Haji dalam Perspektif Hakikat
Oleh: Nasaruddin Umar
HAJI dalam perspektif ahli hakikat lebih dalam lagi daripada kedua
perspektif sebelumnya (perspektif syariah dan tarekat). Dalam perspektif
hakikat, haji tidak sekadar mengamalkan rukun-syarat disertai penghayatan
mendalam. Namun, mereka memaknai ritualitas haji dan umrah sarat dengan
peristiwa simbolis. Karena itu, kelompok ini mungkin tidak berbeda dengan cara
pengamalan Jamaah haji lain, tetapi pemaknaan terhadap simbol-simbol hajinya
yang berbeda.
Kelompok ini seolah tidak menekankan arti penting teknis
pelaksanaan haji yang memang dengan sendirinya harus begitu, tetapi berusaha
untuk memetik hikmah lebih dalam dari proses pelaksanaan haji dan umrah.
Sebagai contoh, Bait Allah (baca: Baitullah) secara lahiriah atau
dalam level ufuk terdapat di Mekkah dan untuk mengunjunginya, manusia
memerlukan dimensi waktu dan tentunya biaya. Bagi mereka, secara batiniah
Baitullah bisa hadir atau dapat dihadirkan setiap saat di dalam kalbu. Ini
bukan berarti Baitullah ganda, tetapi kehadiran Baitullah secara spiritual
dengan wujud Kabah di dalamnya, seseorang bisa lebih khusyuk di dalam
menunaikan ibadah shalat.
Betapa tidak, mereka bukan hanya menghadap ke arah Kabah,
melainkan secara spiritual imagination ia sudah bersimpuh di depan Kabah. Ia
sudah merasakan perjumpaan spiritual (tawajuh) dengan Kabah.
Simbol-simbol haji dan umrah dimaknai dengan makna yang
berlapis-lapis. Ayat-ayat dan hadis tentang haji diberi makna takwil sehingga
haji terkesan sangat sakral.
Ibadah haji dan umrah sesungguhnya sarat dengan makna sakral,
tetapi juga tidak sepi dari makna profan. Unsur sakral haji dapat dengan mudah
terlihat pada pengamalan rukun haji seperti berpakaian ihram menuju padang
Arafah untuk melaksanakan wukuf. Di sana terasa ada tekanan eksternal dan
internal untuk mengakui persamaan diri dengan orang lain dan sekaligus
menyatakan secara jujur akan segala kelemahan diri.
Semua topeng-topeng kehidupan yang membuat orang lain respek dan
hormat, seperti pangkat, jabatan, kebangsawanan, kesarjanaan, dan kekayaan,
semuanya berguguran. Tinggallah seorang diri (nafsi-nafsi) sebagai manusia daif
tanpa daya di hadapan Allah Rabb al-Qadhi.
Selanjutnya bermalam di Muzdalifah sambil memungut batu-batu kecil
untuk persiapan keesokan harinya untuk melempar jumrah. Setelah itu dilanjutkan
dengan tawaf dan sai di Masjidilharam. Ini semua melambangkan rangkaian suluk
dan sair (perjalanan spiritual menuju Tuhan).
Kalangan ahli hakikat bukan hanya bertawajuh dengan Kabah, tetapi
juga Sang Penghuni Kabah. Bagaimana tidak menangis di dalam salat dan di setiap
arena haji karena ia begitu terharu menghadapkan berbagai lapis dirinya
melakukan penyembahan, sebagaimana dilafazkan di dalam Surah Alfatihah: Iyyaka
na'budu wa iyyaka nasta'in. Sang Pemilik dan Penghuni Kabah tampil sebagai
pihak kedua (mukhathab), tidak lagi tampil sebagai pihak ketiga.
Ayat itu tidak mengatakan: Iyyahu na'budu wa iyyahu nasta'in
(Hanya Dia yang kami sembah dan hanya Dia tempat kami mohon pertolongan). Dalam
suasana tawajuh seperti ini sang hamba melakukan penyembahan (ta'abbud) dan
Tuhan memberikan pertolongan (istianah).
Saat hamba melakukan ta'abbud, saat itu hamba mendaki (taraqqi).
Ketika hamba melakukan taraqqi, pada saat bersamaan Tuhan turun (tanazul) untuk
menjumpai hamba-Nya. "Siapa mendekati-Ku sejengkal, maka Aku akan
mendekatinya sesiku. Siapa yang mendekatiku sesiku, maka aku akan mendekatinya
sedepah. Barangsiapa mendekatiku berjalan maka Aku akan mendekatinya
berlari," dan seterusnya. Demikian firman Allah dalam hadis qudsi yang
sangat populer di lingkungan para pengamal tarekat dan praktisi tasawuf. []
MEDIA INDONESIA, 30 Juli 2018
Nasaruddin Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar