الم
Alif lām mīm.
Keutamaan Surat Al-Baqarah Ayat 1
‘Alif,’ ‘lam,’ dan ‘mīm’ merupakan ayat Al-Qur’an. Dengan demikian, pembacaannya termasuk mengandung keutamaan yang luar biasa. Keutamaan membaca Al-Qur’an disebutkan oleh Rasulullah dalam beberapa riwayat berikut ini:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم : مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَة والحسنةُ بعشر أمثالِهَا لاَ أَقُولُ الم حَرْفٌ ، وَلَكِن أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَالْمِيمُ حَرْفٌ
Artinya, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Siapa saja yang membaca satu huruf kitab suci, maka ia memperoleh sebuah kebaikan karenanya. Sedangkan setiap satu kebaikan berlipat sepuluh. Aku tidak mengatakan ‘alif lam mīm’ itu satu huruf, tetapi ‘alif’ satu huruf, ‘lam’ satu huruf, dan ‘mīm’ satu huruf,’” (HR Bukhari fit Tarikh Al-Kabir, At-Tirmidzi, Al-Hakim, Al-Baihaqi).
Ragam Tafsiran Ulama atas Surat Al-Baqarah Ayat 1 Alif lām mīm disebut juga huruf tahaji (huruf hijaiyah), huruf muqattha’ah (huruf yang terpisah), fawatihur suwar (huruf-huruf pembuka surat). Banyak sekali pandangan ulama terhadap ayat ini. Sebagian mengartikan ayat ini sebagai singkatan dari Allah, Jibril, dan Nabi Muhammad; dan banyak lagi tafsiran lainnya. Karena tidak ada ukuran dalam memahami ayat ini, Tafsir Jalalain kemudian menyerahkan tafsirannya kepada Allah. “(Alif lām mīm) Allāhu a‘lamu bi murādihī bi dzālika.”
Kalau ayat Al-Qur’an dibagi atas muhkam (maknanya jelas) dan mutasyabih (maknanya samar), Surat Al-Baqarah ayat 1 ini dikelompokkan oleh sebagian ulama ke dalam mutasyabih. Syekh Wahbah Az-Zuhayli dalam At-Tafsirul Munir menyebut alif lām mīm sebagai huruf terpisah dan bersifat mabni, bukan mu’rab. Dengan kata lain, alif lām mīm tergolong statis tanpa infleksi atau perubahan gramatikal.
Surat Al-Baqarah ayat 1 memiliki kasus serupa dengan semua huruf hijaiyah yang menjadi pembuka surat dalam Al-Quran (misalnya alif lām rā, qāf, kāf hā yā ‘aīn shād, nūn, yāsīn, shād, thāhā, hā mīm, alif lām mīm shād, ‘aīn sīn qāf). (Az-Zuhayli, 1418 H).
Abu Sa’ud dalam Tafsir Irsyadul Aqlis Salim ila Mazayal Kitabil Karim mencoba mencatat upaya ulama tafsir dalam menafsirkan huruf-huruf pembuka surat tertentu dalam Al-Qur’an. Sebagian ulama mengartikannya sebagai pengetahuan tertutup dan rahasia tersembunyi. Sahabat Abu Bakar As-Shiddiq mengatakan, “Setiap sesuatu memiliki rahasia. Rahasia Al-Qur’an adalah huruf-huruf di awal surat.” Sedangkan Sahabat Ali bin Abu Thalib mengatakan, “Setiap kitab mengandung (kata) pilihan. (Kata) pilihan dalam kitab suci ini adalah huruf tahaji (hijaiyah).”
Sahabat Ibnu Abbas RA mengatakan, “Ulama lemah untuk menggapai(makna)nya.” Sementara As-Sya‘bi ketika ditanya soal Surat Al-Baqarah ayat 1 menjawab, “(Ia) rahasia Allah. Jangan kalian usut maknanya.” Ada ulama tafsir berpendapat, alif lām mīm adalah salah satu asma atau sifat-Nya. Ada juga yang berpendapat, setiap huruf menunjukkan pada asma atau sifat-Nya. Ada lagi yang menafsirkan, ia adalah sifat af‘al. Alif nikmat-Nya. Lām kelembutan-Nya. Mīm kemuliaan dan kuasa-Nya sebagaimana pendapat Muhammad bin Ka‘ab Al-Qurazhi.
Ada ulama menafsirkan dari segi itungan. Ada juga ulama yang mencoba menafsirkan, alif Allah, lām Jibril, dan mīm Muhammad, yaitu Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril AS. Sebagian ulama menafsirkan huruf-huruf itu sebagai sumpah Allah karena kemuliaan huruf-huruf tersebut sebagai pokok bahasa, landasan kitab suci, dan fondasi asma-Nya. Ada lagi ulama menafsirkan alif lām mīm sebagai isyarat pada akhir pembicaraan dan awal pembicaraan baru, serta banyak lagi tafsiran ulama perihal ini. (Abus Sa’ud Al-Hanafi).
Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an mengatakan bahwa ulama tafsir berbeda pendapat mengenai huruf-huruf awa’ilus suwar atau fawatihus suwar seperti alif lām mīm dan yang lainnya.
Amir As-Sya‘bi, Sufyan At-Tsauri, dan sekelompok ulama ahli hadits mengatakan, alif lām mīm terbilang rahasia Allah di dalam Al-Qur’an. Allah memiliki rahasia pada setiap kitab suci-Nya. Ayat ini terbilang ayat-ayat mutasyabih yang hanya diketahui makna persisnya oleh Allah. Kita tidak wajib membicarakan atau menafsirkannya, tetapi wajib mengimani dan membacanya sebagaimana apa adanya. Pandangan ini dikutip dari Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq dan Sayyidina Ali bin Abu Thalib.
Sahabat Umar, Ustman, dan Ibnu Mas’ud, seperti diriwayatkan Abul Laits As-Samarqandi, mengatakan, huruf-huruf di awal surat itu termasuk rahasia yang tidak dapat dijelaskan. Abu Hatim berpendapat, kita tidak menemukan huruf-huruf terpisah pada Al-Qur’an kecuali pada awal-awal surat. Kita juga tidak mengetahui maksud Allah dengannya.
Ar-Rabi bin Khutsaim mengatakan, Allah menurunkan Al-Qur’an. Dia merahasiakan sebagiannya yang dikehendaki dan memperlihatkan kalian sebagian lain yang dikehendaki-Nya. Mana yang dirahasiakan, kalian tidak akan menjangkaunya dan kalian tidak dimintakan pertanggungjawabannya. Sedangkan pada ayat yang diperlihatkan, kalian akan dimintakan pertanggungjawabannya dan dikabarkannya. Tidak setiap ayat Al-Qur’an dapat kalian ketahui. Tidak setiap yang kalian ketahui dapat diamalkan.
Abu Bakar mengatakan, ini jelas bahwa huruf-huruf pada Al-Qur’an itu menutup maknanya dari segenap alam sebagai cobaan dan ujian dari Allah. Siapa saja yang mengimaninya, niscaya diberi pahala dan berbahagia. Siapa saja yang mengingkari dan meragukannya, niscaya ia akan berdosa dan menjauh dari petunjuk-Nya. Abu Yusuf Al-Qadhi meriwayatkan dari Abdullah, “Tiada keimanan seseorang yang melebihi keutamaan terhadap yang ghaib,” lalu ia membaca Surat Al-Baqarah ayat 3.
Adapun menurut saya, kata Al-Qurthubi, semua penafsiran yang mengarahkan alif lām mīm pada kelompok mutasyabih dan kedudukannya itu shahih. Sebagian besar ulama mengatakan, kita wajib membicarakan ayat alif lām mīm ini dan mengambil manfaat yang terkandung di baliknya serta menarik makna yang dapat keluar darinya. Ibnu Abbas dan Ali mengatakan, huruf-huruf ini merupakan asma Allah yang agung. Hanya saja kita tidak mengetahui susunannya. (Al-Qurthubi, 1964 M).
Muhammad bin Ali At-Tirmidzi mengatakan, Allah telah menitipkan kandungan hukum dan kisah umat terdahulu dan kehidupan akhirat pada surat-surat Al-Qur’an melalui huruf-huruf hijaiyah di awal surat. Kandungan itu hanya diketahui oleh para nabi dan para wali. Tetapi kemudian Allah menjelaskannya setelah ayat itu dengan seisi surat agar dapat dimengerti oleh masyarakat pada umumnya. (Al-Qurthubi, 1964 M).
Sahabat Ibnu Abbas RA mengatakan, makna alif lām mīm adalah ana Allāhu a‘lamu atau “Aku Allah lebih tahu.” (Ibnu Katsir) Abul Aliyah mengenai ayat ini mengatakan bahwa tiga huruf ini termasuk dalam 29 huruf pembentuk bahasa yang diucapkan bangsa Arab. Tidak ada satu huruf kecuali kunci asma Allah, nikmat dan bala-Nya, dan bilangan keberlangsungan serta akhir kaum tersebut.
Sebagian ahli bahasa Arab, dikutip dari At-Thabari, mengatakan, alif lām mīm dianggap sebuah huruf hijaiyah (meski terdiri atas tiga huruf) sehingga cukup untuk mewakili huruf lainnya yang berjumlah 28 huruf disebutkan di awal surat. Seperti seseorang mengatakan, “Anakku menulis alif, ba, ta, tsa.” sehingga tidak perlu menyebutkan keseluruhannya. (Ibnu Katsir)
Menurut saya, kata Ibnu Katsir, kumpulan semua huruf (misalnya alif lām mīm, alif lām rā, qāf, kāf hā yā ‘aīn shād, nūn, yāsīn, shād, thāhā, hā mīm, alif lām mīm shād, ‘aīn sīn qāf) dengan menghilangkan pengulangannya terdiri atas 14 huruf hijaiyah yang bila digabung menjadi nash hakim qāthi lahū sirrun (teks Tuhan pasti mengandung rahasia).
Angka 14 merupakan separuh bilangan huruf hijaiyah yang terdiri atas 28 huruf. Huruf yang disebutkan pada awal Surat Al-Qur’an lebih agung daripada yang tidak disebut pada awal. Penjelasan ini dapat ditemukan pada kajian tashrif atau sharaf, morfologi Arab.
Ibnu Katsir juga mengutip Az-Zamakhsyari, empat belas huruf di awal surat Al-Qur’an mengandung separuh jenis huruf, yaitu huruf yang dibaca perlahan, lantang, lembut, keras, tertutup, terbuka, tinggi, rendah, dan qalqalah. Ia menyebutnya secara terpisah, “Maha suci Allah yang hikmah-Nya tersembunyi pada segala sesuatu.” Semua jenis yang terhitung itu berjumlah tiga puluh yang disebutkan sebagiannya. Tetapi aku yakin, mayoritas dan umumnya sesuatu itu mewakili keseluruhannya.
Yang jelas, kata Ibnu Katsir, ulama tidak pernah sepakat dalam menafsirkan ayat-ayat yang berisi huruf terpisah di awal sejumlah surat Al-Qur’an. Mereka berbeda pendapat. Jadi, mana pendapat ulama yang menurut kita cukup klir, kita dapat mengikutinya. Tetapi jika penafsiran mereka juga belum klir, sebaiknya kita menunda penerimaan penafsiran atas ayat-ayat tersebut sampai ketemu penafsiran yang klir.
Ada juga ulama yang menafsirkan, huruf-huruf ini disebut di awal sejumlah surat Al-Qur’an sebagai penjelasan atas i’jazul (kemukjizatan) Qur’an. Manusia tidak berdaya menentangnya dengan kalimat serupa. Sementara ayat-ayat seperti ini tersusun atas huruf terpisah yang ditujukan kepada mereka. Oleh karena itu, huruf-huruf ini disebutkan di awal surat sebagai pembelaan, kemukjizatan, dan keagungan Al-Qur’an berdasarkan cara berpikir induksi. Huruf-huruf pembuka ini terdapat pada 29 surat dalam Al-Qur’an. (Ibnu Katsir), (As-Shabuni, 1999: 31).
Asbabun Nuzul Surat Al-Baqarah Ayat 1
Quthrub, Al-Farra, dan ulama lainnya mengatakan, alif lām mīm merupakan isyarat pada huruf hijaiyah yang ingin dikabarkan Allah kepada bangsa Arab ketika Allah menantang mereka dengan Al-Qur’an yang tersusun dari huruf-huruf hijaiyah yang juga material dasar bahasa mereka agar hujjah atas ketidakberdayaan mereka sangat tampak karena tantangan itu tidak keluar dari bahasa mereka sendiri.
Quthrub mengatakan, masyarakat musyrik Arab awalnya menjauh ketika mendengarkan Al-Qur’an. Tetapi ketika mendengar “alif lām mīm” dan “alif lām mīm shād”, mereka mengingkarinya. Setelah mereka diam, Rasulullah SAW mendatangi mereka dengan Al-Qur’an yang tersusun (dari material huruf yang sama dengan bahasa mereka) untuk menetapkan pendengaran serta telinga mereka, dan menegakkan hujjah terhadap mereka. (Al-Qurthubi, 1964 M).
Sebagian ulama meriwayatkan bahwa masyarakat musyrik di Makkah ketika berpaling dari lantunan Al-Qur’an mengatakan, “Jangan kalian mendengarkan Al-Qur’an. Abaikan saja,” lalu turun ayat ini agar dapat menarik perhatian mereka karena terdiri atas bunyi yang tidak lazim sehingga mereka mau membuka telinga dan mendengarkan Al-Qur’an setelahnya. Dari sana kemudian hujjah tegak terhadap mereka. (Al-Qurthubi, 1964 M). Tetapi pandangan ini menurut Ibnu Katsir agak lemah. Pasalnya, Surat Al-Baqarah turun di Madinah. Wallahu a‘lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar