Inilah Sunnah-sunnah Ibadah
Haji
Ibadah haji terdiri atas rukun haji, wajib
haji, dan sunnah-sunnah haji. Semua ini yang membuat ibadah haji menjadi
sempurna. Masing-masing semua itu memiliki konsekuensi yang berbeda-beda.
Sebagian darinya berimplikasi serius bagi manasik haji jamaah yang
bersangkutan.
Syekh Abu Syuja dari mazhab Syafi’i dalam
Taqrib-nya menyebut tujuh hal yang menjadi sunnah-sunnah haji:
1. Ifrad, yaitu mendahulukan haji
dibandingkan umrah.
2. Talbiyah, (membaca "Labbaik allahumma
labbaik").
3. Thawaf qudum.
4. Mabit di Muzdalifah.
5. Shalat sunnah thawaf sebanyak dua rakaat.
6. Mabit di Mina.
7. Thawaf wada‘.
Namun demikian, pandangan Abu Syuja diberi
catatan oleh para ulama Syafiiyah sesudahnya. KH Afifuddin Muhajir
mendokumentasikan catatan verifikasi para ulama Syafiiyah tersebut. Menurutnya,
sebagian sunnah haji yang disampaikan Syekh Abu Syuja masuk ke dalam wajib
haji, bukan sunnah haji.
و)
الرابعة (المبيت بمزدلفة) ليلة النحر. وعده من السنن مرجوح والمعتمد أنه واجب
Artinya, “Keempat (mabit di Muzdalifah) pada
malam nahar (9 Dzulhijjah). Pendapat yang menganggap mabit di Muzdalifah ini
lemah. Menurut pendapat yang muktamad, mabit di Muzdalifah itu masuk wajib
haji,” (Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib, [Situbondo,
Al-Maktabah Al-Asadiyyah: 2014 M/1434 H] halaman 91).
Kiai Afif mengatakan bahwa pendapat yang
memasukkan mabit di Muzdalifah sebagai sunnah haji lemah. Pendapat yang dapat
diandalkan menempatkan mabit di Muzdalifah sebagai wajib haji. Catatan ini juga
dinyatakan perihal kesunnahan mabit di Mina pada malam-malam hari Tasyriq (11,
12, dan 13 Dzulhijjah).
و)
السادسة (المبيت بمنى) ليالي أيام التشريق الثلاثة والمعتمد أنه واجب
Artinya, “Keenam (mabit di Mina) pada
malam-malam Tasyriq. Menurut pendapat yang muktamad, mabit di Mina itu masuk
wajib haji,” (Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib, [Situbondo,
Al-Maktabah Al-Asadiyyah: 2014 M/1434 H] halaman 91).
Catatan Kiai Afif terakhir perihal
sunnah-sunnah haji adalah tawaf wada‘. Thawaf wada‘ merupakan wajib haji
menurut pandangan ulama syafi’iyah yang lebih shahih.
و)
السابعة (طواف الوداع) عند إرادة الخروج من مكة، والمعتمد أن طواف الوداع واجب
Artinya, “Ketujuh (tawaf wada‘) ketika ingin
meninggalkan Kota Makkah. Menurut pendapat yang muktamad, thawaf wada‘ itu
masuk wajib haji,” (Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib,
[Situbondo, Al-Maktabah Al-Asadiyyah: 2014 M/1434 H] halaman 91).
Jadi sunnah-sunnah haji menurut pendapat
ulama Syafi’iyah yang muktamad adalah sebagai berikut:
1. Ifrad, yaitu mendahulukan haji
dibandingkan umrah.
2. Talbiyah.
3. Thawaf qudum.
4. Shalat sunnah thawaf sebanyak dua rakaat.
Adapun shalat sunnah thawaf sebanyak dua
rakaat dilakukan setelah thawaf. Shalat sunnah thawaf dapat dilakukan di mana
saja di tanah haram. Tetapi sedapat mungkin shalat sunnah thawaf ini dilakukan
di belakang maqam Ibrahim.
و) الخامسة (ركعتا الطواف) أي ركعتان بعد الفراغ من الطواف
ويصليهما خلف المقام، فإن لم يتيسر ففي الحجر فإن لم يتيسر ففي المسجد فإن لم
يتيسر فحيث شاء من الحرم
Artinya, “Kelima (shalat dua rakaat thawaf),
yaitu dua rakaat setelah selesai thawaf. Shalat sunnah thawaf dilakukan di
belakang maqam Ibrahim. Kalau tidak mungkin, maka shalat sunnah thawaf
dilakukan di Hijir Ismail. Kalau tidak mungkin, shalat sunnah thawaf dilakukan
di masjid. Kalau tidak mungkin, maka shalat sunnah thawaf dilakukan di mana
saja di tanah haram,” (Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib,
[Situbondo, Al-Maktabah Al-Asadiyyah: 2014 M/1434 H] halaman 91).
Adapun shalat sunnah thawaf dilakukan
sebagaimana shalat sunnah pada umumnya. pembacaan Al-Qur’an dalam shalat sunnah
thawaf juga dilakukan sebagaimana shalat pada lazimnya.
ويسر
بالقراءة فيهما نهارا) إلا ما بعد الفجر (ويجهر بها ليلا) وما بعد طلوع الفجر إلى
طلوع الشمس
Artinya, “(Al-Quran dibaca perlahan (sirr)
pada shalat sunnah thawaf di siang hari) kecuali setelah fajar. (Al-Quran
dibaca lantang (jahar) di malam hari) dan setelah terbit fajar hingga terbit
matahari,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Tausyih ala Ibni Qasim, [Beirut, Darul
Fikr: 1996 M/1417 H], cetakan pertama, halaman 123). Wallahu a‘lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar