Jumat, 31 Agustus 2018

Kang Komar: Merdeka Itu Berat


Merdeka Itu Berat
Oleh: Komaruddin Hidayat

PRIBADI yang merdeka adalah pribadi yang tidak terpenjara oleh berbagai nafsu, kepentingan, dan obsesi yang membuatnya tidak tumbuh berkembang. Pribadi yang merdeka adalah pribadi yang teguh memegang nilai luhur demi menjaga martabat dan kemuliaan dirinya.

Oleh karena itu, banyak para pejuang yang siap dan rela masuk tahanan semata karena tidak mau mengkhianati hati nurani dan cita-cita mulia kemerdekaan. Bagi mereka, fisiknya meringkuk di penjara, tapi hati, jiwa, dan pikirannya merdeka, terbang menerobos tembok penjara.

Makna kemerdekaan yang lebih sejati adalah mereka yang merdeka, tidak dijajah oleh nafsu rendahan, merdeka dari kebodohan dan kemiskinan moral. Orang bisa saja punya jabatan tinggi, harta berlimpah, tapi jangan-jangan jiwanya terjajah oleh jiwa hewani yang hanya mengejar kesenangan fisik tanpa kendali moral. Maka itu, perjuangan meraih kemerdekaan itu berat.

Tak kalah beratnya juga menjaga kemerdekaan. Untuk tetap jadi orang merdeka, kadang mesti siap menghadapi cobaan yang besar, seperti korupsi.

Sekali salah, seseorang masuk perangkap kehinaan moral, tak lagi jadi pribadi merdeka (liberated person). Misal ada orang merasa bebas merdeka mengonsumsi narkoba.

Tindakannya dilandasi dengan dalih itu hak asasi. Padahal tanpa disadari, dia telah masuk perangkap, diperbudak oleh hawa nafsunya. Dia jadi pribadi yang terjajah.

Ada juga orang yang bangga, merasa bebas merdeka melanggar peraturan. Tanpa disadari, dia telah terperangkap dan terjajah oleh jiwa kerdilnya yang tidak beradab.

Jadi, kemerdekaan yang pernah kita raih dengan penuh perjuangan adalah merdeka dari penjajah, lalu kita mendirikan Negara Republik Indonesia (RI) yang berdaulat, sejajar dengan negara lain yang sudah sama-sama merdeka. Namun, kemerdekaan konstitusional tidak berarti bangsa ini, lalu merdeka dari kemiskinan, kebodohan, dan perpecahan. Padahal, tujuan didirikannya negara adalah untuk melindungi warganya agar terbebas dari kebodohan, kemiskinan, dan rasa tidak aman.

Sekarang ini ketiga hal tersebut masih membayangi, bahkan kondisi sebagian warga masih seperti itu. Keadilan dan kesejahteraan sebagai muara dan target akhir Pancasila masih jauh. Berkali-kali berganti orde lewat turbulensi sosial politik dengan ongkos yang mahal, tetapi masih juga belum mendekatkan pada cita-cita kemerdekaan.

Memang ada pribadi dan masyarakat tidak siap jadi orang merdeka, karena untuk menjaga jiwa merdeka itu berat, penuh risiko, dan kadang terkucil. Yang mudah itu jadi budak, pengikut, follower, makmum, tidak perlu banyak berpikir, tinggal ikut apa maunya pimpinan, dan tanggung jawabnya rendah.

Tetapi bangsa yang bermental budak, tak memiliki jiwa bebas merdeka, pasti akan tergilas dan jadi korban dalam panggung persaingan yang semakin mengeras. Mereka akan merasa nyaman kalau kebetulan memiliki pemimpin dan lingkungan yang baik. Kalau tidak, hanya akan keluh kesah dan caci maki menyalahkan orang lain.

Kemerdekaan itu anugerah dan modal untuk maju tumbuh berkembang jika disertai ilmu pengetahuan, senantiasa menjaga integritas dan setia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Saya khawatir bahwa iklim kebebasan yang berkembang selama ini bukannya sebuah iklim kemerdekaan, melainkan kemerdekaan semu yang di dalamnya penuh jebakan, membuat seseorang justru terjerat pada tindakan yang menggerogoti jiwa merdeka, seperti korupsi, peredaran narkoba, dan konspirasi politik untuk berebut kekuasaan dengan mengorbankan kepentingan rakyat. []

KORAN SINDO, 24 Agustus 2018
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar