Hafsh bin Umar
al-Basri, Ilmuwan dan Ahli Hadits yang Difabel
Beliau bernama
lengkap Hafsh bin Umar Abu Umar al-Dharir al-Akbar al-Basri. Nama al-Akbar
untuk membedakan dengan Hafsh bin Umar al-Ashghar yang juga merupakan perawi
terpercaya, serta ahli qiraat al-Quran. Al-Basri merupakan identitas kewargaan
yang menunjukkan bahwa dia berasal dari Basrah. Sejak kecil, beliau sudah
mengalami kebutaan.
Walaupun begitu,
kebutaan ini tidak membuatnya ‘buta’ secara ilmu, malah membuatnya belajar dan
akhirnya menjadi sosok yanng berpengaruh di dunia. Daftar guru dan pun muridnya
tidak sedikit. Menurut Ibnu Hibban, seperti dikutip al-Mizzi, beliau adalah
golongan ulama yang menguasai beragam disiplin ilmu; waris (fara’id), astronomi
(hisab), puisi (syi’r) dan sejarah arab kuno (ayyam al-nas).
Pertanyaannya,
bagaimana beliau belajar jika sejak lahir telah mengalami kebutaan? Siapa yang
membantunya?
Hafsh bin Umar
berguru pada beberapa orang di luar kota Basrah, sekalipun gurunya lebih banyak
dari kota kelahiranya sendiri. Di antara guru-gurunya adalah Abi Syaibah
Ibrahim bin ‘Utsman al-‘Abasi (Kufah), Abu Hamzah Ishaq bin al-Rabi’ al-‘Atthar
(Basrah), Bisyr bin al-Mufaddhal (Basrah), Bakr bin Hamran, Jarir bin Hazim, al-Harits
bin Ziyad al-Azdi, al-Harits bin Sa’id al-Asadi al-Kufi, Hisan bin Ibrahim
al-Kirmani (Basrah), Hammad bin Zaid (Basrah), Hammad bin Salamah, Hammad bin
Waqid, Shalih al-Mirri (Basrah), Abdullah bin Hisan al-‘Anbari (Anbar), Abdul
Aziz bin Muslim (Basrah), Abdul Warits bin Sa’id (Basrah), ‘Ubaidillah bin
Syumaith bin ‘Ajlan (Basrah), ‘Adi bin al-Fadhl (Basrah), ‘Uqbah bin Abdullah
al-Asham (Basrah), ‘Ali bin Nuh, ‘Imran bin Khalid al-Khuza’i, Fadhalah
al-Syahham, al-Mubarak bin Fadhalah (Basrah), Abu Hilal Muhammad bin Sulaim
al-Rasibi (Basrah), Murji bin Raja’ (Basrah), Mu’tamir bin Sulaiman (Basrah),
al-Nu’man bin Abdussalam al-Ashbihani (Ashbihan), Abu ‘Awanah al-Waddhah bin
Abdullah (Wasith), Wuhaib bin Khalid (Basrah), Yahya bin Katsir al-‘Anbari
(Basrah), Yusuf bin Abdah (Basrah), dan Yusuf bin Maimun al-Shabbagh (Kufah,
Basrah).
Ada dua poin menarik
yang dapat diambil dari daftar guru Hafsh bin Umar di atas. Pertama, Hafsh bin
Umar memaksimalkan potensi yang ada di sekitarnya. Basrah adalah pusat kegiatan
keilmuan dari segala bidang; utamanya hadits. Terdapat banyak ahli hadits di
kota tersebut. Hal itu tidak disia-siakan Hafsh bin Umar al-Basri al-Dharir.
Beliau belajar kepada ulama-ulama ahli hadits yang ada di Basrah. Menguasai
ilmu mereka dan menjadi penerus estafet jaringan periwayat Basrah.
Keilmuan non-hadits
seperti ilmu waris, astronomi, puisi, dan sejarah kuno merupakan disiplin yang
juga digeluti Hafsh bin Umar. Setelah menguasai segudang ilmu Basrah, dia
mengunjungi Kufah, Anbar, Wasith, dan Ashbihan. Dalam bidang hadits, 17 dari 31
atau setara 54 persen gurunya adalah penduduk Basrah, tetangganya
sendiri.
Para penyandang
disabilitas dapat meneladani ini dengan memanfaatkan segala potensi personal,
sosial, maupun struktural untuk mengembangkan diri. Seperti yang dilakukan oleh
Hafsh bin Umar al-Basri.
Kedua, upaya Hafsh
bin Umar sampai sukses menjadi tokoh yang diakui dalam bidang hadits, waris,
astronomi, puisi dan sejarah kuno. Dalam disiplin hadits, Abu Hatim pernah
menyaksikan bahwa Hafsh bin Umar al-Basri meriwayatkan sebagian besar hadits
dari hafalannya (bukan tulisan).
Ini merupakan kerja
yang maha berat. Bagaimana Hafsh bin Umar memulai belajar? Apakah dia mengenal
tulisan? Bagaimana metode belajar orang yang buta sejak lahir? Siapa saja yang
mendukung keberhasilannya? Secara sederhana mungkin dapat dijawab, bahwa apa
yang dikehendaki Allah pasti terjadi. Dan kita bertanya tentang sebuah proses
bukanlah sesuatu yang terlarang bila itu memiliki manfaat bagi kita sebagai
orang beriman.
Jika seorang
penyandang disabilitas seperti halnya Hafsh bin Umar saja mampu untuk menjadi
seorang ilmuwan, ahlid hadits yang mumpuni dan juga disegani, apakah orang lain
juga bisa? Tentu saja. Lalu, pertanyaan selanjutnya bisa kita ajukan, apakah
pemerintah saat itu memberikan layanan bagi para penyandang disabilitas? []
M. Khoirul Huda
adalah Peneliti hadits di el-Bukhari Institute, mahasiswa pascasarjana UIN
Syahid Jakarta, dan penulis buku Para Ahli Hadits Difabel (2015). Tulisan
dipublikan ulang dari islami.co.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar