Sultan Hamengku
Buwono IX dan Hubbul Wathan Minal Imannya
Dat de taak die op
mij rust, moeilijk en zwaar is, daar ben ik mij tenvolle van bewust, vooral
waar het hier gaat de Westerse en de Oosterse geest tot elkaar te brengen, deze
beide tot een harmonische samenwerking te doen overgaan zonder de laatste haar
karakter doen verliezen. Al heb ik een uitgesproken Westerse opvoeding gehad,
toch ben en blijf ik in de allereerste plaats Javaan. Zo zal de adat, zo deze
niet remmend werkt op de ontwikkeling, een voorname plaats blijven innemen in
de traditierijke Keraton. Moge ik eindigen met de belofte dat ik de belangen
van Land en Volk zal behartigen naar mijn beste weten en kunnen.”
“Sepenuhnya saya
menyadari bahwa tugas yang ada di pundak saya adalah sulit dan berat,
terlebih-lebih karena ini menyangkut mempertemukan jiwa Barat dan Timur agar
dapat bekerjasama dalam suasana harmonis, tanpa yang Timur harus kehilangan
kepribadiannya. Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya,
namun pertama-tama saya adalah dan tetap adalah orang Jawa. Maka selama tak
menghambat kemajuan, adat akan tetap menduduki tempat yang utama dalam Keraton
yang kaya akan tradisi ini. Izinkanlah saya mengakhiri pidato saya ini dengan
berjanji, semoga saya dapat bekerja untuk memenuhi kepentingan Nusa dan Bangsa,
sebatas pengetahuan dan kemampuan yang ada pada saya.” (Api Republik: Novel
Biografi Hamengku Buwono IX, Haidar Musyafa, Penerbit Imania, 2017, hal
412-413)
Kutipan pidato
Hamengkubuwana IX di atas membuat semua orang yang hadir dalam acara Jumenengan
Dalem berdecak kagum. Sungguh berani, antiminder dan progresif. Banyak yang
tidak menyangka, lebih-lebih para pejabat Governemen yang ikut hadir
dalam acara penobatan itu.
Mereka yang semula
menganggap Dorodjatun sebagai lelaki muda yang sangat lugu dan polos sehingga
mudah diatur-atur ternyata mengawali pemerintahannya dengan kata-kata yang
menggambarkan sifatnya yang serius dan teguh dalam berpendirian. Pidatonya
mencerminkan sikap Sultan yang tetap akan memegang budaya jawa, juga sebagai
pribumi dan akan membaktikan dirinya demi kepentingan Nusa dan bangsa. Jowo
digowo, Barat diruwat!
Hamengku Buwono IX
adalah satu di antara sekian banyak anak bangsa yang memiliki peran besar dalam
membangun republik ini. Hampir seluruh babak hidupnya didarmabaktikan untuk
berjuang dan membangun negeri ini. Semua kiprahnya sejak awal ditabalkan
menjadi Sultan Yogyakarta adalah teladan seorang penguasa yang sangat mencintai
tanah air, negeri tercintanya. Hubbul wathan minal iman mendarah daging
dalam sosoknya.
Hubbul wathan minal
iman
dalam tataran praksis ejawantah, bukan di maqam slogan dan citra. Sejak
republik ini lahir, ia adalah satu di antara pejuang yang menghibahkan seluruh
waktu, tenaga, dan pikirannya untuk kepentingan bangsa Indonesia. Bahkan, ia
tak segan-segan mengorbankan harta pribadinya untuk menyokong perjuangan rakyat
di masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Pada 17 Agustus 1945,
tersiar berita mengenai Proklamasi kemerdekaan Indonesia dari siaran kantor
berita Domei dari Jakarta. Siaran ini kemudian dimaklumatkan melalui
khotbah Jumat di Masjid alun-alun Utara dan Masjid Paku Alaman. Jika pada
sorenya Ki Hajar Dewantara berkeliling kota dengan sepedanya untuk mengabarkan
berita kemerdekaan kepada masyarakat.
Esok harinya Sultan
Hamengku Buwono IX menyatakan dukungan sepenuhnya terhadap proklamasi
kemerdekaan Indonesia di Jakarta mengirimkan telegram pada 18 Agustus 1945
kepada Soekarno-Hatta dan kepada KRT Rajiman Wedidiningrat (mantan ketua
BPUPKI) berisi ucapan selamat atas terbangunnya Negara Republik Indonesia dan
terpilihnya kedua pemimpin tersebut sebagai Presiden dan wakil Presiden.
Selanjutnya, pada
tanggal 19 Agustus 1945 di bangsal kepatihan sultan mengumpulkan
pemimpin-pemimpin kelompok muda. Mereka antara lain dari golongan agama,
nasionalis, kepanduan dan keturunan cina yang jumlahnya mencapai 100 orang.
Pada pertemuan itu Sultan berpidato:
“Kita telah
beratus-ratus tahun dijajah bangsa lain. Maka selama itu perasaan kita tertekan
dan sekarang kita merdeka. Tentu persaaan yang lepas dari tekanan akan
melonjak. Melonjaknya ini yang harus kita jaga. Biarlah melonjak
setinggi-tingginya, sepuas-puasnya akan tetapi jangan sampai menyerempet yang
tidak perlu, yang bisa menimbulkan kerugian. Menurut sejarah, dimana terjadi
perubahan besar dan mendadak seperti yang terjadi di tanah air kita
sekarang pemuda senantiasa memegang peranan. Oleh karena itu saudara-saudara
saya minta menjaga keamanan masyarakat. baik di kampung-kampung, di
perusahaan-perusahaan, di toko-toko dan lain-lain jangan sampai terjadi
kerusauhan, kalau terjadi sesuatu laporkan kepada saya. dan bertindak sebagai
wakil saya dalam hubungannya dengan saudara-saudara adalah Pangeran
Bintara."
Pada 20 Agustus 1945,
Sultan Hamengku Buwono IX untuk kedua kalinya mengirim telegram kepada presiden
dan wakil presiden. Isi telegram tersebut secara tegas menyatakan, “sanggup
berdiri di belakang pimpinan Paduka Yang Mulia”.
Pasca kemerdekaan
Indonesia, belanda tidak tinggal diam. Dengan menumpang tentara Sekutu yang
dipimpin oleh tentara Inggris. mereka akan mengumpulakan bekas interniran dan
tahanan tentara jepang di Jakarta. Tentara Belanda bersikukuh tetap ingin
mengembalikan Indonesia sebelum tanggal 8 maret 1942.
Dapat kita bayangkan
keadaan Jakarta waktu itu sangat genting. Para pemimpin negara khawatir akan
ditangkap, ditahan dan diasingkan. Sehingga perlu agara para pemimpin republik
menyelematkan diri dan memindahkan ibu kota negara. Melihat kenyataan itu Sri
Sultan Hamengku Buwono IX tidak tinggal diam. Dengan segara sultan menawarkan
Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan republik sementara.
Gayung pun bersambut
pada sidang kabinet memutuskan bahwa pusat pemerintahan di pindahkan ke
Yogyakarta. Sehingga Yogyakarta menjadi ibu kota sementara Republik Indonesia.
Presiden dan wakil menteri dan para pemimpin kementerian pindah ke Yogyakarta.
Agar roda pemerintahan republik tetap berjalan, Sultan Hamengku Buwono IX menyediakan
fasilitas berupa gedung, keamanan dan lain sebagainya. Sultan berusaha menjadi
“tuan rumah yang baik”.
Saat Belanda
melancarkan Agresi Militer Belanda, Sultan Hamengku Buwono IX tidak tinggal
diam demi upaya menunjukkan kepada dunia Internasional bahwa Indonesia masih
eksis. Pada bulan Feburuari 1949, dengan bantuan kurir, Sultan menghubungi
Panglima Besar Sudirman untuk meminta persetujuannya melaksanakan siasat dan
langsung menghubungi komandan gerilya, Letnan Kolonel Suharto, dengan segala
perencanaannya untuk melancarkan serangan umum membebaskan Yogyakarta. Dalam
tempo enam jam Yogyakarta bisa dikuasai.
Keberhasilan ini
disiarkan melalui radio dan diteruskan ke Bukittinggi untuk kemudian diteruskan
ke India dan ke Dewan PBB. Serangan ini berhasil mematahakn klaim Kerajaan
Belanda yang menganggap bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada. Serangan umum
1 maret menunjukkan bawa TNI masih hidup dan NKRI masih tegak berdiri.
Belanda harus
menerima resolusi dewan keamanan PBB tanggal 28 januari 1949 melalui
perundingan Roem Royen. Sultan Hamengku Buwono IX bersama Panglima Besar
Jenderal Sudirman adalah aktor intelektual, sang perancang strategi suksesnya
Serangan Umum 1 Maret ini.
Pada saat revolusi
mempertahankan kemerdekaan Indonesia keadaan ekonomi dan sosial bangsa
Indonesia sangat memprihatinkan. Kekeringan dan kelangkaan pangan menerpa
Yogyakarta. Harga pangan membumbung tinggi. Kelaparan di mana-mana. Sementara
itu uang negara tiris.
Untuk menjamin agar
roda pemerintahan tetap berjalan, Sultan Hamengku Buwono IX menyumbangkan
kekayaannya untuk membiayaai pemerintahan dan kebutuhan hidup para pegawai
pemerintah dan para pemimpin. Sekitar Enam Juta Gulden (± 6 miliar)
disumbangkan oleh Sultan untuk membiayaai pemerintahan dan kebutuhan rakyat.
Selain itu sumbangsih
sultan tersebut juga digunakan untuk membiayai pasukan geriliya. Bahkan
sultan membiarkan Rakyat mendirikan rumah di dalam tembok keraton agar
terlindung dari serangan Belanda. Semuanya tanpa timbal balik, tanpa pamrih.
Sultan Republiken
bergelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku
Buwono Senapati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalipatullah Ingkang
Jumeneng Kaping Sanga adalah sosok pemimpin berjiwa profetik, menjalankan
amanah kepemimimpinan bukan hanya dengan kecanggihan logika berpikir dan sikap
profesional, tetapi atas petunjuk Tuhan Yang Maha Esa dan mbarakahi.
Hubbul wathan minal
iman
selalu menjadi pedoman dan fatsoen politiknya. Semua demi bangsa dan negara.
Oleh karena itu, bagi sesiapa saja yang ‘menggugat-gugat’ Hubbul Wathan
Minal Iman, cinta tanah air itu tidak ada dalilnya, tidak ada dasarnya,
cukuplah Ngarso Dalem Hamengku Buwono IX sebagai cermin.
Seseorang yang
memahami Sultan Hamengku Buwono IX maka akan terkoreksi dirinya. Seorang
pejabat/pemimpin yang menyelami Sultan Hamengku Buwono IX akan merasakan
kontribusinya untuk Indonesia masih jauh dari harapan masyarakat. []
Faried Wijdan, warga
NU Depok, mengelola pabrik aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar