Jumat, 26 November 2021

(Do'a of the Day) 21 Rabiul Akhir 1443H

Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Allaahumma innii as aluka min khairihii wa khairi maa huwa lahu, wa a'uudzubika min syarrihii wa syarri maa huwa lahu.

 

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu akan kebaikan pakaian ini dan kebaikan yang berkaitan dengannya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari kejahatannya dan kejahatan yang diakibatkannya.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 1, Bab 3.

(Khotbah of the Day) Soal Berlebih-lebihan dalam Beragama

KHUTBAH JUMAT

Soal Berlebih-lebihan dalam Beragama


Khutbah I

 

اَلْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ مَنْ تَوَكَّلَ عَلَيْهِ بِصِدْقِ نِيَّةٍ كَفَاهُ وَمَنْ تَوَسَّلَ إِلَيْهِ بِاتِّبَاعِ شَرِيْعَتِهِ قَرَّبَهُ وَأَدْنَاهُ وَمَنِ اسْتَنْصَرَهُ عَلَى أَعْدَائِهِ وَحَسَدَتِهِ نَصَرَهُ وَتَوَلاَّهُ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ حَافَظَ دِيْنَهُ وَجَاهَدَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ أَمَّا بَعْدُ فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ اِتَّقُوْااللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: يَٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَٰبِ لَا تَغْلُوا فِى دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى ٱللَّهِ إِلَّا ٱلْحَقَّ ۚ إِنَّمَا ٱلْمَسِيحُ عِيسَى ٱبْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ ٱللَّهِ وَكَلِمَتُهُۥٓ أَلْقَىٰهَآ إِلَىٰ مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِّنْهُ ۖ فَـَٔامِنُوا بِٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦ ۖ وَلَا تَقُولُوا ثَلَٰثَةٌ ۚ ٱنتَهُوا خَيْرًا لَّكُمْ ۚ إِنَّمَا ٱللَّهُ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۖ سُبْحَٰنَهُۥٓ أَن يَكُونَ لَهُۥ وَلَدٌ ۘ لَّهُۥ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ ۗ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ وَكِيلًا

 

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah Pada kesempatan Jumat ini, marilah kita menata hati dan niat hadir di majelis Jumat ini untuk beribadah kepada Allah SWT. Kita perlu ingat, keberadaan kita di dunia ini memiliki tugas utama yakni beribadah kepada Allah SWT sebagaimana ditegaskan dalam QS Addzariyat: 56

 

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ

 

Artinya: “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.

 

Jangan sampai hadirnya kita di majelis yang mulia ini dengan motif atau niatan lain seperti numpang istirahat, bermain handphone, atau malah ngobrol dengan orang lain saat khatib sedang menyampaikan khutbahnya. Seharusnya kita ingat pesan para bilal melalui hadits nabi saat khatib akan naik mimbar yang berbunyi:

 

إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ: (أَنْصِتْ) وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ

 

“Jika kamu berkata kepada temanmu, “diamlah” sementara imam sedang berkhutbah di hari jumat, sungguh ia telah berbuat sia-sia.” (Muttafaqun ‘alaihi)

 

Dan sebagai sebuah salah satu rukun khutbah jumat, khatib juga berwasiat kepada seluruh jamaah dan pada diri khatib sendiri untuk senantiasa meningkatkan dan menguatkan ketakwaan kita kepada Allah SWT dalam wujud menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh Allah SWT. Mudah-mudahan kita akan menjadi hambaNya yang dicintai dan mendapatkan keberkahan serta keselamatan dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Amin

 

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

 

Allah SWT berfirman dalam QS An-Nisa ayat 171:

 

يَٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَٰبِ لَا تَغْلُوا فِى دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى ٱللَّهِ إِلَّا ٱلْحَقَّ ۚ

 

Artinya: “Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar”.

 

Allah dalam firman-Nya ini mengingatkan kepada kita, dengan kata-kata “laa tahgluw”, untuk senantiasa tidak berlebih-lebihan atau melampaui batas. Berlebih-lebihan disini bukan mencakup hal yang sempit tapi mencakup pengertian yang luas termasuk tidak diperbolehkannya melampaui batas dalam beragama. Berlebihan dalam agama ini kerap disebut dengan istilah “ghuluw”.

 

Rasulullah SAW juga pernah mengingatkan para sahabat melalui haditsnya dalam Kitab Shahih Bukhari (Dâru Thûqin Najâh, 1422 H, juz 7, halaman 2) untuk tidak berlebihan dalam beragama. Hadits ini berisi kisah yang bisa menjadi renungan kita semua untuk hidup dengan seimbang dan menghindari hal-hal yang tidak disukai oleh Allah dan Rasulullah SAW.

 

Suatu ketika para sahabat datang kepada Rasulullah SAW untuk mengetahui bagaimana Rasulullah SAW beribadah. Mereka ingin menyampaikan dan melakukan perbandingan, apakah ibadah yang mereka lakukan selama ini sudah sama dengan ibadah yang dilakukan oleh Rasulullah.

 

Salah satu di antara sahabat mengatakan bahwa ia telah melakukan ibadah puasa setiap hari. Sahabat lain mengatakan bahwa ia sudah lama tidak tidur malam dan melakukan shalat sepanjang malam. Sementara satu lagi mengatakan bahwa ia sudah tidak pernah lagi berhubungan suami-isteri untuk mengekang hawa nafsu.

 

Mengetahui cerita para sahabat ini, Rasulullah tidak memberikan sanjungan atas semangat ibadah yang mereka lakukan. Para sahabat ini malah diingatkan oleh Rasulullah dengan sabdanya:

 

“Aku ini adalah orang yang paling takut kepada Allah jika dibanding dengan kalian. Aku juga orang yang paling taat kepada Allah. Meski begitu, aku terkadang berpuasa, kadang juga tidak. Aku juga melaksanakan ibadah, shalat malam, namun aku tidur juga. Aku juga menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku, ia bukan dari golonganku”.

 

Dialog Rasulullah dengan para sahabatnya ini menunjukkan bahwa ibadah yang dilakukan secara berlebihan dengan mengorbankan sisi-sisi lain dalam kehidupan termasuk hal yang tidak baik. Rasulullah pun mengingatkan melalui haditsnya pula bahwa: “kahiral umur ausatuha” yang bermakna sebaik-baik urusan ialah yang dilakukan dengan biasa-biasa atau sedang-sedang saja, sekalipun itu sedikit.

 

Ini memiliki artian bahwa yang penting untuk diperhatikan dalam ibadah adalah konsistensi atau keistiqamahan walaupun dilakukan dalam kuantitas yang sedikit. Sebab, yang dihitung pahala banyak dalam ibadah adalah konsistensinya. Jika hanya sekali, kemudian berhenti, pahalanya juga akan berhenti. Berbeda jika dilakukan terus-menerus, selama ibadah itu dilakukan, ibadahnya akan terus mengalirkan pahala.

 

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

 

Tidak berlebih-lebihan atau keseimbangan dalam kehidupan, termasuk dalam beragama, merupakan bagian dari karakteristik ajaran Islam. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menjadikan kehidupan dunia dan akhirat saling melengkapi. Kita tidak boleh hanyut dalam materialisme dan juga tidak tenggelam dan terlena dalam spritualisme. Ketika kehidupan seseorang dalam kondisi seimbang, maka ia pun akan hidup dalam ketenangan.

 

Selain keseimbangan vertikal yakni beribadah kepada Allah, sebagai umat Islam, kita juga harus menanamkan keseimbangan horizontal yakni antarsesama makhluk Allah SWT. Hal ini penting karena manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya.

 

Bukan hanya terbatas pada sesama umat Islam saja, keseimbangan hidup juga harus dibangun dengan baik oleh umat Islam bersama umat-umat pemeluk agama lain. Di sinilah pentingnya umat Islam untuk senantiasa memegang prinsip moderasi dalam beragama yakni mengaplikasikan cara beragama yang wasathiyah, moderat, toleran, dan memosisikan diri di tengah, tidak condong ke salah satu sisi.

 

Allah SWT berfirman:

 

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

 

Artinya: “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (Al-Baqarah: 143)

 

lslam merupakan agama yang Rahmatan lil 'Alamin (rahmat bagi seluruh alam). Islam bukan agama yang mengajarkan kekerasan. Jangan sampai kita menjadi oknum yang menjadikan perwajahan Islam di mata umat Islam sendiri dan pemeluk agama lain menjadi agama yang kaku dan tidak ada toleransi sama sekali.

 

Saat ini kita pun perlu berhati-hati terhadap paham-paham radikal yang sering membungkus aksinya atas nama tuhan dan membela agama. Banyak provokasi dilakukan melalui media yang dilakukan dil uar nilai-nilai keislaman serta tidak menggambarkannya sebagai orang yang beragama. Aksi oknum-oknum inilah yang kemudian menyebabkan munculnya persepsi buruk umat lain atau sering disebut Islamofobia.

 

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

 

Sebagai umat yang baik, marilah kita mengaplikasikan nilai-nilai Islam dengan menunjukkan bahwa Islam adalah agama damai, mari jauhi perbuatan yang mengacu pada perpecahan. Jauhkanlah diri dari membenci sesama muslim dan juga non-muslim karena menjadikan kita akan tidak berbuat adil kepada mereka.

 

Untuk menghindari perpecahan ini, ada tiga ukhuwah yang bisa kita aplikasikan dalam kehidupan kita yakni Ukhuwah Islamiyyah (persaudaraan sesama umat Islam), Ukhuwah Wathaniyyah (persaudaraan sesama satu bangsa), dan Ukhuwah Basyariyyah (persaudaraan sesama manusia).

 

Hindari saling menuduh dan menyalahkan orang lain karena ketika kita menunjuk orang lain dengan satu jari telunjuk kita, lalu berapa jari lainnya yang menunjuk kepada kita sendiri? Ini menjadi contoh agar kita tidak merasa “paling” namun kita harus “saling”. Jangan merasa paling benar, tapi mari kita harus saling bertoleransi dan menghormati. Jangan merasa paling shaleh, tapi mari kita harus saling menasihati. Jangan merasa paling berkuasa, tapi mari kita harus saling berbagi.

 

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

 

Demikian khutbah singkat ini, mudah-mudahan dapat kita aplikasikan dalam kehidupan kita dan membawa kemaslahatan untuk sesama. Semoga kita termasuk hamba yang dicintai oleh Allah SWT dengan menjalankan apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Amin.

 

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

 

Khutbah II

 

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.

 

اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ.

 

اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ.

 

عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

 

 

Muhammad Faizin, Sekretaris II MUI Provinsi Lampung

Belajar dari Gerakan Kemandirian dan Kedaulatan Ekonomi Para Kiai

Pada 1918, kiai atau ulama-ulama dari kalangan pondok pesantren berusaha mendirikan perhimpunan para saudagar Islam untuk melawan monopoli penjajah Belanda atas perekonomian. Perhimpunan tersebut diberi nama Nahdlatut Tujjar (kebangkitan saudagar).

 

Para kiai saat itu merasa prihatin dengan kemerosotan perekonomian rakyat. Kemerosotan tersebut berdampak pada melemahnya kesejahteraan masyarakat Islam, pendidikan, budaya, dan politik. Sementara kalangan non-Muslim makin kuat dan eksis karena perekonomian mereka didukung oleh kolonial Belanda.

 

Untuk memperkuat perekonomian rakyat, Hadhratussyekh KH Hasyim Asy'ari dan KH Wahab Chasbullah mengumpulkan saudagar dari kalangan pesantren untuk mendirikan badan usaha mandiri agar tidak bergantung pada penjajah.

 

Kalangan pesantren akhirnya setuju dengan usulan pendirian badan usaha untuk memupuk kedaulatan ekonomi itu. Lalu para kiai mendirikan badan usaha bernama Syirkah al-Inan di bawah naungan Nahdlatut Tujjar.

 

Pendirian perhimpunan tersebut didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan dan menghindar dari kemudharatan kolonial Belanda. Karena bekerja sama dengan kolonial pada akhirnya akan memperkuat penjajahan di Nusantara dan tidak akan menguntungkan bagi umat Islam.

 

Berdasarkan kaidah fiqih yang selama ini menjadi pegangan kalangan pesantren yang dikutip dari Qawaidul Ahkam karya Syekh Izzuddin bin Abdussalam, Tahshilul mashalih wa dar’u hadzihil mafasid aula min ta’thiliha (mengambil kemaslahatan dan menghindari kemudharatan lebih utama dari pada mengabaikannya), apabila ditemukan peluang untuk memperoleh kemaslahatan dan menghindari kemudharatan, maka segeralah mewujudkan dan jangan mengabaikannya. (Syaikhul Islam Ali, Kaidah Fikih Politik: Pergulatan Pemikiran Politik Kebangsaan Ulama, 2018)

 

Sebab itu, pendirian Nahdlatut Tujjar merupakan salah satu upaya dan ikhtiar untuk memperoleh kemaslahatan dan bidang perekonomian dan menolak monopoli penjajah Belanda.

 

Sejak berdirinya gerakan kemandirian dan kedaulatan ekonomi para kiai itu, kalangan pesantren tidak mau menerima bantuan sedikit pun dari penjajah Belanda dan berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan perekonomian masyarakat secara mandiri.

 

Bahkan Abdul Mun’im DZ dalam Fragmen Sejarah NU (2017) menjelaskan bahwa ketika Nahdlatul Ulama sudah berdiri pada 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344, seluruh kegiatan muktamar, pendidikan, dan acara-acara yang berkaitan dengan NU didanai oleh Nahdlatut Tujjar.

 

Perhimpunan kaum saudagar ini juga berhasil mendanai perjalanan delegasi NU atau dikenal sebagai Komite Hijaz untuk bernegosiasi dengan Raja Saudi agar kebebasan bermazhab di Haramain tetap diberlakukan sehingga jangan sampai diseragamkan, khususnya ketika Bani Saud dari kelompok Salafi Wahabi mengambil tampuk pengelolaan negara di Arab Saudi.

 

Jika membaca kembali wasiat KH Hasyim Asy’ari yang sangat visioner dalam deklarasi pendirian Nahdlatut Tujjar, beberapa catatan yang dapat diambil dari antara lain. (Baca Abdul Mun’im DZ, Piagam Perjuangan Kebangsaan, 2011)

 

Pertama, KH Hasyim Asy’ari menyeru kepada para cerdik pandai dan ustadz. Hal ini menunjukkan pentingnya kolaborasi dari kalangan profesional dan agamawan sebagai fondasi badan usaha. Di sini bisa dilihat bahwa tujuan akhir yang diinginkan oleh KH Hasyim Asy’ari ialah badan usaha dapat berfungsi sebagai sumber pendanaan kesejahteraan para pendidik agama dan pencegahan kemaksiatan melalui pengentasan kemiskinan.

 

Kedua, KH Hasyim Asy’ari menyeru lokasi badan usaha merujuk pada kota. Perputaran ekonomi bergerak dari desa ke kota dan akan kembali kepada kesejahteraan masyarakat di desa sehingga menciptakan rantai bisnis desa-kota. Sehingga basis kota sebagai tempat suplai, jaringan usaha, dan perusahaan-perusahaan harus tergarap dalam visi kedaulatan ekonomi.

 

Ketiga, KH Hasyim Asy’ari menyeru badan usaha yang beroperasi bersifat otonom. Hal ini mengisyaratkan bahwa pengelolaan badan usaha tersebut harus profesional dengan tata kelola yang baik.

 

Melalui tata kelola badan usaha yang modern tersebut, yang pada prinsipnya mengacu pada sifat otonom yang disampaikan oleh KH Hasyim Asy’ari itu bahwa setiap pihak dapat fokus menjalankan fungsinya masing-masing sesuai dengan keahlian yang dimiliki.

 

Keempat, KH Hasyim Asy’ari menyeru badan usaha yang beroperasi bertujuan menghidupi para pendidik dan pencegah laju kemaksiatan. Artinya badan usaha ekonomi mempunyai tanggung jawab atas segala problem di tengah masyarakat dengan keuntungan-keuntungan yang didapatkan.

 

Kelima, soal bentuk implementasi badan usaha. Setelah deklarasi Nahdlatut Tujjar, KH Hasyim Asy’ari langsung bergerak membentuk koperasi sebagai badan usaha yang menggerakkan ekonomi rakyat, jauh sebelum koperasi menjadi salah satu bentuk badan usaha yang termaktub dalam UUD 1945.

 

Dari paparan dan penjelasan di atas, bisa dikatakan bahwa kalangan pesantren, khususnya Hadhratussyekh KH Hasyim Asy'ari merupakan sosok pelopor kemandirian dan kedaulatan ekonomi rakyat Indonesia melalui gerakan dan perkumpulan Nahdlatut Tujjar. []

 

(Fathoni Ahmad)

(Ngaji of the Day) Hukum Pemakzulan Pemimpin


Hukum Pemakzulan Pemimpin

Pertanyaan:


Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Redaksi Bahtsul Masail NU Online, saya ingin bertanya. Teriakan “Turunkan presiden” “Turunkan gubernur,” atau “Turunkan bupati” sering terdengar saat masyarakat kecewa terhadap pemimpin. Bagaimana pandangan Islam terkait pemakzulan pemimpin seperti ini? Mohon penjelasan. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

 

Hamba AllahJakarta

 

Jawaban:

 

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. masalah pemakzulan pemimpin ini telah dibahas pada Muktamar Ke-33 NU, awal Agustus 2015 di Kabupaten Jombang, Jawa Timur.

 

Ulama sepakat, bahwa wajib hukumnya taat kepada pemimpin selama ia menjalankan amanatnya dan tidak boleh memberhentikannya tanpa alasan yang dibenarkan. Permasalahan muncul ketika seorang pemimpin seperti presiden, gubenrnur, atau bupati dipilih dengan basis dukungan suara terbanyak. Apalagi dukungan suara terbanyak dianggap segala-galanya.

 

Anggapan seperti ini berpotensi menimbulkan ketidakstabilan politik dan pemerintahan. Sebagaimana yang sering terjadi di masyarakat, kesalahan sedikit seorang pemimpin digunakan alasan untuk upaya memberhentikan kepemimpinannya. Sebaliknya pemimpin yang melakukan kesalahan besar, oleh karena mempunyai dukungan politik dan suara yang besar, tetap dipertahankan.

 

Forum ini memutuskan bahwa, mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak ada penyebab yang menjadikan pemimpin dapat diberhentikan kecuali jika nyata-nyata melanggar konstitusi.

 

Jika telah terbukti dan ditetapkan secara hukum melanggar konstitusi, maka pemimpin boleh dima’zulkan dengan cara:

 

a. Direkomendasikan untuk mengundurkan diri;

 

b. Apabila tidak mau mengundurkan diri dan juga tidak mau bertobat, maka ia dapat dimakzulkan dengan aturan yang konstitusional selama tidak menimbulkan mudharat yang lebih besar;

 

c. Apabila pemimpin telah terbukti dan ditetapkan secara hukum melakukan hal-hal yang menyebabkannya dapat diberhentikan, maka proses tahapan pemberhentiannya harus berjalan sesuai dengan tahapan konstitusi yang ada.

 

Peserta forum Muktamar Ke-33 NU di Jombang mengutip antara lain Kitab Raudhatut Thalibin karya Imam An-Nawawi:

 

الرابعة: لا يجوز خلع الإمام بلا سبب، فلو خلعوه، لم ينخلع، ولو خلع الإمام نفسه، نظر، إن خلع لعجزه عن القيام بأمور المسلمين لهرم أو مرض ونحوهما، انعزل

 

Artinya, “Keempat tidak boleh memakzulkan pemimpin tanpa sebab. Kalau kelompok masyarakat mencoba memakzulkannya, maka kedudukannya sebagai pemimpin tetap sah, tidak termakzulkan. Tetapi kalau pemimpin mengundurkan diri, maka mesti dipertimbangkan, apakah pemakzulan dirinya berkaitan dengan ketidakmampuannya melaksanakan roda pemerintahan masyarakat sebab faktor lansia, sakit, atau selain keduanya, niscaya ia telah termakzulkan,” (Imam An-Nawawi, Raudhatut Thalibin, juz VIII, halaman 369-370).

 

Dengan putusan ini, pemakzulan tidak boleh dilakukan tanpa alasan konsitusional. Pemakzulan tidak boleh dilakukan atas dasar suka atau tidak suka, atau dukungan politik, atau berdasarkan dugaan tanpa pembuktian hukum.

 

Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

 

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,

Wassalamu ’alaikum wr. wb.

 

Alhafiz Kurniawan

Tim Bahtsul Masail NU

Rabu, 24 November 2021

(Do'a of the Day) 19 Rabiul Akhir 1443H

Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Allaahumma innii a'uudzubika min dhaiqid dun ya wa dhaiqi yaumil qiyaamah.

 

Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu daripada kesempitan dunia dan kesempitan di hari kiamat.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 1, Bab 2.

(Ngaji od the Day) Status Perusahaaan Asuransi Syariah dalam Investasi

Premi merupakan biaya wajib yang dikeluarkan oleh peserta asuransi pemegang polis kepada perusahaan jasa asuransi sebagai tanda bahwa dirinya terikat dalam akad saling tolong menolong dan saling menanggung risiko antar sesama anggota peserta asuransi. Ada tiga jenis premi, yaitu:

 

1. Premi Tabungan. Premi ini merupakan turunan dari dana tabungan pemegang polis. Premi ini dikelola oleh perusahaan asuransi dengan hasil akhir berupa amggota akan mendapatkan haknya sesuai kesepakatan nisbah bagi hasil penyaluran jalur investasi. Premi tabungan ini biasanya akan diberikan kembali kepada anggota seiring yang bersangkutan memutuskan berhenti sebagai peserta asuransi. Beberapa literatur menyebut bukan akumulasi preminya yang diberikan seiring adanya ikatan berupa niat ta'âwun dari peserta ketika masuk menjadi anggota. Yang diberikan oleh perusahaan biasanya berupa hasil dari nisbah bagi hasil. Ingat bahwa premi pada dasarnya adalah milik anggota, sehingga apapun yang terjadi pada miliknya dalam pengelolaan, maka anggota berhak mendapatkan nisbah bagi hasil tersebut!

 

2. Premi Tabarru'. Premi ini dibayar dengan basis hibah (pemberian cuma-cuma yang ditentukan) oleh pemegang polis. Tujuan dari hibah ini diperuntukkan untuk tolong menolong sesama anggota pemegang polis asuransi. Mengingat sudah dihibahkan, maka besaran premi yang terkumpul adalah hak milik perusahaan, sehingga bila anggota memutuskan berhenti sewaktu-waktu, ia tidak bisa mengambil premi yang pernah dibayarkannya.

 

3. Premi Biaya. Premi ini dibayarkan oleh anggota dengan basis sebagai ujrah (upah) bagi perusahaan asuransi yang sudah mengelola dan menjamin dananya. Ingat dengan qaidah bahwa perusahaan asuransi kedudukannya adalah selaku wakil dari member. Sebagai wakil maka ia berhak mendapatkan ujrah. Ujrah tersebut diperoleh dari premi biaya ini. Sudah pasti, pengelolaan yang dimaksud dengan mendapatkan ujrah dari premi biaya adalah pengelolaan terhadap premi tabarru'. Untuk premi tabungan yang mana perusahaan harus menyalurkannya dalam investasi, maka ia mendapatkan ujrah dari bagi hasil. Namun, ada juga perusahaan yang hanya mengambil hak ujrahnya berdasar premi biaya ini saja. Sementara hasil pengelolaan dari premi tabarru' dan premi tabungan dikembalikan seluruhnya untuk pemegang polis seluruhnya.

 

Dalam praktiknya, ketika seorang anggota memutuskan diri untuk menjadi member dari asuransi syariah, maka ia disodori klausul yang berisi keterangan ketiga premi di atas sekaligus peruntukannya. Sampai di sini, maka jelas sudah kedudukan masing-masing premi tersebut dalam bingkai fiqihnya.

 

Cara Penetapan Premi

 

Bagaimana premi tersebut ditetapkan oleh perusahaan? Kiranya pertanyaan penting ini layak untuk mendapatkan penjelasan. Ada beberapa langkah menetapkan besaran premi yang harus dibayar oleh pemegang polis, antara lain sebagai berikut:

 

1. Melakukan kalkulasi besaran premi. Kalkulasi dilakukan dengan jalan mempertimbangkan:

 

a. Premi murni yang dihitung berdasarkan 'profil kerugian' akibat pengambilan jalur asuransi tertentu. Misalnya untuk asuransi pendidikan, maka kerugian ini dihitung sekurang-kurangnya berdasarkan pengalaman pengelolaan di 5 tahun terakhir. Tujuannya mengantisipasi lonjakan biaya pendidikan yang mungkin terjadi di masa mendatang.

 

b. Pendapatan termasuk di dalamnya adalah komisi bagi agen asuransi yang terlibat dalam menjaring anggota

 

c. Biaya administrasi dan biaya umum lainnya

 

2. Besaran premi ditetapkan pada tingkat harus mencukupi, tidak melebihi dan tidak diskriminatif. Tentu dalam hal ini juga harus didasarkan pada pertimbangan yang tidak berlebih-lebihan sehingga dapat mengakibatkan tidak sebanding dengan manfaat yang bisa didapatkan oleh anggota. Bagaimanapun juga, tidak dapat dipungkiri bahwa tabiat anggota ketika berhadapan dengan perusahaan jasa, sudah pasti berharap mendapatkan manfaat. Jadi, tidak mutlak tabarru' dan ta'awun, dan ini pula yang menjadi latar belakang dibaginya premi menjadi tiga macam golongan.

 

Di dalam asuransi jiwa (misalnya), proses kalkulasi besaran premi yang kelak berpengaruh terhadap besarnya santunan yang diberikan oleh perusahaan atas dasar klaim anggota, dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

 

1. Produk yang ditawarkan

2. Lamanya masa asuransi

3. Usia peserta

4. Kesehatan peserta

5. Jumlah peserta

 

Usia peserta ini dianggap berpengaruh terhadap kelak besaran santunan klaim yang diberikan oleh perusahaan mengingat hubungannya dengan besaran premi yang sudah dibayarkan. Tentu saja dalam hal ini, dasar pertimbangan perusahaan adalah faktor keadilan bagi peserta yang lain yang sudah lama ikut asuransi dan membayar premi sehingga berpengaruh terhadap dana yang tersedia dan dimiliki perusahaan. Demikian halnya dengan jumlah peserta yang ikut terlibat dalam keanggotaan asuransi, menjadi faktor penting yang mempengaruhi secara langsung terhadap besaran dana jaminan untuk keperluan pertanggungan risiko tersebut.

 

Dalam operasionalnya, perusahaan yang dipercaya mengumpulkan dana anggota ini harus menyalurkannya dalam wilayah yang halal dan dibenarkan secara syariat. Demikian pula terhadap hasilnya, perusahaan dituntut untuk melakukan penyaluran kepada peserta sebagaimana klausul yang sudah disepakati di awal pendaftaran.

 

Selanjutnya yang dimaksud dengan status perusahaan asuransi dalam tulisan ini adalah menjelaskan kedudukan perusahaan asuransi syariah dalam hubungannya dengan member dan wilayah/jalur investasinya. Basis pengelolaan dalam hal ini sudah pasti adalah upaya menghasilkan keuntungan yang bisa ditambahkan ke dalam akumulasi dana premi kolektif.

 

Berdasarkan tinjauan akad investasi, maka status perusahaan dalam hubungannya dengan member asuransi syariah, adalah sebagai berikut:

 

1. Anggota asuransi berperan selaku pemilik modal

 

2. Perusahaan asuransi berperan selaku mudlârib (pengelola) yang berhak mendapatkan ujrah (gaji). Peran ini terjadi manakala investasi yang dimaksudkan adalah dikelola sendiri oleh perusahaan.

 

3. Perusahaan asuransi berperan sebagai wakil dari pemodal yakni anggota. Peran ini terjadi apabila jalur investasi yang dimiliki tidak dikelola sendiri oleh perusahaan melainkan ia harus menjalin patungan dengan perusahaan lain. Misalnya, berita terbaru yang terjadi PT Asuransi Jiwa Sraya yang hendak berinvestasi dalam pengembangan jalur tol. Dalam pada ini, maka peran perusahaan adalah selaku wakil dari anggota yang terlibat didalamnya. Sebagai wakil, sudah barang tentu perusahaan berhak mendapatkan fee (ujrah). Dan ujrah ini bisa diperoleh lewat premi biaya atau lewat kesepakatan klausul investasi antara perusahaan dan anggota. Sudah barang tentu akadnya ada di depan dan bisa diketahui oleh member saat ia mendaftar asuransi.

 

Sekali lagi yang perlu diingat adalah, bahwa dalam asuransi syariah, semua dana yang terkumpul lewat premi adalah dana peserta setelah dikurangi dengan fee untuk perusahaan atau jasa pengelolaan oleh perusahaan terhadap premi. Karena sudah dipungut biaya fee, maka pada saat penyaluran dana ketika terjadi pertanggungan risiko, sebenarnya perusahaan tidak mengeluarkan dana kas perusahaan. Dana yang dikeluarkan pada hakikatnya adalah dana premi milik dari peserta sendiri yang diamanahkan lewat dana investasi dan dana tabarru'. Itulah sebabnya, kadang besaran dana ini lebih besar dari total jumlah premi yang dibayarkan peserta. Dan sampai di sini, sejauh pengamatan penulis, tidak terdapat unsur riba di dalamnya. Wallâhu a'lam bish shawâb. []

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Selasa, 23 November 2021

(Do'a of the Day) 18 Rabiul Akhir 1443H

Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Alhamdulillaahil ladzii khalaqan nauma wal yaqdhata. Alhamdulillaahil ladzii ba'atsanii saaliman sawiyya. Asyhadu annallaaha yuhyiil mauta wahuwa 'ala kulli syai'in qadiirun.

 

Segala puji bagi Allah yang menciptakan tidur dan jaga. Segala puji bagi Allah yang telah membangkitkan aku (dari tidur) dalam keadaan selamat sempurna. Aku bersaksi bahwa Allahlah yang menghidupkan orang-orang yang mati. Dan Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 1, Bab 2.

Antara Takeyari Bushido dan Shalawat Kamilah (2)

Saat pelatihan Hizbullah angkatan 2 di Cibarusah berlangsung, perkembangan Perang Asia Timur Raya tambah mengkhawatirkan bagi pemerintah militer Jepang di Indonesia. Setelah Jepang mengobral janji akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia, tokoh-tokoh nasionalis dan agama semakin yakin untuk merapatkan barisan. Mereka kompak semakin keras menuntut untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Bila diperlukan menggunakan cara-cara revolusioner.

 

Politis dan Militer

 

Masyumi, khususnya Nahdlatul Ulama bersungguh-sungguh dalam menyongsong kemerdekaan. Tokoh-tokohnya berbagi tugas di bidang-bidang politik dan militer. KH Wahid Hasyim dan KH Masykur konsentrasi di BPUPKI yang kemudian berkembang menjadi PPKI. Sedangkan KH Zainul Arifin fokus mempersiapkan pasukan militer untuk keperluan perang fisik.

 

Dengan berakhirnya Perang Dunia II di Eropa yang ditandai dengan penyerahan Jerman pada 8 Mei 1945, Jepang sebagai sekutu Jerman menolak untuk menyerah tanpa syarat kepada Tentara Sekutu. Amerika Serikat kemudian menjatuhkan bom atom atas Nagasaki pada 6 Agustus 1945, disusul atas Hiroshima 9 Agustus.

 

Ditengah kegentingan situasi demikianlah, KH Wahab Chasbullah memanggil tokoh-tokoh Hizbullah untuk berkumpul di kota Malang, Jawa Timur.

 

Berdzikir di Masjid Kauman

 

KH Saifuddin Zuhri dalam biografinya, Berangkat dari Pesantren mencatat pelatihan Hizbullah dipindahkan dari Cibarusah ke Masjid Kauman atau Masjid Agung kota Malang yang hingga kini masih berdiri megah di Jl. Merdeka Barat no.3 di daerah dekat Kauman, alun-alun kota Malang. Kelak kota Malang dijadikan Markas Tinggi Hizbullah dan setelah dikeluarkan Resolusi Jihad oleh Hadratusyaikh Hasyim Asy'ari menjadi basis perjuangan Sabilillah dan Mujahidin.

 

Masjid Kauman sendiri memiliki sejarah yang lumayan panjang.Dulunya masih berukuran kecil saja. Pertama kali dibangun pada tahun 1890 dan direnovasi untuk pertama kalinya selama 6 bulan dari 15 Maret hingga 13 September 1903. Bangunannya kokoh dari struktur baja berbentuk bujur sangkar. Atapnya model tajug tumpang dua. Bentuk dasar bangunan masih dipertahankan hingga sekarang ini.

 

Di masjid inilah sekira 200 tokoh Hizbullah berkumpul di bawah bimbingan kiai-kiai utama NU di antaranya: KH Hasyim Asy'ari, KH Bisri Syansuri, KH Sahal Mansur, KH M Dahlan, KH Thohir Bakri, KH Ahmad Munif Bangkalan, KH Abdul Jalil Kudus, dan beberapa lainnya lagi. Pelatihan di Masjid Kauman lebih menekankan tambahan siraman rohani dari kiai-kiai seperti amalan doa Hizbut Rifai dan Shalawat Kamilah.

 

Para tokoh Hizbullah juga dibekali tambahan "gerakan rohani" berupa teknik-teknik penyaluran tenaga dalam, unsur-unsur gerakan pencak silat dan sugesti zikir. Para kiai sepuh juga memanjatkan doa-doa khusus agar para pemuka Hizbullah siap lahir batin menghadapi perang besar. Selama seminggu digembleng secara rohani, tiba- tiba Kiai Wahab yang baru kembali dari Surabaya datang membawa seorang pemuda anggota PETA bernama Muhammad Wahib yang mengabarkan kalau Proklamasi Kemerdekaan RI telah dikumandangkan Sukarno dan Hatta di Jakarta.

 

Takbir pun sontak membahana memenuhi seantero Masjid. Bagaimanapun, Hizbullah telah siap lahir dan batin menghadapi peperangan sungguhan yang tak lama kemudian harus dihadapi. Allahu Akbar! []

 

(Ario Helmy)

Antara Takeyari Bushido dan Shalawat Kamilah (1)

"Kedatangan Perdana Menteri Hideki Tojo di Jakarta pada 7 Juli dan pidatonya dalam rapat umum di Lapangan IKADA jelas sekali menunjukkan kalau kedudukan Nippon semakin terdesak oleh Sekutu," ujar tokoh NU, KH Zainul Arifin pada tahun 1943.

 

Nyatanya, sebagaimana diungkap Aiko Kurusawa (1993), memang beberapa hari kemudian pemerintahan pendudukan Jepang memulai program "pelatihan alim ulama" guna mengantisipasi "perlawanan semesta". Program pelatihan terbagi 2: yang pendek untuk alim ulama dan yang panjang 3 bulan untuk "guru-guru madrasah" yang berusia lebih muda. Jepang menamanya "Latihan Guru Agama Bagian Dua". Kedalam pelatihan ini dimasukkan pula dasar-dasar kemiliteran. Selanjutnya, mengakomodasi usulan para pemimpin agama bulan September 1943 agar dibentuk pasukan sukarelawan muslim pelatihan guru agamapun dikembangkan menjadi pelatihan Laskar Hizbullah.

 

Merdeka atau Mati

 

Resminya, baru pada 8 Desember 1944 Panglima Jepang Jenderal Kamakichi Harada menjanjikan kemerdekaan Indonesia senyampang menyinggung akan didirikannya Laskar Hizbullah. Seminggu sesudahnya, pada 15 Desember 1944, didirikanlah Kaikyo Seinen Teishinti atau Hizbullah. Bulan Januari 1945 nama-nama yang disaring lewat rapat pleno Masyumi diumumkan. Rapat juga menegaskan Hizbullah sebagai pendamping PETA yang sudah lebih dulu berdiri.

 

Hizbullah berpedoman pada Al-Qur'an:

 

"Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang." (Surah Al Maidah ayat 56).

 

Salah satu slogannya: "Hidup mulia atau mati syahid." ('Isy kariman au mut syahidan). Ringkasnya: "Merdeka atau Mati". Kepengurusannya disusun lewat rapat pleno Masyumi yang sepakat mendirikan Hizbullah terpisah dari PETA bukan sebagai pesaing, melainkan sebagai upaya strategi dalam menghadapi Jepang. Sedangkan sebagai komandan ditunjuk KH Zainul Arifin. Wakilnya adalah Moh Roem. Anggota pengurus lain Prawoto Mangunsasmito, Kiai Zarkasih, dan Anwar Cokroaminoto.

 

Bushido di Cibarusah

 

Pelatihan di Cibarusah dimulai 28 Februari 1945, terbagi dua kegiatan utama: keagamaan dan kemiliteran. Pendalaman keagamaan bercorak kerohanian Islam diberikan di malam hari oleh: Pada malam hari mereka diberi bekal Pendidikan kerohanian oleh: KH Wahid Hasyim, KH Zarkasyi (Ponorogo), KH Mustofa Kamil (Singaparna), KH Mawardi (Solo), KH Mursyid (Kediri) dan KH Abdul Halim (Majalengka). Sedangkan pelatihan dasar-dasar militer mengacu pada semangat Bushido atau "Jalan Ksatria" yang pada prinsipnya mengacu pada 4 nilai moral: kesederhanaan, kesetiaan, penguasaan seni bela diri dan kehormatan hingga mati.

 

Pelatihan militer terdiri dari teknik-teknik berperang utamanya dalam situasi gerilya dipimpin oleh Kapten Yanagawa Munenari Moichiro yang sangat keras dan berdisiplin tinggi dalam melatih pasukan Hizbullah. Yanagawa juga dibantu 20 orang perwira PETA. Kapten Yanagawa alumnus sekolah elit intelijen Nakanogako. Selain sangat mahir seni bela diri Karate, Judo dan Jiujitsu, dia selalu melatih pasukan dengan pemahaman akan senjata sebagai bagian dari anggota tubuh mereka. Tito.id mengungkap Kapten Yanagawa melatih pasukan PETA pula termasuk: Sudirman, Supriyadi, Ahmad Yani dan Suharto. Yanagawa kemudian menjadi seorang mualaf dan menikah dengan Muslimah asal Tasikmalaya.

 

Meskipun, di Cibarusah tidak digunakan senjata asli namun semangatnya sudah mendekati teknik berperang sungguhan. Setelah bangun pagi, sholat Subuh dan sarapan pagi semua peserta melakukan taisho (senam pagi) disambung lari-lari kecil pemanasan (kakeashi) yang dilaksanakan dalam kesempurnaan sikap dan disiplin tinggi.

 

Selanjutnya dibagikan mokuju (senapan tiruan dari kayu jati) atau takeyari (bambu runcing) untuk latihan baris berbaris dan simulasi perang sungguhan. Dalam film pendek propaganda Jepang keluaran Nippon Eigasha ditunjukkan cara membuat takeyari menggunakan bambu yang setengah kering ataupun masih basah berukuran sekira 2 meter untuk orang dewasa. Ujungnya lalu ditajamkan menggunakan golok hingga menyerong tajam 20 derajat. Idealnya ujung takeyari terletak tidak jauh dari buku bambu. Kemudian, ujung takeyari dibakar di atas api kecil hingga kulit bambu agak hangus menghitam. Takeyari akan lebih kuat jika ujungnya digosok dengan minyak dari tumbuh-tumbuhan.

 

Takeyari Jutsu

 

Takeyari dilatihkan sebagai senjata yang di tusukkan ke arah badan lawan dengan kombinasi gerak-gerak kelincahan tangan dan kaki sedemikian rupa hingga menjadikannya senjata yang dapat melumpuhkan lawan.

 

Pelatihan sento kyoren atau pertempuran meliputi latihan-latihan teknik bertiarap (fuse), merangkak (hofuku), membentuk formasi gerakan mundur satu persatu ke belakang (icirit), teknik mengintai (sekko), perang sangkur, serangan banzai dan serangan komando (kirikumi). Selain itu ditambahkan pelajaran merakit bom molotov dan bahan-bahan peledak lain. Puncaknya adalah pelatihan perang gerilya yang tidak pernah digunakan pasukan-pasukan Belanda dan Inggris. Sebagai seni bela diri tambahan dilatihkan teknik-teknik olahraga tradisional Jepang, Sumo.

 

Tanggal 20 Mei 1945, program pelatihan padat Hizbullah diakhiri dengan sekira 500 santri peserta dari 30 residen Jawa dan Madura dinyatakan lulus. Mereka dikirim pulang ke wilayah masing-masing untuk melatih angkatan berikutnya. Sementara Cibarusah sendiri mulai menyiapkan pelatihan Hizbullah angkatan II. []

 

(Ario Helmy)

(Ngaji of the Day) Vaksin Covid-19 dan Prinsip Hifzhun Nufus

Vaksin merupakan salah satu ikhtiar yang dijalankan dalam rangka pencegahan dan penjagaan daya imun masyarakat dari Covid-19. Program vaksinasi sejalan dengan konsep hifzhun nafs/hifzhun nufus atau jaminan atas keselamatan jiwa dari segala ancaman terhadap nyawa manusia.

 

Muhammad At-Thahir bin Asyur (1892-1973 M/1310-1393 H) dari mazhab Maliki menaruh perhatian terkait prinsip hifzhun nafs/hifzhun nufus dalam bidang kesehatan. Bin Asyur menunjuk manifestasi prinsip hifzhun nafs/hifzhun nufus pada dimensi preventif kesehatan sebagai upaya penyelamatan jiwa manusia.

 

Ia tidak menafikan dimensi represif-kuratif pada bidang hukum. Tetapi ia mengingatkan bahwa pendekatan pengendalian sosial melalui represif-kuratif berada pada level terakhir dari konsep hifzhun nafs/hifzhun nufus itu sendiri.

 

ومعنى حفظِ النفوسِ حفظُ الأرواحِ من التلَفِ أفرادًا وعمومًا لأن العالمَ مركَّبٌ من أفرادِ الإنسانِ، وفي كلِّ نفسٍ خصائصُها التي بها بعضُ قوامِ العالمِ. وليس المرادُ حفظَها بالقصاصِ كما مثَّل بها الفقهاءُ، بل نجدُ القصاصَ هو أضعفُ أنواعِ حفظِ النفوسِ لأنه تدارُكٌ بعدَ الفواتِ، بل الحفظُ أهمُّه حفظُها عن التلفِ قبلَ وقوعِه مثلَ مقاومةِ الأمراضِ الساريةِ. وقد منعَ عمرُ بنُ الخطابِ الجيشَ من دخولِ الشامِ لأجلِ طاعونِ عَمَواس

 

Artinya, “Makna hifzhun nufus (menjaga jiwa) adalah menjamin keselamatan nyawa dari kemusnahan baik secara individual maupun kolektif karena dunia ini terdiri atas kumpulan individu. Setiap jiwa memiliki keistimewaan sebagai bagian dari komposisi tegaknya dunia. Hifzhun nafs atau hifzhun nufus yang dimaksud di sini berbeda dengan penerapan qishash yang sering dicontohkan para fuqaha. Menurut kami, penerapan qishah adalah jenis terendah manifestasi konsep hifzhun nafs karena penindakan qishash dilakukan setelah nyawa melayang. Konsep hifzhun nafs yang paling urgen adalah upaya penjaminan keselamatan jiwa dari ancaman kepunahan, seperti melawan penyakit menular atau epidemi. Sayyidina Umar pernah menahan pasukan untuk masuk ke negeri Syam karena Tha‘un Amawas,” (Lihat Thahir bin Asyur, Maqashidus Syariah Al-Islamiyyah, [Kairo-Tunis, Darus Salam-Daru Suhnun: 2014 M/1435 H], halaman 89).

 

Menurut Bin Asyur, jaminan atas keselamatan jiwa dalam konsep hifzhun nafs juga harus mencakup upaya pencegahan atas penyebaran virus mematikan yang mengancam nyawa manusia dan upaya penanggulangannya.

 

Pandangan ini diperkuat dengan gagasan Nuruddin Mukhtar Al-Khadimi (1963 M-...) yang memakai pendekatan sosiologis Ibnu Khaldun (1332-1406 M) agar warga negara saling membantu untuk memenuhi hajat mereka termasuk dalam bidang kesehatan.

 

وضرورة الدفاع عن النفس وحمايتها من الأخطار التي تهدد حياة الانسان وتنذر بإبطال النوع البشري من أساسه

 

Artinya, “Kebutuhan dasar (primer) penyelamatan dan perlindungan jiwa dari bahaya yang mengancam kehidupan manusia dan mengingatkan bahaya kepunahan jenis manusia sama sekali,” (Nuruddin Mukhtar Al-Khadimi, Fiqhut Tahadhdhur-Ru’yah Maqashidiyyah, [Kairo, Darus Salam: 2014 M/1435 H], halaman 50).

 

Pada bukunya yang lain, Al-Khadimi mengatakan bahwa kebutuhan primer yang harus dijamin pemenuhannya dalam syariat Islam juga mencakup lingkungan yang sehat, ketersediaan obat-obatan (termasuk vaksin) di samping pemenuhan gizi bagi masyarakat.

 

فالمصالح الضرورية تفيد بأن هناك ضرورية لازمة في المعاش لا تتحقق إلا ببيئة سليمة من الأوبئة والأدواء الخطيرة فضلا عن توفير الغذاء اللازم والدواء الضروري لإقامة الحياة وحفظ النفوس

 

Artinya, “Kemaslahatan dasar (primer) mengisyaratkan bahwa di sana terdapat kebutuhan dasar kehidupan yang tidak dapat tercapai tanpa didukung lingkungan yang sehat dari berbagai wabah (salah satunya Covid-19) dan aneka penyakit berbahaya terlebih pemenuhan gizi standar dan ketersediaan obat (termasuk vaksin) yang dibutuhkan untuk menjaga kehidupan dan melindungi jiwa manusia,” (Nuruddin Mukhtar Al-Khadimi, Fiqhuna Al-Mua’shir, [Kairo, Darus Salam: 2015 M/1436 H], halaman 32).

 

Sebagaimana kita tahu, pemerintah melakukan berbagai upaya pencegahan Covid-19, yaitu vaksinasi di samping penerapan prokes, 5M Covid-19 (memakai masker, mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, serta membatasi mobilisasi dan interaksi), pembatasan sosial berskala besar (PSBB), lockdown, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), dan upaya lainnya.

 

Vaksinasi dilakukan dalam rangka memberikan jaminan atas keselamatan jiwa atau upaya perlindungan jiwa yang tercakup dalam konsep hifzhun nufus atau hifzhun nafs. Wallahu a’lam. []

 

Sumber: NU Online