Premi merupakan biaya wajib yang dikeluarkan oleh peserta asuransi pemegang polis kepada perusahaan jasa asuransi sebagai tanda bahwa dirinya terikat dalam akad saling tolong menolong dan saling menanggung risiko antar sesama anggota peserta asuransi. Ada tiga jenis premi, yaitu:
1. Premi Tabungan. Premi ini merupakan turunan dari dana tabungan pemegang polis. Premi ini dikelola oleh perusahaan asuransi dengan hasil akhir berupa amggota akan mendapatkan haknya sesuai kesepakatan nisbah bagi hasil penyaluran jalur investasi. Premi tabungan ini biasanya akan diberikan kembali kepada anggota seiring yang bersangkutan memutuskan berhenti sebagai peserta asuransi. Beberapa literatur menyebut bukan akumulasi preminya yang diberikan seiring adanya ikatan berupa niat ta'âwun dari peserta ketika masuk menjadi anggota. Yang diberikan oleh perusahaan biasanya berupa hasil dari nisbah bagi hasil. Ingat bahwa premi pada dasarnya adalah milik anggota, sehingga apapun yang terjadi pada miliknya dalam pengelolaan, maka anggota berhak mendapatkan nisbah bagi hasil tersebut!
2. Premi Tabarru'. Premi ini dibayar dengan basis hibah (pemberian cuma-cuma yang ditentukan) oleh pemegang polis. Tujuan dari hibah ini diperuntukkan untuk tolong menolong sesama anggota pemegang polis asuransi. Mengingat sudah dihibahkan, maka besaran premi yang terkumpul adalah hak milik perusahaan, sehingga bila anggota memutuskan berhenti sewaktu-waktu, ia tidak bisa mengambil premi yang pernah dibayarkannya.
3. Premi Biaya. Premi ini dibayarkan oleh anggota dengan basis sebagai ujrah (upah) bagi perusahaan asuransi yang sudah mengelola dan menjamin dananya. Ingat dengan qaidah bahwa perusahaan asuransi kedudukannya adalah selaku wakil dari member. Sebagai wakil maka ia berhak mendapatkan ujrah. Ujrah tersebut diperoleh dari premi biaya ini. Sudah pasti, pengelolaan yang dimaksud dengan mendapatkan ujrah dari premi biaya adalah pengelolaan terhadap premi tabarru'. Untuk premi tabungan yang mana perusahaan harus menyalurkannya dalam investasi, maka ia mendapatkan ujrah dari bagi hasil. Namun, ada juga perusahaan yang hanya mengambil hak ujrahnya berdasar premi biaya ini saja. Sementara hasil pengelolaan dari premi tabarru' dan premi tabungan dikembalikan seluruhnya untuk pemegang polis seluruhnya.
Dalam praktiknya, ketika seorang anggota memutuskan diri untuk menjadi member dari asuransi syariah, maka ia disodori klausul yang berisi keterangan ketiga premi di atas sekaligus peruntukannya. Sampai di sini, maka jelas sudah kedudukan masing-masing premi tersebut dalam bingkai fiqihnya.
Cara Penetapan Premi
Bagaimana premi tersebut ditetapkan oleh perusahaan? Kiranya pertanyaan penting ini layak untuk mendapatkan penjelasan. Ada beberapa langkah menetapkan besaran premi yang harus dibayar oleh pemegang polis, antara lain sebagai berikut:
1. Melakukan kalkulasi besaran premi. Kalkulasi dilakukan dengan jalan mempertimbangkan:
a. Premi murni yang dihitung berdasarkan 'profil kerugian' akibat pengambilan jalur asuransi tertentu. Misalnya untuk asuransi pendidikan, maka kerugian ini dihitung sekurang-kurangnya berdasarkan pengalaman pengelolaan di 5 tahun terakhir. Tujuannya mengantisipasi lonjakan biaya pendidikan yang mungkin terjadi di masa mendatang.
b. Pendapatan termasuk di dalamnya adalah komisi bagi agen asuransi yang terlibat dalam menjaring anggota
c. Biaya administrasi dan biaya umum lainnya
2. Besaran premi ditetapkan pada tingkat harus mencukupi, tidak melebihi dan tidak diskriminatif. Tentu dalam hal ini juga harus didasarkan pada pertimbangan yang tidak berlebih-lebihan sehingga dapat mengakibatkan tidak sebanding dengan manfaat yang bisa didapatkan oleh anggota. Bagaimanapun juga, tidak dapat dipungkiri bahwa tabiat anggota ketika berhadapan dengan perusahaan jasa, sudah pasti berharap mendapatkan manfaat. Jadi, tidak mutlak tabarru' dan ta'awun, dan ini pula yang menjadi latar belakang dibaginya premi menjadi tiga macam golongan.
Di dalam asuransi jiwa (misalnya), proses kalkulasi besaran premi yang kelak berpengaruh terhadap besarnya santunan yang diberikan oleh perusahaan atas dasar klaim anggota, dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Produk yang ditawarkan
2. Lamanya masa asuransi
3. Usia peserta
4. Kesehatan peserta
5. Jumlah peserta
Usia peserta ini dianggap berpengaruh terhadap kelak besaran santunan klaim yang diberikan oleh perusahaan mengingat hubungannya dengan besaran premi yang sudah dibayarkan. Tentu saja dalam hal ini, dasar pertimbangan perusahaan adalah faktor keadilan bagi peserta yang lain yang sudah lama ikut asuransi dan membayar premi sehingga berpengaruh terhadap dana yang tersedia dan dimiliki perusahaan. Demikian halnya dengan jumlah peserta yang ikut terlibat dalam keanggotaan asuransi, menjadi faktor penting yang mempengaruhi secara langsung terhadap besaran dana jaminan untuk keperluan pertanggungan risiko tersebut.
Dalam operasionalnya, perusahaan yang dipercaya mengumpulkan dana anggota ini harus menyalurkannya dalam wilayah yang halal dan dibenarkan secara syariat. Demikian pula terhadap hasilnya, perusahaan dituntut untuk melakukan penyaluran kepada peserta sebagaimana klausul yang sudah disepakati di awal pendaftaran.
Selanjutnya yang dimaksud dengan status perusahaan asuransi dalam tulisan ini adalah menjelaskan kedudukan perusahaan asuransi syariah dalam hubungannya dengan member dan wilayah/jalur investasinya. Basis pengelolaan dalam hal ini sudah pasti adalah upaya menghasilkan keuntungan yang bisa ditambahkan ke dalam akumulasi dana premi kolektif.
Berdasarkan tinjauan akad investasi, maka status perusahaan dalam hubungannya dengan member asuransi syariah, adalah sebagai berikut:
1. Anggota asuransi berperan selaku pemilik modal
2. Perusahaan asuransi berperan selaku mudlârib (pengelola) yang berhak mendapatkan ujrah (gaji). Peran ini terjadi manakala investasi yang dimaksudkan adalah dikelola sendiri oleh perusahaan.
3. Perusahaan asuransi berperan sebagai wakil dari pemodal yakni anggota. Peran ini terjadi apabila jalur investasi yang dimiliki tidak dikelola sendiri oleh perusahaan melainkan ia harus menjalin patungan dengan perusahaan lain. Misalnya, berita terbaru yang terjadi PT Asuransi Jiwa Sraya yang hendak berinvestasi dalam pengembangan jalur tol. Dalam pada ini, maka peran perusahaan adalah selaku wakil dari anggota yang terlibat didalamnya. Sebagai wakil, sudah barang tentu perusahaan berhak mendapatkan fee (ujrah). Dan ujrah ini bisa diperoleh lewat premi biaya atau lewat kesepakatan klausul investasi antara perusahaan dan anggota. Sudah barang tentu akadnya ada di depan dan bisa diketahui oleh member saat ia mendaftar asuransi.
Sekali lagi yang perlu diingat adalah, bahwa dalam asuransi syariah, semua dana yang terkumpul lewat premi adalah dana peserta setelah dikurangi dengan fee untuk perusahaan atau jasa pengelolaan oleh perusahaan terhadap premi. Karena sudah dipungut biaya fee, maka pada saat penyaluran dana ketika terjadi pertanggungan risiko, sebenarnya perusahaan tidak mengeluarkan dana kas perusahaan. Dana yang dikeluarkan pada hakikatnya adalah dana premi milik dari peserta sendiri yang diamanahkan lewat dana investasi dan dana tabarru'. Itulah sebabnya, kadang besaran dana ini lebih besar dari total jumlah premi yang dibayarkan peserta. Dan sampai di sini, sejauh pengamatan penulis, tidak terdapat unsur riba di dalamnya. Wallâhu a'lam bish shawâb. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar