Kamis, 23 Agustus 2018

(Hikmah of the Day) Kisah Kiai Mahmud Ihsan dan Kitab Kuning ‘Gondrong’


Kisah Kiai Mahmud Ihsan dan Kitab Kuning ‘Gondrong’

Kisah hikmah ini adalah kelanjutan dari kisah sebelumnya tentang Mbah Kiai Mahmud (Allahyarham). Masih dengan sumber yang sama, yaitu Pak Tauhid. Walaupun obrolan saya dan Pak Tauhid tidak panjang, tapi cukup banyak kisah yang disampaikan Pak Tauhid kepada saya. Dan bagi saya, kisah Mbah Kiai Mahmud merupakan cucuran hikmah luar biasa, khususnya pelajaran tentang hidup dan kehidupan.

Sebagai santri yang dekat dengan Mbah Kiai Mahmud, Pak Tauhid cukup banyak tahu kebiasaan Mbah Kiai Mahmud. Salah satu kebiasaan Mbah Kiai Mahmud adalah menuliskan makna Arab pegon di setiap kitab kuningnya. Kata Pak Tauhid, setiap Mbah Kiai Mahmud memberikan arti di kitab-kitabnya tidak ada satu pun makna yang terlewatkan. Beliau dengan teliti dan tekun menuliskannya.

Menurut Pak Tauhid, kebiasaan itu dilakukan sudah dari dulu, semenjak Mbah Kiai Mahmud masih mesantren. Artinya, kebiasaan Mbah Kiai Mahmud menandakan bagaimana keseriusan Mbah Kiai Mahmud dalam belajar. Semua kitab kuning Mbah Kiai Mahmud dipenuhi makna Arab pegon yang beliau tulis sendiri, ada catatan refrensi tambahan, dan ada coretan-coretan penting. Ini semua dilakukan karena Mbah Kiai Mahmud mempunyai prinsip belajar, “padange kitab dadekno petenge ati, petenge kitab dadekno padange ati.”—(terangnya kitab menjadikan gelapnya hati, gelapnya kitab menjadikan terangnya hati).

“Padange kitab” maksudnya—kitab itu sama sekali tidak ada makna, tidak ada catatan refrensi tambahan dan tidak ada coretan-coretan penting. Sedangkan “gelapnya kitab”maksudnya—kitab itu penuh dengan catatan-catatan dan makna-makna Arab pegon, tidak kosong. Mbah Kiai Mahmud meyakini, ketika kitab itu kosong tanpa ada tulisan apa pun menandakan kegelapan hati, namun ketika kitab itu penuh dengan makna dancatatan-catatanpenting menandakan hati yang bercahaya. 

Bagi saya, sangat logis—proses belajar dengan cara tersebut akan lebih mengena, karena dilakukan dengan teliti, tidak hanya asal lewat setelah itu lupa. Mbah Kiai Mahmud sangat teliti dan sungguh-sungguh, beliau serap maknanya satu per satu, dari kata per kata, kalimat per kalimat, dan paragraf per paragraf, sekaligus tautan ilmu per ilmunya dan ide per idenya.

Dugaan saya, dalam proses belajar, Mbah Kiai Mahmud tidak hanya menimba pengetahuan semata, beliau sedang berusaha, agar apa yang beliau pelajari tidak hanya ilmu-ilmu tok, melainkan sebagai jalan beliau mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan cara tersebut, tertutuplah pintu-pintu kesombongan. Beliau tidak gengsi apalagi takut dianggap tidak mampu membaca kitab kuning dengan baik, karena kitabnya “gondrong” (penuh catatan terjemahan; tidak gundul, red), Mbah Kiai Mahmud membuang jauh-jauh sesuatu yang dapat melahirkan kesombongan. 

Mbah Kiai Mahmud meyakini, melalui proses belajar seperti itu, maka cahaya Ilahi akan masuk ke dalam hati. Beliau melakukan itu semua sebagai cara beliau dalam belajar, sangat mudah bagi beliau tidak melakukan itu. Namun, prinsip beliau sudah paten—dengan kebiasaan tersebut, Mbah Kiai Mahmud merasa lebih dekat dengan Sang Pencipta.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Bersabda, “Barangsiapa menuntut ilmu yang biasanya ditujukan untuk mencari keridhoan Allah, tiba-tiba ia tidak mempelajarinya, kecuali hanya untuk mendapatkan harta benda keduniaan, maka ia tidak akan memperoleh bau harumnya surga pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud). “Janganlah kalian menuntut ilmu untuk membanggakannya terhadap para ulama dan untuk diperdebatkan di kalangan orang-orang bodoh dan buruk perangainya.....” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Teladan yang bisa kita ambil dari kebiasaan Mbah Kiai Mahmud ialah kesungguhan beliau dalam belajar dan ketelitian beliau sekaligus kesabaran beliau. Bukanlah aktifitas yang mudah memaknai seluruh isi kitab tanpa tertinggal satu kata pun. Bagi kita yang pernah singgah di pesantren, memaknai kitab butuh kehati-hatian dan kesabaran. Apalagi kitab yang dimaknai tidak satu atau dua kitab saja, melainkan banyak kitab dengan berbagai macam ketebalannya.

Kisah ini bisa dijadikan panutan untuk kita semua, apalagi di era yang serba instan seperti sekarang, kebanyakan dari kita tidak mau repot dalam belajar, kita sudah terbius oleh pesona ‘alam maya’ yang siap menyuguhkan berbagai macam pengetahuan. Namun, yang harus disadari, tidak sedikit “jebakan” di dalamnya. Tanpa guru dan tanpa usaha sungguh-sungguh dalam belajar—sepertinya kita susah untuk mencapai taraf yang lebih tinggi, dari hanya sekadar “pintar”.

Para ulama dan kiai, khususnya Mbah Kiai Mahmud Ihsan menjadi alim bukan terjadi begitu saja, melainkan melalui proses panjang, selalu membaca, menyimak, memberi makna dan memberi catatan isi kitab. Kealiman beliau membawa berkah, pada saat beliau mengasuh Pondok Pesantren Hidayatut Thullab (Pondok Tengah), Kamulan, Tranggelek—Allah SWT mengamanati beliau santri dengan jumlah ribuan. Dan Mbah Kiai Mahmud mengurusi itu semua dengan telaten.

Hebatnya, kata Pak Tauhid, kebiasaan Mbah Kiai Mahmud itu tidak surut sampai beliau sepuh. Beliau berpedoman, proses belajar sampai kapan pun tidak akan pernah ada ujungnya, kualitas hidup manusia terus meningkat dari setiap fasenya, sebab usia manusia terus bertambah. Sabda Rasulullah, “Belajar/menuntut ilmu sejak dari buaian hingga ke liang lahat.”

Untuk generasi milenial, para santri, dan siapa saja yang ingin berproses kreatif dan sukses dalam belajar, tirulah Mbah Kiai Mahmud, insya Allah—Allah akan memberikan kenikmatan belajar luar biasa kepada kita. Sedikit mengutip Gus Mus, “Jangan berhenti belajar!” Telah jelas, untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat harus dengan ilmu, berarti harus belajar.

Dari kisah ini, saya pun mulai mencoba memberikan banyak catatan kepada buku-buku yang saya baca, ternyata benar—lebih mengena, tidak gampang lupa, dan ada proses kreatif. Setidaknya, jikalau kita lupa, catatan berupa makna dan refrensi tambahan bisa dijadikan sebagai pengingat. Yang pasti, sangat mujarab untuk diamalkan. Hadiah Fatihah untuk Mbah Kiai M. Mahmud Ihsan, Al-fatihah. []

Aswab Mahasin, tinggal di Yogyakarta dan pembaca setia NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar