Pesan Moral Ibadah Kurban
Menurut Kiai Ali Mustafa Yaqub
Salah satu ibadah yang dilaksanakan ketika
hari raya Idul Adha adalah ibadah kurban. Sebagian umat Islam mampu
melaksanakannya, sebagian lagi menunggu tahun-tahun selanjutnya dan tetap
berdoa supaya diberi rezeki serta ridha dari Allah ﷻ.
Menyembelih hewan kurban tentunya bukan
sekadar penyembelihan hewan-hewan tertentu, kemudian disantap dan selesai
begitu saja. Ibadah ini memiliki pesan-pesan moral yang mesti kita teladani dan
lakoni dalam kehidupan kita sebagai hamba Allah ﷻ.
Alm. Kiai Ali Mustafa Yaqub membeberkan
beberapa pesan moral dalam ibadah kurban. Pesan tersebut dapat kita temui dalam
tulisan beliau berjudul Idul Adha: Membunuh Kepentingan Pribadi yang terhimpun
dalam buku Haji Pengabdi Setan. Melihat sekilas judulnya, kita dapat
menangkap penjelasan beliau terkait pengorbanan atas kepentingan diri sendiri
karena ada suatu kepentingan lain.
Dalam Al-Qur`an Allah ﷻ berfirman di Surat
al-Hajj ayat 37:
لَنْ
يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ
مِنْكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا
هَدَاكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
“Daging-daging unta dan darahnya itu
sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari
kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk
kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan
berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Hajj: 37)
Rais Syuriyah PBNU periode 2010-2015 itu
mengajak kita untuk merenungi ayat di atas, yang mana ibadah kurban adalah
simbol ketakwaan dan keloyalitasan seorang hamba kepada Allah ﷻ.
Ibadah kurban awal kali dilaksanakan dalam
peristiwa Qabil dan Habil, dua putra Nabi Adam AS. Namun ibadah yang dijadikan
syariat Islam ini lebih merupakan pelestarian ajaran yang pernah dilakukan Nabi
Ibrahim dan Nabi Ismail.
Tatkala Nabi Ibrahim adalah seorang yang
sudah berusia hampir satu abad namun belum dikaruniai anak,begitu dikaruniai
anak yaitu Nabi Ismail beliau diperintah untuk menyembelihnya, bukankah sangat
tidak masuk akal jika dipikirkan.
Apabila kita terlalu mendewakan akal,
peristiwa ini tentunya tidak masuk akal. Maka dari itu dalam agama Islam ada
suatu prinsip bahwa tidak semua perintah-perintah Allah dapat ditangkap secara
rasional. Demikian karena ibadah terdiri dari dua kategori, ta’aqquli (dapat
dipahami makusdnya oleh akal) dan ta’abbudi (simbol loyalitas semata).
Di sana Kiai Ali Mustafa mendeskripsikan
ibadah yang bersifat ta’aqquli umumnya mempunyai dimensi sosial
horizontal, yaitu aturan yang berkaitan dengan sesama manusia. Adapun kedua, ta’abbudi
umumnya memiliki dimensi vertikal, yaitu aturan yang berhubungan dengan
Allah ﷻ.
Begitu pula dengan ibadah kurban yang
berkaitan dengan peristiwa penyembelihan Nabi Ismail oleh Nabi Ibrahim. Selain
termasuk kategori yang memiliki dimensi vertikal, bukan berarti ia tidak
memiliki hubungan secara horizontal.
Dalam peristiwan Nabi Ibrahim, kita dapat
melihat keloyalitasan seorang hamba terhadap Tuhannya. Memang terasa janggal
jika dilihat sekilas, dimana Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail merupakan dua manusia
pilihan Allah ﷻ,
diangkat menjadi nabi, namun masih perlu diuji keloyalitasannya oleh Allah ﷻ. Namun perlu kita pahami bahwa salah satu tugas nabi-nabi yang
diutus oleh Allah ﷻ adalah memberi suri
tauladan kepada umatnya, salah satunya adalah bagaimana manusia untuk taat
kepada Tuhannya dan sabar terhadap ketentuan yang sudah ditakdirkan oleh-Nya.
Ibadah kurban juga menjadi simbol ketauhidan.
Pada masa Jahiliyyah orang-orang musyrik cenderung menghormati bahkan
mengkultuskan hewan-hewan tertentu. Kita dapat menemukan kebiasaan buruk
tersebut dalam Al-Qur’an Surat al-Maidah ayat 103:
مَا
جَعَلَ اللَّهُ مِنْ بَحِيرَةٍ وَلَا سَائِبَةٍ وَلَا وَصِيلَةٍ وَلَا حَامٍ ۙ
وَلَٰكِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۖ
وَأَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
“Allah sekali-kali tidak pernah
mensyari'atkan adanya bahîrah, sâibah, washîlah dan hâm. Akan tetapi
orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka
tidak mengerti.” (QS. Al-Maidah 103)
Menurut manusia pada zaman Jahiliyyah,
nama-nama hewan dalam ayat tersebut tidak boleh diganggu, disembelih, apalagi
dimakan dagingnya. Dalam rangka menghapus tradisi ini, Allah memerintahkan umat
Islam untuk menyembelih hewan-hwan pilihan dan menyuruh untuk memakan daginya.
Dengan adanya ibadah kurban, sirnalah tradisi Jahiliyyah di atas.
Selain simbol keloyalitasan dan ketauhidan,
Kiai Ali juga menjelaskan bahwa anak dan istri merupakan ‘hiasan kehidupan
dunia’ yang mana Allah tegaskan dalam Al-Qur’an:
الْمَالُ
وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ
خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan
kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik
pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS.
Al-Kahfi 46)
Juga dalam Surat al-Anfal ayat 28 Allah
menegaskan:
وَاعْلَمُوا
أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ
عَظِيمٌ
“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan
anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah
pahala yang besar.” (QS al-Anfal 46)
Dari peristiwa Nabi Ibrahim kita dapat
menyimpulkan bahwa beliau telah berhasil mendahulukan kepentingan Allah ﷻ dibanding dirinya
sendiri. Sehingga wajar jika peristiwa tersebut dijadikan syari’at Islam, yaitu
agar umat Islam dapat menangkap pesan moral dan hikmah di balik ibadah kurban.
Ketika penyembelihan hewan kurban,
orang-orang di sekelilingnya dianjurkan untuk bertakbir. Dalam takbir ada makna
yang tersirat, Kiai Ali memberi makna Allahu Akbar bukan sebagai ucapan
semata, melainkan adalah mengagungkan Allah dengan mendahulukan
perintah-perintahNya, mengagungkan Allah dan memperhatikan rumahNya atas rumah
kita sendiri.
Kiai Ali Mustafa mengajak kita untuk
merenungi, apakah kita selama ini sudah bertakbir? Mengagungkan namaNya?
Memakmurkan rumahNya dengan shalat berjamaah di dalamnya? Atau selama ini
takbir kita hanya sebuah ucapan formalitas yang sering dikumandangkan dalam
acara rutinitas saja.
Di bagian terakhir, Kiai Ali mengajak pembaca
untuk menangkap makna yang dalam dari ibadah kurban sebagaimana di atas, jangan
sampai hari raya Idul Adha dijadikan rutinitas setahun sekali saja. Hendaknya
kita meneladani Nabi Ibrahim yang mampu mendahulukan kepentingan Allah dari
kepentingan pribadi.
Bila pesan-pesan moral itu tidak dapat
diserap, khawatir selama ini kita hanya mengumandangkan kalimat takbir, shalat
berjamaah Idul Adha di masjid hingga membludak, namun dalam keseharian kita tak
dapat mengimplementasikannya.
Namun sebaliknya, jika makna kurban, takbir,
serta Idul Adha dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka kita
dapat merasakan ketakwaan kepadaNya bukan hanya di masjid saja, namun juga di
rumah-rumah, kantor kerja, tempat-tempat umum dan lain-lain. []
(Amien Nurhakim, mahasantri
Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences. Disarikan dari
tulisan Alm. Prof. KH Ali Mustafa Yaqub "Idul Adha: Membunuh Kepentingan
Pribadi" dalam buku "Haji Pengabdi Setan" , Jakarta,
Pustaka Firdaus, 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar