Kamis, 02 Agustus 2018

Nasaruddin Umar: Haji dalam Perspektif Hakikat


Haji dalam Perspektif Hakikat
Oleh: Nasaruddin Umar

HAJI dalam perspektif ahli hakikat lebih dalam lagi daripada kedua perspektif sebelumnya (perspektif syariah dan tarekat). Dalam perspektif hakikat, haji tidak sekadar mengamalkan rukun-syarat disertai penghayatan mendalam. Namun, mereka memaknai ritualitas haji dan umrah sarat dengan peristiwa simbolis. Karena itu, kelompok ini mungkin tidak berbeda dengan cara pengamalan Jamaah haji lain, tetapi pemaknaan terhadap simbol-simbol hajinya yang berbeda.

Kelompok ini seolah tidak menekankan arti penting teknis pelaksanaan haji yang memang dengan sendirinya harus begitu, tetapi berusaha untuk memetik hikmah lebih dalam dari proses pelaksanaan haji dan umrah.

Sebagai contoh, Bait Allah (baca: Baitullah) secara lahiriah atau dalam level ufuk terdapat di Mekkah dan untuk mengunjunginya, manusia memerlukan dimensi waktu dan tentunya biaya. Bagi mereka, secara batiniah Baitullah bisa hadir atau dapat dihadirkan setiap saat di dalam kalbu. Ini bukan berarti Baitullah ganda, tetapi kehadiran Baitullah secara spiritual dengan wujud Kabah di dalamnya, seseorang bisa lebih khusyuk di dalam menunaikan ibadah shalat.

Betapa tidak, mereka bukan hanya menghadap ke arah Kabah, melainkan secara spiritual imagination ia sudah bersimpuh di depan Kabah. Ia sudah merasakan perjumpaan spiritual (tawajuh) dengan Kabah.

Simbol-simbol haji dan umrah dimaknai dengan makna yang berlapis-lapis. Ayat-ayat dan hadis tentang haji diberi makna takwil sehingga haji terkesan sangat sakral.

Ibadah haji dan umrah sesungguhnya sarat dengan makna sakral, tetapi juga tidak sepi dari makna profan. Unsur sakral haji dapat dengan mudah terlihat pada pengamalan rukun haji seperti berpakaian ihram menuju padang Arafah untuk melaksanakan wukuf. Di sana terasa ada tekanan eksternal dan internal untuk mengakui persamaan diri dengan orang lain dan sekaligus menyatakan secara jujur akan segala kelemahan diri.

Semua topeng-topeng kehidupan yang membuat orang lain respek dan hormat, seperti pangkat, jabatan, kebangsawanan, kesarjanaan, dan kekayaan, semuanya berguguran. Tinggallah seorang diri (nafsi-nafsi) sebagai manusia daif tanpa daya di hadapan Allah Rabb al-Qadhi.

Selanjutnya bermalam di Muzdalifah sambil memungut batu-batu kecil untuk persiapan keesokan harinya untuk melempar jumrah. Setelah itu dilanjutkan dengan tawaf dan sai di Masjidilharam. Ini semua melambangkan rangkaian suluk dan sair (perjalanan spiritual menuju Tuhan).

Kalangan ahli hakikat bukan hanya bertawajuh dengan Kabah, tetapi juga Sang Penghuni Kabah. Bagaimana tidak menangis di dalam salat dan di setiap arena haji karena ia begitu terharu menghadapkan berbagai lapis dirinya melakukan penyembahan, sebagaimana dilafazkan di dalam Surah Alfatihah: Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in. Sang Pemilik dan Penghuni Kabah tampil sebagai pihak kedua (mukhathab), tidak lagi tampil sebagai pihak ketiga.

Ayat itu tidak mengatakan: Iyyahu na'budu wa iyyahu nasta'in (Hanya Dia yang kami sembah dan hanya Dia tempat kami mohon pertolongan). Dalam suasana tawajuh seperti ini sang hamba melakukan penyembahan (ta'abbud) dan Tuhan memberikan pertolongan (istianah).

Saat hamba melakukan ta'abbud, saat itu hamba mendaki (taraqqi). Ketika hamba melakukan taraqqi, pada saat bersamaan Tuhan turun (tanazul) untuk menjumpai hamba-Nya. "Siapa mendekati-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sesiku. Siapa yang mendekatiku sesiku, maka aku akan mendekatinya sedepah. Barangsiapa mendekatiku berjalan maka Aku akan mendekatinya berlari," dan seterusnya. Demikian firman Allah dalam hadis qudsi yang sangat populer di lingkungan para pengamal tarekat dan praktisi tasawuf. []

MEDIA INDONESIA, 30 Juli 2018
Nasaruddin Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar