan mensedekahkan sebagian hartanya, Allah pasti akan menggantinya sepuluh kali lipat kebaikan. Berbeda dengan orang yang bakhil, ia adalah orang yang terlalu cinta dunia dan ragu terhadap janji Allah . Karena itu, tempat yang layak bagi seorang dermawan adalah surga, sebaliknya tempat yang layak bagi orang bakhil adalah neraka.

Jamaah shalat Jumat rahimakumullah,

Ketiga, menjalin silaturrahim dan persaudaraan, walaupun hanya dengan ucapan salam. Dalam sebuah riwayat Imam Hakim dalam Kitab Mustadrok Ala Shohihain Juz 2 halaman 563, dengan sanad yang shahih Nabi bersabda:

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ حَاسَبَهُ اللَّهُ حِسَابًا يَسِيرًا وَأَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِهِ قَالُوا: لِمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: تُعْطِي مَنْ حَرَمَكَ، وَتَعْفُو عَمَّنْ ظَلَمَكَ، وَتَصِلُ مَنْ قَطَعَكَ» قَالَ: فَإِذَا فَعَلْتُ ذَلِكَ، فَمَا لِي يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: أَنْ تُحَاسَبَ حِسَابًا يَسِيرًا وَيُدْخِلَكَ اللَّهُ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِهِ

Artinya: Tiga hal yang menjadikan seseorang akan dihisab Allah dengan mudah dan akan dimasukkan ke surga dengan Rahmat-Nya. Sahabat bertanya, bagi siapa itu wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Nabi bersabda: Engkau memberi orang yang menghalangimu, engkau memaafkan orang yang mendzalimimu, dan engkau menjalin persaudaraan dengan orang yang memutuskan silaturrahim denganmu. Sahabat bertanya, jika saya melakukannya, apa yang saya dapat wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Nabi bersabda: engkau akan dihisab dengan hisab yang ringan dan Allah akan memasukkanmu ke surga dengan rahmat-Nya.  

Mengenai pentingnya silaturrahim, terdapat sebuah cerita dari Imam Ashbihani yang termaktub dalam kitab Irsyadul Ibad halaman 94, suatu ketika sahabat duduk di sisi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Kemudian Nabi bersabda: tidak boleh duduk dengan kami orang yang memutuskan silaturrahim, kemudian seorang pemuda keluar dari halaqoh, pemuda tersebut mendatangi bibinya untuk menyelesaikan sesuatu masalah di antara keduanya, kemudian bibinya meminta maaf terhadap pemuda tersebut. Setelah urusan selesai, pemuda kembali ke halaqoh, kemudian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: sesungguhnya rahmat Allah tidak akan turun pada suatu kaum, yang di dalamnya terdapat orang yang memutuskan persaudaraan. 

Keempat, menjalankan shalat malam ketika banyak orang telah tidur terlelap. Shalat malam menjadi shalat yang spesial karena dilakukan di waktu banyak orang beristirahat dan lalai dari berdzikir kepada Allah subhanahu wata‘ala. Shalat malam juga menjadi indikasi seseorang jauh dari riya’ dan pamer dalam beribadah, karena di waktu ini banyak orang beristirahat. Sehingga bagi orang yang menjalankan ibadah di waktu malam mendapatkan ganjaran yang lebih, terutama oleh Nabi disabdakan sebagai orang yang akan masuk surga dengan tanpa kesulitan. Nabi juga bersabda: “Seutama-utama puasa setelah ramadhan adalah puasa di bulan Muharram, dan seutama-utama shalat sesudah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim No. 1163)

Menebarkan salam dan kedamaian, memberikan makanan, menjalin persaudaraan, dan shalat malam adalah anjuran dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, agar kitadapat menggapai surga dengan tanpa kesulitan dan tanpa banyak rintangan. Jika kita konsisten dan istiqamah dengan anjuran Nabi tersebut, Allah akan memberikan kita pertolongan untuk mengerjakan kebaikan dan menjauhi perbuatan yang kurang menyenangkan, sehingga di akhir hayat kita mendapatkan kematian yang husnul khotimah. Allâhumma Âmîn

Perlu diingat, Nabi yang telah dijamin masuk surga oleh Allah subhanahu wata‘ala selalu giat dalam beribadah kepada Allah subhanahu wata‘ala. Dalam kehidupan di tengah masyarakat, Nabi  selalu baik hati, riang dan sopan terhadap semua orang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu yang lebih duluan memberikan salam, sekalipun kepada anak-anak dan para sahaya. Nabi selalu memberikan apa yang dimiliki kepada para sahabatnya, walaupun beliau sendiri dalam keadaan kekurangan. Nabi selalu bersilaturrahim dan memaafkan terhadap setiap orang, walaupun terhadap orang yang pernah memusuhinya, dan Nabi selalu menjalankan shalat malam, hingga kedua telapak kaki beliau membengkak. Semoga kita semua dapat mencontoh prilaku dan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

جَعَلَنا اللهُ وَإيَّاكم مِنَ الفَائِزِين الآمِنِين، وَأدْخَلَنَا وإِيَّاكم فِي زُمْرَةِ عِبَادِهِ المُؤْمِنِيْنَ: أعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيمْ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمانِ الرَّحِيمْ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا 

باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ وذِكْرِ الحَكِيْمِ. إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ


Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ


Rustam Ibrahim, Dosen Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta

Nasaruddin Umar: Misteri Maqam Ibrahim


Misteri Maqam Ibrahim
Oleh: Nasaruddin Umar

BANGUNAN kecil berdiri tegak di depan pintu Kakbah yang disebut Maqam Ibrahim. Tempat ini bukanlah kuburan Nabi Ibrahim. Makamnya ada di Hebron, negeri Palestina yang dikuasai Israel sekarang. Maqam Ibrahim adalah tempat pijakan kaki Nabi Ibrahim ketika merehab atau membangun Kakbah.

Konon ketika meninggikan dinding Kakbah untuk mencapai ketinggian tertentu, putranya, Nabi Ismail, mengambil sebongkah batu sebagai tempat pijakan, tetapi keajaiban terjadi karena batu tempat pijakan kedua telapak kaki itu berlubang, menyerupai pahatan, dengan panjang 22 sentimeter x 11 sentimeter. Ukuran telapak kaki seperti ini lebih kurang sama dengan ukuran kaki normal manusia modern saat ini.

Konon juga bertambah tinggi bangunan dinding Kakbah, bertambah tinggi pula batu tempat pijakan itu. Kini ‘prasasti’ itu dapat disaksikan di dalam kotak kaca yang di dalamnya terdapat bekas telapak kaki Nabi Ibrahim.

Maqam Ibrahim sekarang dibangun dengan kekuatan yang amat kukuh. Ditabrak dan ditarik orang banyak pun tidak akan rebah atau rusak. Bangunannya juga diamankan dengan jeruji besi dan kaca tebal yang kukuh. Maqam Ibrahim berdekatan dengan multazam sehingga sering juga digunakan salat dan berdoa para jemaah haji dan umrah di arah tempat ini.

Sebetulnya dalam sejarahnya sudah mengalami beberapa kali pemindahan. Semula juga menempel di dinding Kakbah dengan pelataran tersendiri, tetapi dianggap mengganggu orang tawaf, maka bangunannya diperkecil. Menurut ahli sejarah Saudi Arabia, semula Maqam Ibrahim menempel di dinding Kakbah seperti halnya Hajar Aswad. Namun, di zaman Khalifah Umar bin Khattab, batu ini dipisahkan dengan dinding Kakbah dan digeser ke belakang Kakbah.

Semula Maqam Ibrahim ini diletakkan di sebuah bangunan lemari perak berukuran 6 meter x 3 meter, kemudian dibuat dalam kotak ukuran lebih kecil (180 sentimeter x 130 sentimeter = 2,34 meter) karena menghalangi arus tawaf. Perubahan ini melalui hasil kesepakatan pemimpin umat Islam melalui Rabitah Al-Alam Al-Islami (Organisasi Konferensi Islam/OKI) pada 1387 Hijriah. Jarak antara Maqam Ibrahim dan sudut Kakbah serta Hajar Aswad yakni 14,5 meter. Dari Rukun Yamani 14 meter dan dari sudut talangan air 13,25 meter.

Maqam Ibrahim sering dijadikan incaran para pemimpin qabilah dan pemegang kekuasaan, seperti halnya Batu Hitam (Hajar Aswad) yang menempel di Kakbah pernah dicongkel sekelompok orang dari Dinasti Qaramithah. Namun, tiga tahun kemudian dikembalikan ke tempat aslinya, meskipun sudah mengalami pecah belah.

Ada juga ide untuk menjauhkan Maqam Ibrahim dengan Kakbah untuk menghilangkan kemungkinan orang menyembah atau mengkultuskan objek ini. Dalam pandangan sufistik, Maqam Ibrahim dimaknai tidak hanya secara fisik, tetapi lebih ditekankan kepada makna simboliknya sebagai ‘Pendirian Ibrahim’ yang monoteistik (tauhid).

Seperti diketahui, Nabi Ibrahim sering disebut sebagai ‘Bapak Monotesme’ (The Father of Monotheism). Nabi Ibrahim melahirkan keturunan penganjur tegas ajaran monoteisme, yaitu Nabi Musa yang diamanati menganjurkan agama Yahudi dengan kitab sucinya yakni Taurat. Kemudian Nabi Isa yang diamanati menganjurkan agama Nasrani dengan kitab sucinya yaitu Injil. Dan terakhir, Nabi Muhammad SAW dari jalur Nabi Ismail, diamanati sebagai penganjur agama Islam dengan kitab sucinya yakni Alquran.

Para peziarah Kakbah, diharapkan meneguhkan dan mengukuhkan pendirian ajaran monoteisme sebagaimana dianjurkan Nabi Ibrahim, yang merelakan dirinya terancam dengan berbagai ancaman. Termasuk memisahkan diri dengan ayahnya sendiri yang pembuat dan penyembah berhala. Inilah keunikan Nabi Ibrahim, mempunyai ayah yang amat kufur, tetapi memiliki anak keturunan beberapa nabi yang amat saleh. []

MEDIA INDONESIA, 18 Agustus 2018
Nasaruddin Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta