Kepemimpinan
Kemerdekaan
Oleh:
Yudi Latif
MENJELANG
peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, suasana kehidupan politik kita
memasuki fase krusial, berupa penentuan pasangan calon presiden dan wakil
presiden (capres-cawapres).
Persinggungan
di antara kedua peristiwa penting itu mestinya menjadi momen pengingat bahwa
hakikat sesungguhnya dari estafet kepemimpinan nasional ialah kesinambungan
perjuangan mencapai cita-cita kemerdekaan: mewujudkan perikehidupan bangsa yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Kemerdekaan
dari penjajahan bukanlah akhir segalanya. Ia permulaan yang membangkitkan
tantangan sekaligus menuntut jawaban. Bung Karno mengingatkan,
"Kemerdekaan tidak menyudahi soal-soal, kemerdekaan malah membangunkan
soal-soal; tetapi kemerdekaan juga memberi jalan untuk memecahkan soal-soal
itu. Hanya ketidakmerdekaanlah yang tidak memberi jalan untuk memecahkan
soal-soal."
Kemerdekaan
menuntut banyak hal, yang hanya bisa dipenuhi jiwa merdeka. Di sinilah letak
paradoks Indonesia masa kini.
Di satu
sisi, ledakan kebebasan membangkitkan harapan rakyat akan kehidupan yang lebih
baik, lebih adil, dan sejahtera. Di sisi lain, ledakan kebebasan itu sering
kali tidak kita gunakan secara progresif untuk mengerahkan energi nasional demi
kemajuan bangsa, tetapi dimubazirkan secara regresif untuk bertikai
mempertentangkan hal-hal remeh-temeh dengan sentimen perbedaan identitas yang
hendak dikubur jiwa merdeka.
Energi
nasional yang dihamburkan untuk pertikaian identitas yang tak produktif itu
mengganggu fokus kepemimpinan pada usaha-usaha mewujudkan kesejahteraan umum.
Dengan kesejahteraan umum yang kurang perhatian, kesenjangan sosial melebar.
Kesenjangan sosial yang makin lebar memperuncing pertikaian antarperbedaan
identitas. Itulah lingkaran setan yang mencekik gerak kemajuan bangsa.
Oleh
karena itu, isu kepemimpinan harus beringsut dari isu identitas menuju kualitas
dengan menumpukan pemilihan pemimpin atas dasar prestasi (meritokrasi).
Sejalan
dengan itu, usaha mendekati keadilan sosial ditempuh bukan dengan jalan
mengoyak persatuan. Malahan sebaliknya, persatuan nasional harus diperkuat
dengan mengajak semua pihak untuk sama-sama bergotong royong mewujudkan
keadilan sosial.
Dengan
kecenderungan pemilihan pasangan presiden dan wakil presiden yang
mempertimbangkan keterwakilan arus utama aliran-aliran politik di negeri ini,
mestinya kita sudah punya modal awal untuk mengatasi politisasi identitas.
Ketika
sang petahana sekaligus calon presiden Presiden Joko Widodo memilih KH Ma'ruf
Amin sebagai cawapresnya, peluang untuk menjadikan ajang kontestasi
kepresidenan sebagai ajang fabrikasi politik identitas sesungguhnya tidak
memiliki basis rasionalitas lagi.
Dengan
itu, kita harapkan ajang pemilihan presiden dan wakil presiden yang akan datang
lebih menguji visi dan misi berikut adu gagasan dan argumen yang lebih
substantif.
Memasuki
permulaan kontestasi politik dalam suasana peringatan Hari Kemerdekaan, para
capres-cawapres beserta pendukung mereka harus terinspirasi menggembalikan jiwa
kepemimpinan nasional pada semangat proklamasi.
"Semangat
proklamasi," ujar Bung Karno, "adalah semangat rela berjoang,
berjoang mati-matian dengan penuh idealisme. Semangat proklamasi adalah
semangat persatuan, persatuan yang bulat-mutlak dengan tiada mengecualikan
sesuatu golongan dan lapisan. Semangat proklamasi adalah semangat membangun
negara... dan manakala sekarang ada tanda-tanda kelunturan dan dege-nerasi,
kikislah bersih semua kuman kelunturan dan degenerasi itu, hidupkanlah kembali
semangat proklamasi!" []
MEDIA
INDONESIA, 10 Agustus 2018
Yudi
Latif | Cendekiawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar