Mengenal Konsep ‘Hilah’,
Menyiasati Hukum Fiqih
Pada tulisan yang lalu, penulis mengupas soal
akad tawarruq dalam praktik jual beli konvensional. Sebenarnya penulis terikat
dengan janji untuk mengupas praktik tawarruq ini dalam perbankan syari’ah.
Namun, sebelum masuk ke pembahasan mengenai hal tersebut, tampaknya penulis
terlebih dahulu harus mengupas konsep hiyal (bentuk plural dari hîlah;
siasat, 'rekayasa') menurut pandangan fiqih. Mengapa?
Ada sebuah kaidah tentang hiyal dan terkenal
di di kalangan ushuliyyin fiqih transaksi, yaitu:
كل
حيلة يتوصل بها إلى إبطال حق أو إحقاق باطل هي حرام
“Setiap strategi hukum yang menghilangkan
yang benar dan menguatkan yang salah/bathil, maka hukumnya adalah haram.”
Kaidah ini merupakan hasil pengembangan dari
kaidah yang menyatakan bahwa segala washilah yang menuju pada terlaksananya
perkara yang diharamkan, maka hukum washilah tersebut adalah haram juga.
Sebuah ilustrasi kasus, misalnya adalah jual
beli barang najis hukumnya adalah haram. Sebagaimana hal ini pernah disinggung
oleh Syeikh Ibrahim al Bajury dalam kitab Hasyiyah al Bajury: 1/352.
Beliau mengatakan:
قوله
ولا يصح بيع عين نجسة اى سواء كان امكن تطهيرها بالاستحالة كالخمر وجلد الميتة ام
لا كالسرجين او كلب
“Tidak sah jual beli barang najis meskipun
ada kemungkinan barang tersebut berubah menjadi suci karena adanya perubahan
wujud ‘ain, misalnya khamr dan kulit bangkai, atau memang sama sekali tidak
bisa berubah menjadi wujud lain, seperti pupuk (dari kotoran) atau anjing.”
Sebagaimana umum berlaku di masyarakat bahwa
jual beli kotoran adalah tidak diperuntukkan untuk dikonsumsi. Masyarakat sudah
mafhum dalam mengetahui manfaat kotoran tersebut adalah dipergunakan untuk
kemaslahatan tanaman mereka. Bahkan, berlaku di beberapa daerah yang tanahnya
sudah lama dikelola dan dibudidayakan, tanahnya harus setiap tahunnya diberikan
kotoran hewan sebagai pupuk dan mengembalikan kesuburan tanah kembali. Untuk
itu, manfaat dari kotoran hewan menjadi sebuah kebutuhan yang berujung pada
kemaslahatan. Namun, kendalanya dalam hukum fiqih, jual beli kotoran (benda
najis) hukumnya adalah haram. Dengan demikian, bolehkah mengatur siasat (hiyal)
dalam fiqih tersebut sehingga petani tetap bisa memanfaatkan fungsi kotoran
sebagai penyubur tanah namun terhindar dari keharaman jual beli benda najis?
Inilah yang menjadi persoalan.
Para ulama dari kalangan madzhab Hanbali
menyatakan hukumnya tidak boleh adanya hiyal. Karena bagaimanapun juga hukum
asal adalah panduan justifikasi fiqih yang harus tetap dijaga. Larangan untuk
melakukan hiyal adalah sama dengan upaya saddu al-dzari’ah (menutup
keburukan), karena kalangan fuqaha’ menetapkan kaidah saddu al-dzari’ah ini
adalah dalam rangka menutup segala cara untuk mencapai hasil akhir yang
diharamkan. Sementara hiyal merupakan tindakan yang dapat membuka cara-cara
mendapatkan perkara yang diharamkan tersebut menjadi diperbolehkan. Pendapat
semacam ini banyak diikuti oleh kalangan ulama dari madzhab Hanbali. Makanya
kemudian berlaku kaidah fiqhiyah di kalangan madzhab ini bahwa:
الذرائع
إلى الحرام تسد
“Segala proses yang menuju pada pembolehan
perkara haram adalah harus dicegah.”
Bagaimana dengan pandangan fiqih dari
kalangan Syafi’iyah? Dalam fiqih Syafi’iyah dikenal adanya kaidah mashlahatul
mursalah. Kaidah ini adalah berangkat dari spirit sebuah QS Thaha: 1-3:
طه،
مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى، إِلا تَذْكِرَةً لِمَنْ يَخْشَى
“Thâhâ. Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini
kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah; melainkan sebagai peringatan
bagi orang yang takut (kepada Allah)”
Imam at-Thabary dalam kitab tafsirnya
menjelaskan tentang ta’wil ayat ini sebagai berikut:
يا
رجل ما أنـزلنا عليك القرآن لتشقى، ما أنـزلناه عليك فنكلفك ما لا طاقة لك به من
العمل
“Wahai laki-laki, Kami tidak menurunkan
Al-Qur’an ini untuk tujuan menyudutkanmu dalam masyaqqah (kesulitan). Tiada ia
Kami turunkan kepadamu sehingga Kami bebani kamu dengan sesuatu yang tiada
mampu kamu tanggung dalam beramal.”
Berangkat dari spirit bahwa Al-Qur’an sebagai
induk hukum utama, diturunkan oleh Allah SWT tidak dalam rangka menyulitkan
manusia inilah kemudian para fuqaha’ kalangan Syafi’iyah ini menangkap semangat
maslahatu mursalah ini yang berisikan bahwa tujuan utama risalah kenabian
adalah kemaslahatan bagi umat manusia. Selanjutnya, apa hubungannya dengan hiyal
muamalah jual beli kotoran sebagaimana kasus di atas?
Jual beli pada hakikatnya adalah yang
disepakati sebagai yang dihalalkan dalam syari’at. Salah satu syarat barang
yang menjadi objek jual beli (al-ma’qud ‘alaih) adalah bahwa barang
tersebut harus memiliki nilai manfaat bagi pembeli, memiliki kemaslahatan, dan
bukan terdiri dari benda najis. Karena ‘ain kotoran adalah merupakan benda
najis, maka diperlukan cara lain. Cara lain ini merupakan hiyal.
Suatu misal ada seorang tuan rumah yang
rumahnya penuh dengan kotoran kelelawar. Bolehkah si tuan rumah tadi menyuruh
orang lain yang bukan pembantunya untuk membersihkan dan mengeluarkan kotoran
tersebut dari rumah? Tentu saja, jawabnya adalah boleh. Kalau begitu akadnya
termasuk akad apa? Dan uang yang diberikan kepada orang yang membersihkan
tersebut disebut uang apa? Pasti jawabnya adalah bahwa akad tersebut adalah
akad ijarah (gaji menggaji). Uang yang diberikan adalah berupa gaji (ujrah).
Bagaimana misalnya tempat pembuangan kotoran tadi berada di tanah orang lain
yang dengan senang hati menerima tempatnya sebagai tempat pembuangan kotoran?
Bahkan akan sangat bersyukur bila tempatnya dijadikan pembuangan kotoran.
Konsep pemindahan tempat pembuangan dari
tempatnya si tuan rumah ke tempat orang yang dengan suka rela dan senang hati
tanahnya dipakai sebagai tempat akhir pembuangan ini adalah masyhur disebut
sebagai konsep naqlu al-yad (pengalihan kuasa). Kuasa atas apa? Tentu kuasa
atas barang najis tersebut. Konsep ini dipandang boleh di kalangan madzhab Syafi’i.
Sebagaimana hal ini dikutip oleh Syeikh Ibrahim al Bajury dalam kitab beliau Hasyiyah
al Bajury: 1/356:
و
يجوز نقل اليد عن النجس بالدراهم كما في النزول عن الوظائف و طريقه ان يقول
المستحق له اسقطت حقي من هذا بكذا فيقول الاخر قبلت
“Boleh melakukan pemindah kuasa (naqlu
al-yad) atas barang najis dengan upah dirham sebagaimana hal ini sering
terjadi dalam beberapa pekerjaan yang caranya dilakukan dengan jalan si pemilik
(tuan rumah) berkata kepada orang yang siap menanggung: ‘Aku terbebas dari
hakku atas benda ini lho ya dengan upah sebesar ini!? Kemudian orang lain yang
menerima tanggungan tersebut menjawab: ‘Oke’.”
Adakah yang bertentangan dengan syari’at
bentuk proses hiyal seperti di atas khususnya terkait dengan pemindahan barang
najis? Jawabnya adalah tidak. Mengapa? Karena akadnya bukan lagi jual beli,
melainkan akadnya adalah ijarah dan pengalihan tanggungan (dlamman) atas suatu
‘ain al-najasah (benda najis).
Bagaimana bila hiyal semacam diberlakukan
pada akad transaksi ribawi? Misalnya pertukaran jagung antara kedua belah pihak
namun pihak yang satu memiliki jagung dengan kualitas yang baik sementara yang
satu lagi memiliki jagung dengan kualitas yang jelek. Bolehkah langsung menukar
kedua jagung tersebut dengan pertimbangan yang berbeda? Misalnya, pemilik
jagung dengan kualitas baik, menerima pertukaran berupa jagung dengan kualitas
jelek, namun dengan risiko bahwa jagung dengan kualitas jelek tersebut harus ditambah
takaran timbangannya?
Jawab dari kasus di atas, adalah tentu saja
tidak boleh disebabkan adanya beda takaran dan timbangan. Perbedaan takaran dan
timbangan ini dalam kasus fiqih disebut sebagai riba al-fadl, yaitu riba yang
terjadi karena ada unsur lebih dalam takaran di salah satu pihak yang saling
melakukan akad/transaksi. Jika demikian, bolehkah misalnya salah satu pihak
menjual dulu jagung yang dimilikinya, kemudian setelah mendapat uang, ia
membeli jagung yang dikehendakinya tersebut? Jawabnya di sini adalah tentu saja
boleh. Mengapa? Karena ada unsur jual beli yang dianggap sah secara
syariatnya.
Wallahu a’lam bis shawab
[]
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri P. Bawean, Kab. Gresik, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar