“Dan Engkau (Muhammad) tidak pernah membaca sesuatu Kitab pun sebelum adanya Al-Qur’an dan Engkau tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; sekiranya (Engkau pernah membaca dan menulis), niscara ragu orang-orang yang mengingkarinya.” (Surat Al-Ankabut ayat 48).
Zaid bin Tsabit adalah salah seorang sahabat yang cerdas dan cakap. Karena itulah, Nabi Muhammad mempercayakan posisi penulis wahyu kepada Zaid bin Tsabit. Tiap kali wahyu turun, Nabi Muhammad mendiktekannya kepada Zaid bin Tsabit. Zaid kemudian langsung menghafal dan menuliskannya ke pelepah kurma, kulit hewan, batu, dan lainnya.
Di samping itu, Nabi Muhammad juga menugaskan Zaid bin Tsabit untuk menulis surat-surat untuknya. Nabi mendikte dan Zaid kemudian menuliskannya. Jika penerima surat tidak berbahasa Arab, maka tugas Zaid bin Tsabit adalah menerjemahkannya ke dalam bahasa mereka. Oleh sebab itu, Zaid bin Tsabit dituntut menguasai banyak bahasa.
Merujuk pada Hayatush Shahabah (Syekh Muhammad Yusuf Al-Kandahlawi, 2019), Nabi Muhammad pernah memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mempelajari aksara Yahudi. Hal itu bermula ketika suatu hari orang-orang yang tengaha menghadap Nabi berkata bahwa ada seorang anak dari Bani Najjar–salah satu suku Yahudi yang mendiami Jazirah Arab–telah menghafal 17 Surat Al-Qur’an. Nabi takjub setelah mendengar anak tersebut membaca Al-Qur’an.
Setelah itu, Nabi Muhammad memerintahkan Zaid bin Tsabit yang saat itu berada di sampingnya untuk mempelajari aksara Yahudi, baik lisan maupun tulisan. Alasannya, agar Zaid bin Tsabit bisa menerjemahkan kata-kata yang disampaikan Nabi Muhammad ketika berinteraksi dengan orang Yahudi, baik dalam hal surat-menyurat atau pun berpidato di hadapan mereka.
“Wahai Zaid, pelajarilah untukku aksara Yahudi, karena demi Allah, aku tidak merasa aman terhadap suratku dari orang Yahudi,” kata Nabi Muhammad.
Zaid bin Tsabit kemudian mempelajari aksara Yahudi. Dalam kurun waktu setengah bulan, dia berhasil menguasainya dengan baik, baik lisan maupun tulisan. Jika Nabi Muhammad hendak mengirimkan surat kepada komunitas Yahudi, maka Zaid bin Tsabit menuliskannya. Zaid juga yang menerjemahkan ketika Nabi Muhammad menerima surat dari mereka.
Tidak hanya itu, Nabi Muhammad juga memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mempelajari bahasa-bahasa asing lainnya seperti Bahasa Suryani. Karena pada saat itu, Nabi tengah menerima surat dari suku yang berbahasa Suryani. Sementara para sahabat tidak ada yang memahami bahasa tersebut.
“Telah datang kepadaku surat, dan aku tidak ingin dibaca sembarang orang. Nah, bisakah engkau (Zaid bin Tsabit) mempelajari aksara Ibrani—atau beliau mengatakan; aksara Suryani?” tanya Nabi Muhammad.
Zaid menyanggupi permintaan Nabi. Dia kemudian berhasil menguasai bahasa tersebut setelah mempelajarinya selama 17 malam.
Dalam mendakwahkan Islam, Nabi Muhammad tidak hanya menyampaikannya secara langsung di hadapan umatnya tapi juga melalui surat-menyurat. Biasanya Nabi menggunakan metode dahwah tersebut untuk mengajak para raja-raja di wilayah Jazirah Arab dan sekitarnya agar memeluk Islam.
Di antara raja-raja yang Nabi Muhammad pernah mengirimkan surat kepada mereka adalah Muqawqis (Raja Qibthi di Mesir), Heraclius (Kaisar Romawi Timur), Raja Najasyi (Penguasa Habasyah), Gassan Jabalah bin Aiham (Raja Thaif), Negus (Penguasa Abessinia), Munzir bin Sawi (Penguasa Bahrain), Kisra (Penguasa Persia), dan lainnya.
Tentu saja, para raja tersebut tidak semuanya berbahasa Arab. Oleh sebab itu, Nabi perlu memiliki penulis pribadi yang menguasai bahasa-bahasa mereka. Sehingga pesan yang hendak disampaikan Nabi Muhammad bisa dipahami mereka. Dan penulis pribadi Nabi yang menguasai banyak bahasa adalah Zaid bin Tsabit. []
(Muchlishon)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar