Senin, 20 Agustus 2018

Yudi Latif: Kepemimpinan Kemerdekaan


Kepemimpinan Kemerdekaan
Oleh: Yudi Latif

MENJELANG peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, suasana kehidupan politik kita memasuki fase krusial, berupa penentuan pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres).

Persinggungan di antara kedua peristiwa penting itu mestinya menjadi momen pengingat bahwa hakikat sesungguhnya dari estafet kepemimpinan nasional ialah kesinambungan perjuangan mencapai cita-cita kemerdekaan: mewujudkan perikehidupan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Kemerdekaan dari penjajahan bukanlah akhir segalanya. Ia permulaan yang membangkitkan tantangan sekaligus menuntut jawaban. Bung Karno mengingatkan, "Kemerdekaan tidak menyudahi soal-soal, kemerdekaan malah membangunkan soal-soal; tetapi kemerdekaan juga memberi jalan untuk memecahkan soal-soal itu. Hanya ketidakmerdekaanlah yang tidak memberi jalan untuk memecahkan soal-soal."

Kemerdekaan menuntut banyak hal, yang hanya bisa dipenuhi jiwa merdeka. Di sinilah letak paradoks Indonesia masa kini.

Di satu sisi, ledakan kebebasan membangkitkan harapan rakyat akan kehidupan yang lebih baik, lebih adil, dan sejahtera. Di sisi lain, ledakan kebebasan itu sering kali tidak kita gunakan secara progresif untuk mengerahkan energi nasional demi kemajuan bangsa, tetapi dimubazirkan secara regresif untuk bertikai mempertentangkan hal-hal remeh-temeh dengan sentimen perbedaan identitas yang hendak dikubur jiwa merdeka.

Energi nasional yang dihamburkan untuk pertikaian identitas yang tak produktif itu mengganggu fokus kepemimpinan pada usaha-usaha mewujudkan kesejahteraan umum. Dengan kesejahteraan umum yang kurang perhatian, kesenjangan sosial melebar. Kesenjangan sosial yang makin lebar memperuncing pertikaian antarperbedaan identitas. Itulah lingkaran setan yang mencekik gerak kemajuan bangsa.

Oleh karena itu, isu kepemimpinan harus beringsut dari isu identitas menuju kualitas dengan menumpukan pemilihan pemimpin atas dasar prestasi (meritokrasi).

Sejalan dengan itu, usaha mendekati keadilan sosial ditempuh bukan dengan jalan mengoyak persatuan. Malahan sebaliknya, persatuan nasional harus diperkuat dengan mengajak semua pihak untuk sama-sama bergotong royong mewujudkan keadilan sosial.

Dengan kecenderungan pemilihan pasangan presiden dan wakil presiden yang mempertimbangkan keterwakilan arus utama aliran-aliran politik di negeri ini, mestinya kita sudah punya modal awal untuk mengatasi politisasi identitas.

Ketika sang petahana sekaligus calon presiden Presiden Joko Widodo memilih KH Ma'ruf Amin sebagai cawapresnya, peluang untuk menjadikan ajang kontestasi kepresidenan sebagai ajang fabrikasi politik identitas sesungguhnya tidak memiliki basis rasionalitas lagi.

Dengan itu, kita harapkan ajang pemilihan presiden dan wakil presiden yang akan datang lebih menguji visi dan misi berikut adu gagasan dan argumen yang lebih substantif.

Memasuki permulaan kontestasi politik dalam suasana peringatan Hari Kemerdekaan, para capres-cawapres beserta pendukung mereka harus terinspirasi menggembalikan jiwa kepemimpinan nasional pada semangat proklamasi.

"Semangat proklamasi," ujar Bung Karno, "adalah semangat rela berjoang, berjoang mati-matian dengan penuh idealisme. Semangat proklamasi adalah semangat persatuan, persatuan yang bulat-mutlak dengan tiada mengecualikan sesuatu golongan dan lapisan. Semangat proklamasi adalah semangat membangun negara... dan manakala sekarang ada tanda-tanda kelunturan dan dege-nerasi, kikislah bersih semua kuman kelunturan dan degenerasi itu, hidupkanlah kembali semangat proklamasi!" []

MEDIA INDONESIA, 10 Agustus 2018
Yudi Latif | Cendekiawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar