‘Syarat Tambahan’ dan
Status Hukumnya dalam Fiqih Transaksi
Lagi-lagi dalam kesempatan tulisan kali ini,
pengaji menunda pembahasan terkait dengan akad tawarruq dalam dunia perbankan
syari’ah. Sebenarnya bukan maksud pengkaji untuk menghilangkan kesempatan
mengkaji bab tersebut, akan tetapi ada beberapa dasar yang harus dipahami
terlebih dahulu oleh pembaca agar permasalahan tawarruq dalam bank syari’ah
bisa diterima oleh semua pihak. Kali ini, pengkaji menghadirkan sub tema syarat
tambahan dalam kasus fiqih transaksi.
Untuk memahami tema tersebut, berikut saya
hadirkan sebuah ilustrasi permasalahan.
Ada sebuah kasus, seorang penjual mengumumkan
bahwa suatu barang yang dibeli bisa dipesan dan diantarkan ke rumah pembeli.
Dalam kasus yang lain, sebuah produsen komputer mengumumkan bahwa setiap
pembelian komputer baru kepada perusahaannya, akan ada jaminan garansi selama 2
tahun.
Tanggapan dari seorang konsumen terhadap
pengumuman itu adalah, bahwa jasa mengantarkan barang yang dibeli oleh konsumen
ke rumah adalah merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh penjual. Dan bila si
penjual tidak memenuhi syarat tersebut, pihak pembeli berhak untuk melakukan
claimed atas layanan yang diberikan oleh seller serta membatalkan akad
/transaksi.
Tanggapan konsumen terkait garansi, bahwa
bila dalam jangka waktu 2 tahun terdapat kerusakan dalam komputer yang
dibelinya, maka pihak produsen harus bertanggung jawab untuk memperbaikinya.
Syarat sebagaimana dimaksud di atas, penulis
sebut dalam kesempatan tulisan kali ini sebagai additional transaction (syarat
tambahan). Syarat tambahan ini biasanya diberikan dengan maksud “memberi
manfaat lebih” kepada salah satu pihak seller-buyer. Dan dalam lingkungan
perdagangan biasanya dikenal dengan istilah “memanjakan konsumen”.
Yang menjadi objek permasalahan adalah,
syarat tambahan yang diberikan produsen tersebut termasuk kategori akad apa
dalam syariat? Bolehkah seorang konsumen membatalkan suatu akad bilamana
produsen ternyata tidak bisa memenuhi syarat tambahan/janji kemudahan yang
ditawarkan? Untuk mengetahui jawaban dari permasalahan tersebut, terlebih
dahulu mari kita ulas soal akad dan syarat dalam fiqih transaksi.
Sebagaimana diketahui bahwa, Allah SWT telah
berfirman di dalam QS al-Maidah: 1 yang berbunyi:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah
akad-akadmu.”
Nabi Muhammad SAW juga bersabda, bahwa: المسلمون عند شروطهم, orang Islam itu harus senantiasa memperhatikan syaratnya
(janjinya). Dalam kitab Fathul Bari, Syeikh Ibnu Hajar al-Asqalani
menyebutkan bahwa hadits ini juga diriwayatkan oleh ‘Amru bin ‘Auf dengan
tambahan lafadh: إلا شرطا حرم حلالا أو أحل حراما , yang artinya, kecuali syarat mengharamkan
perkara halal atau menghalalkan perkara haram”. Walhasil, seorang muslim wajib
hukumnya memperhatikan syarat /janji yang telah ia utarakan.
Apakah “Syarat Tambahan” Bisa Mengubah Status
Hukum Akad?
Terkait dengan persoalan apakah syarat
tambahan bisa mengubah status hukum akad, maka para ulama empat madzhab berbeda
pendapat mengenai status hukumnya. Misalnya menurut pandangan ulama Madzhab
hanbali.
Menurut kalangan madzhab Hanbali, syarat
tambahan sebagaimana yang dimaksud dalam contoh di atas, dengan maksud
mengistimewakan kepada konsumen/pelanggan, adalah diperbolehkan oleh syariat
secara mutlak. Ulama Hanabilah hanya memberi catatan saja yakni kecuali “jika
syarat tambahan tersebut bertentangan dengan kaidah syar’iyah.”
Lebih lanjut, mereka memberikan ilustrasi,
misalnya bila suatu pernikahan, ada seorang calon mempelai perempuan memberi
syarat dalam akad nikah kepada calon suaminya bahwa jika telah sah menjadi
suami isteri, si suami tidak boleh memaksa kepada si istri untuk tinggal di
luar kampung kelahirannya, maka syarat semacam ini adalah dipandang sah. Atau
misalnya contoh lain, adalah sah bagi calon mempelai perempuan memberi syarat
kepada calon suami bahwa ia mau menikah dengan laki-laki tersebut, dengan
catatan ia tidak boleh menikah lagi dengan wanita lain.
Dalam kasus sebagaimana contoh ini, maka
ulama Hanabilah menetapkan bahwa jika ternyata di kemudian hari didapati suami
perempuan tersebut memaksa ia untuk tinggal di luar tanah kelahirannya, atau si
suami melakukan nikah lagi tanpa persetujuan dari istrinya, maka si isteri
berhak untuk membatalkan/memfasakh nikah. Ini merupakan konsekuensi logis dari
pendapatnya ulama Hanabilah dalam memandang syarat tambahan.
Keyakinan mereka ini didasarkan pada Dalil
yang dipergunakan oleh kalangan Hanabilah ini adalah QS al-Maidah: 1 yang mana
didalam ayat tersebut ada bentuk amar yang menunjukkan makna wajib menepati
akad. Ayat ini ditangkap mereka sebagai dalil kemutlakan syarat bisa mengubah status
akad.
Adapun pandangan kalangan Hanafiyah,
Malikiyah dan Syafi’iyah, terkait dengan status syarat tambahan bisa mengubah
status akad atau tidak, maka para ulama dari ketiga madzhab ini memiliki cara
pandang yang berbeda dari kalangan Hanabilah. Ketiga madzhab ini sama memiliki
konsepsi yang sama dalam memandang syarat. Umumnya, dalam memandang akad,
mereka membagi syarat dalam akad menjadi tiga, yaitu: ada (1) syarat sah, ada
(2) syarat-syarat tidak sah dan ada (3) syarat-syarat batal.
Seperti misalnya menurut Syekh Wahbah
al-Zuhaili dalam Al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu : 5/3317, beliau
menyatakan:
وشرائط
الإنعقاد وهي ما يشترط تحققه لاعتبار العقد منعقداً شرعاً، وإلا كان باطلاً
Yang dimaksud syarat sah adalah perkara yang
diharuskan realisasinya sehingga akad dipandang sah secara syara’, dan bila
tidak terealisasi maka batal suatu akad.
Kurang lebih maksud dari pernyataan Syekh
Wahbah Al-Zuhaily ini adalah sebagai berikut:
Pertama, syarat sah,
merupakan syarat yang bisa memperkuat akibat (sangsi hukum) dalam syariat.
Sebuah contoh misalnya penjual tidak akan menyerahkan barang sampai si pembeli
membayar harganya. Maka, dalam hal ini membayarnya pembeli merupakan sangsi
hukum yang harus terjadi agar akad jual beli bisa berlangsung.
Kedua, syarat sah
merupakan syarat yang secara eksplisit diakui oleh syariat. Misalnya, hak
menentukan diteruskannya akad atau tidak (khiyar) yang ditetapkan oleh
produsen kepada konsumen selama tiga hari. Maka dalam waktu tiga hari tersebut,
pihak konsumen boleh memutuskan pembatalan akad atau melanjutkan akadnya,
karena dalam syariat telah ditetapkan bolehnya untuk melakukan khiyar
al-syarthi dan khiyar al-ru’yah (inspeksi barang).
Ketiga, setiap syarat,
“mutlak harus adanya hubungan dengan akad.” Misalnya, saya akan antarkan barang
yang kamu beli ke rumahmu, dengan catatan jika kamu membelinya melebihi nominal
sekian-sekian. Syarat seperti ini diperbolehkan oleh syariat. Sementara itu
syarat, sepertimisalnya: Saya akan jual rumah ini kepadamu, asalkan kamu mau
menikahi anakku. Untuk syarat yang terakhir tidak dibenarkan dalam syariat
karena tidak ada hubungannya dengan akad atau bahkan memperkuat akad.
Keempat, terkadang suatu
syarat boleh ditetapkan berdasarkan ‘adat mutharid, atau adat kebiasaan
yang berlaku di masyarakat. Misalnya, pihak produsen menetapkan garansi selama
1 tahun untuk pembelian jenis alat elektronik. Garansi seperti ini
diperbolehkan, karena umumnya jual beli barang elektronik di pasaran adalah
disertai dengan garansi. Kalangan madzhab Hanafi, secara tegas malah
menyebutkan kebolehannya.
Dengan memahami rincian syarat sah di atas,
maka suatu syarat bisa dipandang menjadi tidak sah bilamana syarat tersebut
meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
transaksi.
2. Tidak ada hubungannya sama sekali antara
syarat dan akad transaksi
3. Tidak dibenarkan oleh syariat
4. Tidak diperbolehkan oleh 'adat mutharid
atau adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat
5. Memberikan keuntungan yang tidak
semestinya kepada salah satu pihak
Bila suatu syarat tambahan dipandang tidak
sah, maka seluruh akibat hukum terkait dengan transaksi menjadi tidak sah pula,
namun keberadaannya tidak mampu mengubah status akad menjadi batal. Dengan
demikian, perlu adanya syarat bisanya melakukan pembatalan akad. Bilamanakah
suatu syarat bisa membuat batalnya akad transaksi?
Syarat batalnya suatu transaksi adalah
ditentukan apabila dalam syarat tersebut terdapat hal yang secara langsung
menyalahi hukum syariat. Ketentuan ini berangkat dari kaidah:
كل
شرط يخالف أصول الشريعة باطل
Semua syarat yang menyalahi prinsip-prinsip
dasar syariat adalah batal
Berangkat dari kaidah ini, maka status
pemberian garansi dan mengantarkan suatu dagangan oleh seorang pedagang ke
rumah konsumennya, adalah bukan termasuk kategori yang menentang syariat.
Persoalannya kemudian, apakah syarat/fasilitas tambahan yang diberikan oleh
pedagang kepada konsumennya tersebut termasuk yang “diperbolehkan” oleh syara’
atau tidak?
Sebuah syarat/fasilitas tambahan adalah boleh
hukumnya diberikan oleh seorang pedagang kepada konsumennya, sebagaimana
kaidah:
الأصل
في العقود والشروط الإباحة
“Prinsip dasar dalam penetapan akad dan
syarat adalah dibolehkan.”
Apabila syarat tersebut merupakan ketetapan
yang diutarakan oleh salah satu pihak dalam proses transaksinya, atau memang
sudah diumumkan secara pribadi oleh pedagang, maka berlaku kaidah:
الأصل
في العقد رضا المتعاقدين ونتيجة ما التزاماه بالتعاقد
“Prinsip dasar dalam ketetapan akad adalah
saling ridlanya dua orang yang bertransaksi dan sangsi hukum yang keduanya
tetapkan selama bertransaksi”
Berangkat dari dua kaidah ini, maka status
hukum memberi syarat/fasilitas tambahan hukumnya adalah boleh dengan catatan
adanya saling ridla di antara kedua pihak, atau bahkan oleh salah satu pihak
yang bertransaksi (penjual).
Permasalahan selanjutnya, wajibkah pedagang
atau produsen memenuhi syarat tambahan (janji) sebagaimana ia umumkan sendiri?
Jawab dari permasalahan ini, adalah bahwa menjaga syarat (janji) harus
diupayakan sebisa mungkin oleh pihak pedagang/produsen kepada konsumennya.
Sebagaimana kaidah:
يلزم
مراعة الشرط بقدر الإمكان
Wajib hukumnya memperhatikan syarat, sebisa
mungkin/sekuat daya
Kewajiban ini tentunya berlaku bagi yang
mengucapkan syarat (pedagang dan produsen) dengan catatan bilamana kriteria
mutlak dipenuhinya janji dipenuhi oleh pembeli.
المعلق
بالشرط يجب ثبوته عند ثبوت الشرط
“Segala perkara yang berkaitan dengan syarat
maka wajib berlakunya ketika terpenuhinya kriteria syarat tersebut”
Syarat yang digantungkan dengan sejumlah
kriteria ini dikenal dalam istilah perdagangan sebagai “kriteria gantung”.
Sahnya “kriteria gantung” ini selain bila tidak menyelisihi syara’, adalah juga
bila kriteria tersebut bukan merupakan sesuatu yang mustahil. Bila ternyata hal
tersebut merupakan sesuatu yang mustahil terjadi, maka sebuah akad bisa
dihukumi batal. Namun, bila tidak mustahil, maka sebuah syarat wajib ditepati,
dan bila tidak ditepati, tetap tidak bisa mengubah sebuah akad yang telah
berlaku. Hanya saja akadnya menjadi akad yang fasid (akad rusak), karena syarat
sah akad terpenuhi, namun syarat pembatalan dengan adanya kemustahilan tidak
terpenuhi.
Dengan demikian, bila dalam jual beli
komputer sebagaimana kasus di awal-awal pembahasan, ternyata ada sebuah
kerusakan total komputer akibat jatuh misalnya, maka hukumnya masih dibenarkan
bila pihak produsen tidak menepati syarat garansinya. Karena faktor kerusakan
karena jatuh, sehingga berujung pecahnya komputer yang tidak memungkinkan untuk
diperbaiki, dan melainkan harus diganti, merupakan bagian dari kemustahilan
berlakunya “kriteria gantung” garansi tersebut.
Demikian juga, bagi pedagang, meskipun sudah
menetapkan kriteria gantung bahwa ia akan mengantarkan suatu barang kepada
konsumennya dengan syarat bila konsumen membeli barang tersebut dengan nominal
tertentu, namun karena ia berlokasi yang cukup jauh dari pedagang, maka si
pedagang tidak wajib memenuhi apa yang sudah dijanjikannya kepada konsumen.
Suatu misal, Penjual berlokasi di Surabaya, sementara pembeli berlokasi di
Jakarta. Padahal barang yang ia beli berupa beras 1 kuintal. Bagaimana menurut
pandangan anda bila anda sebagai pedagangnya?
Wallahu a’lam
[]
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar