Rabu, 15 Agustus 2018

Sultan Hamengku Buwono IX dan Hubbul Wathan Minal Imannya


Sultan Hamengku Buwono IX dan Hubbul Wathan Minal Imannya

Dat de taak die op mij rust, moeilijk en zwaar is, daar ben ik mij tenvolle van bewust, vooral waar het hier gaat de Westerse en de Oosterse geest tot elkaar te brengen, deze beide tot een harmonische samenwerking te doen overgaan zonder de laatste haar karakter doen verliezen. Al heb ik een uitgesproken Westerse opvoeding gehad, toch ben en blijf ik in de allereerste plaats Javaan. Zo zal de adat, zo deze niet remmend werkt op de ontwikkeling, een voorname plaats blijven innemen in de traditierijke Keraton. Moge ik eindigen met de belofte dat ik de belangen van Land en Volk zal behartigen naar mijn beste weten en kunnen.”

“Sepenuhnya saya menyadari bahwa tugas yang ada di pundak saya adalah sulit dan berat, terlebih-lebih karena ini menyangkut mempertemukan jiwa Barat dan Timur agar dapat bekerjasama dalam suasana harmonis, tanpa yang Timur harus kehilangan kepribadiannya. Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap adalah orang Jawa. Maka selama tak menghambat kemajuan, adat akan tetap menduduki tempat yang utama dalam Keraton yang kaya akan tradisi ini. Izinkanlah saya mengakhiri pidato saya ini dengan berjanji, semoga saya dapat bekerja untuk memenuhi kepentingan Nusa dan Bangsa, sebatas pengetahuan dan kemampuan yang ada pada saya.” (Api Republik: Novel Biografi Hamengku Buwono IX, Haidar Musyafa, Penerbit Imania, 2017, hal 412-413)

Kutipan pidato Hamengkubuwana IX di atas membuat semua orang yang hadir dalam acara Jumenengan Dalem berdecak kagum. Sungguh berani, antiminder dan progresif. Banyak yang tidak menyangka, lebih-lebih para pejabat Governemen yang ikut hadir dalam acara penobatan itu.

Mereka yang semula menganggap Dorodjatun sebagai lelaki muda yang sangat lugu dan polos sehingga mudah diatur-atur ternyata mengawali pemerintahannya dengan kata-kata yang menggambarkan sifatnya yang serius dan teguh dalam berpendirian. Pidatonya mencerminkan sikap Sultan yang tetap akan memegang budaya jawa, juga sebagai pribumi dan akan membaktikan dirinya demi kepentingan Nusa dan bangsa. Jowo digowo, Barat diruwat!

Hamengku Buwono IX adalah satu di antara sekian banyak anak bangsa yang memiliki peran besar dalam membangun republik ini. Hampir seluruh babak hidupnya didarmabaktikan untuk berjuang dan membangun negeri ini. Semua kiprahnya sejak awal ditabalkan menjadi Sultan Yogyakarta adalah teladan seorang penguasa yang sangat mencintai tanah air, negeri tercintanya. Hubbul wathan minal iman mendarah daging dalam sosoknya.

Hubbul wathan minal iman dalam tataran praksis ejawantah, bukan di maqam slogan dan citra. Sejak republik ini lahir, ia adalah satu di antara pejuang yang menghibahkan seluruh waktu, tenaga, dan pikirannya untuk kepentingan bangsa Indonesia. Bahkan, ia tak segan-segan mengorbankan harta pribadinya untuk menyokong perjuangan rakyat di masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Pada 17 Agustus 1945, tersiar berita mengenai Proklamasi kemerdekaan Indonesia dari siaran kantor berita Domei dari Jakarta. Siaran ini kemudian dimaklumatkan melalui khotbah Jumat di Masjid alun-alun Utara dan Masjid Paku Alaman. Jika pada sorenya Ki Hajar Dewantara berkeliling kota dengan sepedanya untuk mengabarkan berita kemerdekaan kepada masyarakat.

Esok harinya Sultan Hamengku Buwono IX menyatakan dukungan sepenuhnya terhadap proklamasi kemerdekaan Indonesia di Jakarta mengirimkan telegram pada 18 Agustus 1945 kepada Soekarno-Hatta dan kepada KRT Rajiman Wedidiningrat (mantan ketua BPUPKI) berisi ucapan selamat atas terbangunnya Negara Republik Indonesia dan terpilihnya kedua pemimpin tersebut sebagai Presiden dan wakil Presiden.

Selanjutnya, pada tanggal 19 Agustus 1945 di bangsal kepatihan sultan mengumpulkan pemimpin-pemimpin kelompok muda. Mereka antara lain dari golongan agama, nasionalis, kepanduan dan keturunan cina yang jumlahnya mencapai 100 orang. Pada pertemuan itu Sultan berpidato:

“Kita telah beratus-ratus tahun dijajah bangsa lain. Maka selama itu perasaan kita tertekan dan sekarang kita merdeka. Tentu persaaan yang lepas dari tekanan akan melonjak. Melonjaknya ini yang harus kita jaga. Biarlah melonjak setinggi-tingginya, sepuas-puasnya akan tetapi jangan sampai menyerempet yang tidak perlu, yang bisa menimbulkan kerugian. Menurut sejarah, dimana terjadi perubahan besar  dan mendadak seperti yang terjadi di tanah air kita sekarang pemuda senantiasa memegang peranan. Oleh karena itu saudara-saudara saya minta menjaga keamanan masyarakat. baik di kampung-kampung, di perusahaan-perusahaan, di toko-toko dan lain-lain jangan sampai terjadi kerusauhan, kalau terjadi sesuatu laporkan kepada saya. dan bertindak sebagai wakil saya dalam hubungannya dengan saudara-saudara adalah Pangeran Bintara."

Pada 20 Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX untuk kedua kalinya mengirim telegram kepada presiden dan wakil presiden. Isi telegram tersebut secara tegas menyatakan, “sanggup berdiri di belakang pimpinan Paduka Yang Mulia”.

Pasca kemerdekaan Indonesia, belanda tidak tinggal diam. Dengan menumpang tentara Sekutu yang dipimpin oleh tentara Inggris. mereka akan mengumpulakan bekas interniran dan tahanan tentara jepang di Jakarta. Tentara Belanda bersikukuh tetap ingin mengembalikan Indonesia sebelum tanggal 8 maret 1942.

Dapat kita bayangkan keadaan Jakarta waktu itu sangat genting. Para pemimpin negara khawatir akan ditangkap, ditahan dan diasingkan. Sehingga perlu agara para pemimpin republik menyelematkan diri dan memindahkan ibu kota negara. Melihat kenyataan itu Sri Sultan Hamengku Buwono IX tidak tinggal diam. Dengan segara sultan menawarkan Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan republik sementara.

Gayung pun bersambut pada sidang kabinet memutuskan bahwa pusat pemerintahan di pindahkan ke Yogyakarta. Sehingga Yogyakarta menjadi ibu kota sementara Republik Indonesia. Presiden dan wakil menteri dan para pemimpin kementerian pindah ke Yogyakarta. Agar roda pemerintahan republik tetap berjalan, Sultan Hamengku Buwono IX menyediakan fasilitas berupa gedung, keamanan dan lain sebagainya. Sultan berusaha menjadi “tuan rumah yang baik”.

Saat Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda, Sultan Hamengku Buwono IX tidak tinggal diam demi upaya menunjukkan kepada dunia Internasional bahwa Indonesia masih eksis. Pada bulan Feburuari 1949, dengan bantuan kurir, Sultan menghubungi Panglima Besar Sudirman untuk meminta persetujuannya melaksanakan siasat dan langsung menghubungi komandan gerilya, Letnan Kolonel Suharto, dengan segala perencanaannya untuk melancarkan serangan umum membebaskan Yogyakarta. Dalam tempo enam jam Yogyakarta bisa dikuasai.

Keberhasilan ini disiarkan melalui radio dan diteruskan ke Bukittinggi untuk kemudian diteruskan ke India dan ke Dewan PBB. Serangan ini berhasil mematahakn klaim Kerajaan Belanda yang menganggap bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada. Serangan umum 1 maret menunjukkan bawa TNI masih hidup dan NKRI masih tegak berdiri.

Belanda harus menerima resolusi dewan keamanan PBB tanggal 28 januari 1949 melalui perundingan Roem Royen. Sultan Hamengku Buwono IX bersama Panglima Besar Jenderal Sudirman adalah aktor intelektual, sang perancang strategi suksesnya Serangan Umum 1 Maret ini.

Pada saat revolusi mempertahankan kemerdekaan Indonesia keadaan ekonomi dan sosial bangsa Indonesia sangat memprihatinkan. Kekeringan dan kelangkaan pangan menerpa Yogyakarta. Harga pangan membumbung tinggi. Kelaparan di mana-mana. Sementara itu uang negara tiris.

Untuk menjamin agar roda pemerintahan tetap berjalan, Sultan Hamengku Buwono IX menyumbangkan kekayaannya untuk membiayaai pemerintahan dan kebutuhan hidup para pegawai pemerintah dan para pemimpin. Sekitar Enam Juta Gulden (± 6 miliar) disumbangkan oleh Sultan untuk membiayaai pemerintahan dan kebutuhan rakyat.

Selain itu sumbangsih sultan tersebut juga digunakan untuk membiayai pasukan geriliya.  Bahkan sultan membiarkan Rakyat mendirikan rumah di dalam tembok keraton agar terlindung dari serangan Belanda. Semuanya tanpa timbal balik, tanpa pamrih.

Sultan Republiken bergelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalipatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sanga adalah sosok pemimpin berjiwa profetik, menjalankan amanah kepemimimpinan bukan hanya dengan kecanggihan logika berpikir dan sikap profesional, tetapi atas petunjuk Tuhan Yang Maha Esa dan mbarakahi.

Hubbul wathan minal iman selalu menjadi pedoman dan fatsoen politiknya. Semua demi bangsa dan negara. Oleh karena itu, bagi sesiapa saja yang ‘menggugat-gugat’ Hubbul Wathan Minal Iman, cinta tanah air itu tidak ada dalilnya, tidak ada dasarnya, cukuplah Ngarso Dalem Hamengku Buwono IX sebagai cermin.

Seseorang yang memahami Sultan Hamengku Buwono IX maka akan terkoreksi dirinya. Seorang pejabat/pemimpin yang menyelami Sultan Hamengku Buwono IX akan merasakan kontribusinya untuk Indonesia masih jauh dari harapan masyarakat. []

Faried Wijdan, warga NU Depok, mengelola pabrik aksara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar