Rabu, 29 Agustus 2018

NU Menyikapi Kewajiban Milisi Bumiputera Belanda


NU Menyikapi Kewajiban Milisi Bumiputera Belanda

Wajib militer kerap dihadapi oleh bangsa Indonesia, baik saat terjajah oleh Belanda dan Jepang. Tahun 1945 saat Jepang tersudut oleh serangan tentara sekutu, mereka menjaring para pemuda Indonesia dan santri untuk melakukan latihan militer untuk menjadi amunisi tambahan tentara Nippon menghadapi sekutu.

Begitu juga pada masa-masa sebelumnya, yaitu di tahun 1941. Ratu Belanda Wilhelmina ‘menghadiahai’ bangsa Indonesia dengan Inheemse Militie atau Milisi Bumiputera. Sebuah undang-undang tentang kewajiban menjadi milisi (militieplicht). (KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, LKiS, 2013)

Undang-undang tersebut menyatakan bahwa setiap pemuda Indonesia yang berusia 18-25 tahun dikenakan wajib bela ‘diri’ dengan menjadi serdadu sukarela Hindia Belanda. Kewajiban itu terdiri dari dua badan, yakni stadswachter (pengawal kota) dan landswachter (pengawal negeri).

Seketika, undang-undang tersebut mendapat tantangan dari rakyat Indonesia. Dilema harus dihadapi pegawai pemerintahan. Karena menolak militieplicht sama saja mengancam kedudukan mereka sendiri sebagai pegawai pemerintahan.

Hal ini dilakukan oleh Ratu Belanda saat terjadi perang dunia kedua. Dia menanggapi aspirasi bangsa Indonesia tentang kemerdekaan. Namun baru akan diputuskan setelah perang dunia kedua selesai. Di saat itulah ia ‘menghadiahi’ rakyat Indonesia dengan undang-undang milisi tersebut.

Namun, karena perang dunia kedua penuh dengan darah, tidak lama setelah militieplicht bergulir, bangsa Indonesia juga dihadapkan pada “kewajiban menjadi donor darah”. Kedua undang-undang tersebut, selain menimbulkan reaksi di kalangan umat Islam, juga menimbulkan rasa cemas atas nasib para pemuda yang terkena undang-undang wajib bela diri.

Karena para pemuda seolah bakal menjadi umpan peluru dalam perang dunia kedua tersebut. Menghadapi situasi ini, Ansor Nahdlatoel Oelama (Ansor NO) daerah bergerak cepat berkoordinasi dengan Pengurus Besar Ansor NO dan HBNO (PBNU, red) di Jalan Bubutan Surabaya.

Ternayata, HBNO juga telah siap dengan siaran resmi yang ditujukan kepada semua pimpinan NU di berbagai daerah terkait milisi bumiputera tersebut. Adapun pokok-pokoknya sebagai berikut:

1. Warga NU terutama Ansor tidak perlu gelisah berlebihan agar tidak mematikan semangat bekerja dalam organisasi ataupun bekerja untuk kepentingan pribadi.

2. Diingatkan bahwa penunjukkan milisi bumiputera dilakukan melalui saringan-saringan dengan syarat-syarat tertentu yang berlaku dalam kemiliteran.

3. Tidak semua pemuda Indonesia bisa dijadikan milisi bumiputera. Karena hal itu menyangkut konsekuensi atas anggaran belanja Hindia Belanda yang sedang mengalami berbagai kesulitan setelah hubungannya dengan pemerintah agung di Negeri Belanda terputus.

4. HBNO telah mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda agar pemuda-pemuda yang sedang menuntut pendidikan agama di pesantren-pesantren, madrasah-madrasah, dan pengajian-pengajian umum (baik selaku pelajar dan guru) dibebaskan dari kewajiban milisi bumiputera.

5. Dimohon supaya para pangreh praja di daerah-daerah (bupati, wedana, asisten wedana) bertindak bijksana dalam melaksanakan undang-undang milisi bumiputera terutama menyangkut dengan poin 4 (empat) di atas.

6. Kepada para Konsul NU dan Komisaris Daerah Ansor diwajibkan berjuang lebih gigih dengan kesabaran semaksimal mungkin agar pendirian HBNO tentang milisi bumiputera itu terlaksana dengan sebaik-baiknya.

Pemimpin Ansor NU KH Saifuddin Zuhri yang saat itu juga aktif menyikapi militieplicht ini mengungkapkan, Presiden HBNO KH Mahfudz Siddiq telah mendelegasikan Ketua Dewan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) KH Abdul Wahid Hasyim untuk memperjuangkan poin-poin pendirian HBNO di atas dalam Majelis Rakyat Indonesia yang kala itu bersidang di Yogyakarta pada 1 September 1941. []

(Fathoni Ahmad)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar