NU Menyikapi
Kewajiban Milisi Bumiputera Belanda
Wajib militer kerap
dihadapi oleh bangsa Indonesia, baik saat terjajah oleh Belanda dan Jepang.
Tahun 1945 saat Jepang tersudut oleh serangan tentara sekutu, mereka menjaring
para pemuda Indonesia dan santri untuk melakukan latihan militer untuk menjadi
amunisi tambahan tentara Nippon menghadapi sekutu.
Begitu juga pada
masa-masa sebelumnya, yaitu di tahun 1941. Ratu Belanda Wilhelmina
‘menghadiahai’ bangsa Indonesia dengan Inheemse Militie atau Milisi Bumiputera.
Sebuah undang-undang tentang kewajiban menjadi milisi (militieplicht). (KH Saifuddin
Zuhri, Berangkat dari Pesantren, LKiS, 2013)
Undang-undang
tersebut menyatakan bahwa setiap pemuda Indonesia yang berusia 18-25 tahun
dikenakan wajib bela ‘diri’ dengan menjadi serdadu sukarela Hindia Belanda.
Kewajiban itu terdiri dari dua badan, yakni stadswachter (pengawal kota) dan
landswachter (pengawal negeri).
Seketika,
undang-undang tersebut mendapat tantangan dari rakyat Indonesia. Dilema harus
dihadapi pegawai pemerintahan. Karena menolak militieplicht sama saja mengancam
kedudukan mereka sendiri sebagai pegawai pemerintahan.
Hal ini dilakukan
oleh Ratu Belanda saat terjadi perang dunia kedua. Dia menanggapi aspirasi
bangsa Indonesia tentang kemerdekaan. Namun baru akan diputuskan setelah perang
dunia kedua selesai. Di saat itulah ia ‘menghadiahi’ rakyat Indonesia dengan
undang-undang milisi tersebut.
Namun, karena perang
dunia kedua penuh dengan darah, tidak lama setelah militieplicht bergulir,
bangsa Indonesia juga dihadapkan pada “kewajiban menjadi donor darah”. Kedua
undang-undang tersebut, selain menimbulkan reaksi di kalangan umat Islam, juga
menimbulkan rasa cemas atas nasib para pemuda yang terkena undang-undang wajib
bela diri.
Karena para pemuda
seolah bakal menjadi umpan peluru dalam perang dunia kedua tersebut. Menghadapi
situasi ini, Ansor Nahdlatoel Oelama (Ansor NO) daerah bergerak cepat berkoordinasi
dengan Pengurus Besar Ansor NO dan HBNO (PBNU, red) di Jalan Bubutan Surabaya.
Ternayata, HBNO juga
telah siap dengan siaran resmi yang ditujukan kepada semua pimpinan NU di
berbagai daerah terkait milisi bumiputera tersebut. Adapun pokok-pokoknya
sebagai berikut:
1. Warga NU terutama
Ansor tidak perlu gelisah berlebihan agar tidak mematikan semangat bekerja
dalam organisasi ataupun bekerja untuk kepentingan pribadi.
2. Diingatkan bahwa
penunjukkan milisi bumiputera dilakukan melalui saringan-saringan dengan
syarat-syarat tertentu yang berlaku dalam kemiliteran.
3. Tidak semua pemuda
Indonesia bisa dijadikan milisi bumiputera. Karena hal itu menyangkut
konsekuensi atas anggaran belanja Hindia Belanda yang sedang mengalami berbagai
kesulitan setelah hubungannya dengan pemerintah agung di Negeri Belanda
terputus.
4. HBNO telah
mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda agar pemuda-pemuda yang
sedang menuntut pendidikan agama di pesantren-pesantren, madrasah-madrasah, dan
pengajian-pengajian umum (baik selaku pelajar dan guru) dibebaskan dari
kewajiban milisi bumiputera.
5. Dimohon supaya
para pangreh praja di daerah-daerah (bupati, wedana, asisten wedana) bertindak
bijksana dalam melaksanakan undang-undang milisi bumiputera terutama menyangkut
dengan poin 4 (empat) di atas.
6. Kepada para Konsul
NU dan Komisaris Daerah Ansor diwajibkan berjuang lebih gigih dengan kesabaran
semaksimal mungkin agar pendirian HBNO tentang milisi bumiputera itu terlaksana
dengan sebaik-baiknya.
Pemimpin Ansor NU KH
Saifuddin Zuhri yang saat itu juga aktif menyikapi militieplicht ini
mengungkapkan, Presiden HBNO KH Mahfudz Siddiq telah mendelegasikan Ketua Dewan
Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) KH Abdul Wahid Hasyim untuk memperjuangkan
poin-poin pendirian HBNO di atas dalam Majelis Rakyat Indonesia yang kala itu
bersidang di Yogyakarta pada 1 September 1941. []
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar