Jumat, 31 Agustus 2018

Azyumardi: Agama Sebagai Realitas Historis (3)


Agama Sebagai Realitas Historis (3)
Oleh: Azyumardi Azra

Alquran hanya satu, tapi hadis bermacam-macam tingkatannya. Namun, dalam perjalanan historis, penafsiran untuk merumuskan berbagai aspek pemikiran Islam (fikih, kalam, tasawuf, dan politik pada masa klasik dan pertengahan; dan ekonomi Islam pada masa modern-kontemporer) secara perinci menjadi beragam.

Doktrin perinci yang terkandung dalam berbagai mazhab dan aliran, yang disepakati jumhur ulama kemudian menjadi ortodoksi dan ortopraksi. Kedua istilah ini mengacu kepada pemahaman dan praktik Islam yang telah diterima mayoritas ulama sebagai sahih dan valid. Oleh karena itu, umat Muslimin terlepas dari mazhab dan aliran yang mereka ikuti semestinya memegangi dan mengamalkan ortodoksi serta ortopraksi sebagai Islam sebenarnya.

Sebaliknya, ada pula pemahaman dan praksis di kalangan sebagian Muslim yang berbeda jauh dengan ortodoksi dan ortopraksi, yang disebut sebagai heterodoksi. Singkatnya, istilah ini mengacu kepada pemahaman dan praksis yang diklaim para penganutnya sebagai bersumber dari Islam, tetapi sebenarnya menyimpang keluar dari ortodoksi dan ortopraksi.

Lalu ada pula istilah un-ortodoksi, yang pemahaman dan praktik yang tidak lazim, walaupun tidak sampai ke tingkat menyimpang dari ortodoksi dan otopraksi. Di antara kelompok Muslim yang un-ortodoks, misalnya kelompok Muslim yang menolak tasawuf dan tarekat karena menganggapnya mengandung banyak bidah. Padahal mayoritas ulama sepakat, tasawuf dan tarekat adalah bagian integral pemikiran dan praksis Islam.

Bagaimana pun kemunculan ortodoksi-ortopraksi, heterodoksi dan un-ortodoksi, banyak terkait dengan pemahaman atas teks wahyu dan pertemuannya dengan realitas aktual sosial-budaya, politik, dan ekonomi. Oleh karena itulah secara historis pada level sosial-budaya dan politik muncul keragaman yang tak bisa dielakkan.

Meminjam kerangka MGS Hodgson dalam The Venture of Islam (3 jilid, 1975), pemahaman dan praksis Islam ortodoks dapat disebut sebagai Islam yang dalam realitas historis sepanjang sejarah mengandung berbagai mazhab dan aliran. Inilah Islam menyejarah yang dipahami dan dipraktikkan umat Muslimin.

Sedangkan, ranah-ranah sosial budaya mencakup berbagai nilai-nilai pranata dan lembaga di mana Islam teraktualisasi dapat disebut sebagai 'Islamicate'. Adanya Islamicate tak lain merupakan perwujudan usaha kaum Muslimin untuk mengaktualisasikan Islam dalam ranah sosial-budaya.

Aktualisasi itu tentunya juga berbeda dalam tingkat kedalamannya berbeda dari satu entitas sosial-budaya ke entitas sosial-budaya lainnya.

Pertemuan Islam ortodoks dengan sistem sosial-budaya yang telah ada sebelumnya melibatkan pergumulan konflik dan akomodasi.

Pada awal kedatangannya, Islam menghadapi banyak sistem dan nilai sosial-budaya yang tidak selalu sesuai dengan ortodoksi. Dalam pergumulan panjang, akhirnya sistem dan nilai sosial-budaya terakomodasi ortodoksi sehingga menjadi bagian integral tradisi Islam.

Namun, pergumulan terus berlanjut sampai sekarang. Kemunduran peradaban Islam sejak abad pertengahan yang kemudian berhadapan dengan peradaban Eropa modern, menghasilkan respons keagamaan berbeda di antara kaum Muslim.

Sebagian menganjurkan kembali kepada Islam murni atas dasar pandangan kemunduran Islam disebabkan kaum Muslimun telah meninggalkan Islam murni seperti dipraktikkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Kelompok ini dengan pemikiran dan praksis yang ditawarkannya sering disebut sebagai Salafi yang ingin mencapai kembali kebangkitan (revivalism) Islam.

Dalam upaya mewujudkan Islamic revivalism, para pendukung gagasan ini terpecah menjadi setidaknya dua kelompok: Mereka yang menempuh jalan damai melalui dakwah dan pendidikan, dan mereka yang memilih pendekatan dan cara keras, baik terhadap kaum Muslimin sendiri maupun pihak Eropa (kemudian Barat) yang mereka anggap bertanggung jawab atas kemunduran Islam.

Sedangkan kelompok kedua, menganjurkan agar kaum Muslim mengadopsi reformisme-modernisme. Untuk bisa keluar dari kemunduran Islam, mereka menyarankan agar kaum Muslimun mengadopsi pemikiran dan lembaga modern tanpa mengorbankan Islam.

Namun, dalam kenyataannya, adopsi modernisme Eropa tidak terbatas pada pengelolaan birokrasi dan kemajuan sain-teknologi, tetapi sampai pada pengambilalihan literal seperti terlihat dalam pengalaman Tanzimat Turki Utsmani sejak 1770-an dengan adopsi sekularisme sejak masa Republik.
Oleh karena itulah, kaum modernis terpecah setidaknya menjadi dua kelompok besar: Mereka yang mengadopsi kemodernan Eropa (dan Barat) secara harfiah yang kemudian mengorbankan Islam.

Kelompok kedua, mereka yang menyerukan adopsi modernitas, tetapi pada saat yang sama menekankan kepada kaum Muslim agar menggali dan mengontekstualisasi warisan intelektual Islam (al-turats) sehingga tidak kehilangan identitas keislamannya. []

REPUBLIKA, 23 Agustus 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar