Agama Sebagai Realitas Historis (3)
Oleh: Azyumardi Azra
Alquran hanya satu, tapi hadis bermacam-macam tingkatannya. Namun,
dalam perjalanan historis, penafsiran untuk merumuskan berbagai aspek pemikiran
Islam (fikih, kalam, tasawuf, dan politik pada masa klasik dan pertengahan; dan
ekonomi Islam pada masa modern-kontemporer) secara perinci menjadi beragam.
Doktrin perinci yang terkandung dalam berbagai mazhab dan aliran,
yang disepakati jumhur ulama kemudian menjadi ortodoksi dan ortopraksi. Kedua
istilah ini mengacu kepada pemahaman dan praktik Islam yang telah diterima
mayoritas ulama sebagai sahih dan valid. Oleh karena itu, umat Muslimin
terlepas dari mazhab dan aliran yang mereka ikuti semestinya memegangi dan
mengamalkan ortodoksi serta ortopraksi sebagai Islam sebenarnya.
Sebaliknya, ada pula pemahaman dan praksis di kalangan sebagian
Muslim yang berbeda jauh dengan ortodoksi dan ortopraksi, yang disebut sebagai
heterodoksi. Singkatnya, istilah ini mengacu kepada pemahaman dan praksis yang
diklaim para penganutnya sebagai bersumber dari Islam, tetapi sebenarnya
menyimpang keluar dari ortodoksi dan ortopraksi.
Lalu ada pula istilah un-ortodoksi, yang pemahaman dan praktik
yang tidak lazim, walaupun tidak sampai ke tingkat menyimpang dari ortodoksi
dan otopraksi. Di antara kelompok Muslim yang un-ortodoks, misalnya kelompok
Muslim yang menolak tasawuf dan tarekat karena menganggapnya mengandung banyak
bidah. Padahal mayoritas ulama sepakat, tasawuf dan tarekat adalah bagian
integral pemikiran dan praksis Islam.
Bagaimana pun kemunculan ortodoksi-ortopraksi, heterodoksi dan
un-ortodoksi, banyak terkait dengan pemahaman atas teks wahyu dan pertemuannya
dengan realitas aktual sosial-budaya, politik, dan ekonomi. Oleh karena itulah
secara historis pada level sosial-budaya dan politik muncul keragaman yang tak
bisa dielakkan.
Meminjam kerangka MGS Hodgson dalam The Venture of Islam (3 jilid, 1975),
pemahaman dan praksis Islam ortodoks dapat disebut sebagai Islam yang dalam
realitas historis sepanjang sejarah mengandung berbagai mazhab dan aliran.
Inilah Islam menyejarah yang dipahami dan dipraktikkan umat Muslimin.
Sedangkan, ranah-ranah sosial budaya mencakup berbagai nilai-nilai
pranata dan lembaga di mana Islam teraktualisasi dapat disebut sebagai
'Islamicate'. Adanya Islamicate tak lain merupakan perwujudan usaha kaum
Muslimin untuk mengaktualisasikan Islam dalam ranah sosial-budaya.
Aktualisasi itu tentunya juga berbeda dalam tingkat kedalamannya
berbeda dari satu entitas sosial-budaya ke entitas sosial-budaya lainnya.
Pertemuan Islam ortodoks dengan sistem sosial-budaya yang telah
ada sebelumnya melibatkan pergumulan konflik dan akomodasi.
Pada awal kedatangannya, Islam menghadapi banyak sistem dan nilai
sosial-budaya yang tidak selalu sesuai dengan ortodoksi. Dalam pergumulan
panjang, akhirnya sistem dan nilai sosial-budaya terakomodasi ortodoksi
sehingga menjadi bagian integral tradisi Islam.
Namun, pergumulan terus berlanjut sampai sekarang. Kemunduran
peradaban Islam sejak abad pertengahan yang kemudian berhadapan dengan
peradaban Eropa modern, menghasilkan respons keagamaan berbeda di antara kaum
Muslim.
Sebagian menganjurkan kembali kepada Islam murni atas dasar
pandangan kemunduran Islam disebabkan kaum Muslimun telah meninggalkan Islam
murni seperti dipraktikkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Kelompok ini
dengan pemikiran dan praksis yang ditawarkannya sering disebut sebagai Salafi
yang ingin mencapai kembali kebangkitan (revivalism)
Islam.
Dalam upaya mewujudkan Islamic
revivalism, para pendukung gagasan ini terpecah menjadi setidaknya
dua kelompok: Mereka yang menempuh jalan damai melalui dakwah dan pendidikan,
dan mereka yang memilih pendekatan dan cara keras, baik terhadap kaum Muslimin
sendiri maupun pihak Eropa (kemudian Barat) yang mereka anggap bertanggung
jawab atas kemunduran Islam.
Sedangkan kelompok kedua, menganjurkan agar kaum Muslim mengadopsi
reformisme-modernisme. Untuk bisa keluar dari kemunduran Islam, mereka
menyarankan agar kaum Muslimun mengadopsi pemikiran dan lembaga modern tanpa
mengorbankan Islam.
Namun, dalam kenyataannya, adopsi modernisme Eropa tidak terbatas
pada pengelolaan birokrasi dan kemajuan sain-teknologi, tetapi sampai pada
pengambilalihan literal seperti terlihat dalam pengalaman Tanzimat Turki Utsmani
sejak 1770-an dengan adopsi sekularisme sejak masa Republik.
Oleh karena itulah, kaum modernis terpecah setidaknya menjadi dua
kelompok besar: Mereka yang mengadopsi kemodernan Eropa (dan Barat) secara
harfiah yang kemudian mengorbankan Islam.
Kelompok kedua, mereka yang menyerukan adopsi modernitas, tetapi
pada saat yang sama menekankan kepada kaum Muslim agar menggali dan
mengontekstualisasi warisan intelektual Islam (al-turats) sehingga tidak kehilangan
identitas keislamannya. []
REPUBLIKA, 23 Agustus 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar