Senin, 15 November 2021

KH Nahrawi Abdussalam, Santri Betawi yang Disegani Ulama Timur Tengah (Bagian 1)

Bagi masyarakat Islam di Jabotabek, khususnya masyarakat Betawi, nama Dr KH Ahmad Nahrawi Abdus Salam atau Syekh Dr Ahmad Nahrawi Abdus Salam (Pak Awi atau Pak Doktor) sudah tidak asing lagi. Ia merupakan seorang kiai kenamaan yang dikenal sangat alim dan tawadhu.

 

Kepribadiannya pun sangat ramah dan menghormati siapa saja. Ia juga sangat telaten dan sabar dalam membimbing masyarakat Islam di berbagai masjid, mushalla, dan majelis taklim di Jabotabek. (Nasrullah Ali-Fauzi dalam Mengenang Dr Nahrawi Abdus Salam, [Jakarta: Yayasan KH Abdul Mughni Kuningan: 13 Maret 1999], edisi khusus, halaman 2).

 

Saking luas dan tinggi ilmu agamanya, pengamat Betawi Ridwan Saidi, dalam sebuah bukunya, pernah menjuluki Dr Nahrawi sebagai “macan Betawi.” “Bukan karena keahliannya dalam bela diri silat atau berantem,” jelas Bang Ridwan, “Tapi karena keluasan ilmu agamanya.”

 

Kiai Nahrawi Abdussalam juga bersaudaraan dengan ulama NU asal Betawi, KH Abdul Razak Makmun (Rais Syuriyah PBNU 1967-1971). Kiai Nahrawi menggemari opor ayam seperti kue lapis, salah satu kue favorit anak-anak Betawi kala itu, terutama saat bersilaturrahim lebaran: enak dan legit, membuat orang penasaran dan ketagihan.

 

Kiai Nahrawi (Rais Syuriyah PBNU 1994-1999) diberikan gelar secara aklamasi oleh masyarakat Betawi–yang tidak mau kalah–dengan titel “guru besar” sebagai penghormatan yang tidak ternilai harganya. Disertasinya di Universitas Al-Azhar terkait qaul qadim dan qaul jadid mazhab Syafi'i dikutip untuk kepentingan akademisi dan fatwa, salah satunya Syekh Ali Jumah.

 

Pendidikan Masa Kecil hingga Remaja

 

Ketika lahir di Pedurenan Karet Haji Cokong (sekarang terletak di belakang Jalan HR Rasuna Said Kuningan, Jakarta Selatan) Ahad, 30 Agustus 1931 M, yang bertepatan dengan tanggal 16 Rabiul Akhir 1350 H, nama yang diberikan orang tuanya adalah Ahmad Nahrawi Abdussalam. Nama Abdussalam adalah nama bapaknya, H Abdus Salam, yang merupakan keturunan Maroko. Adapun ibunya adalah Nadjmiah, anak ketiga (dari lima bersaudara) dari istri pertama Guru Mughni Kuningan yang memiliki delapan istri. (wawancara dengan putri sulungnya, Amirah Nahrawi, di rumahnya, Senin, 24 Juni 2019).

 

Guru Mughni Kuningan yang memiliki nama asli Abdul Mughni bin Sanusi bin Ayyub bin Qais adalah salah seorang dari enam guru Betawi yang terkemuka (the six teachers) yang memiliki peran dan pengaruh besar dalam pembinaan umat Islam di zamannya, khususnya bagi masyarakat Betawi. (Rakhmad Zailani Kiki, Genealogi Intelektual Ulama Betawi: Melacak Jaringan Ulama Betawi dari Awal Abad Ke-19 sampai Abad Ke-21, [Jakarta, Jakarta Islamic Centre: 2018 M], cetakan keempat, halaman 68).

 

Untuk pendidikannya di masa kecil, dia dimasukkan oleh ayahnya yang memang tergolong orang berada di lingkungan Pedurenan saat itu, ke sekolah taman kanak-kanak (TK) Belanda di Cikini. Setelah tamat TK, Kiai Nahrawi melanjutkan pendidikannya ke Hollandsch Inlandsche School, sekolah Belanda untuk bumiputera (HIS) di daerah Petojo dan kemudian pindah ke Gang Kernolong, Kwitang.

 

”Untuk ukuran anak Betawi saat itu, saya jelas lebih beruntung dari yang lain. Sebab saya bisa sok aksi berbahasa Belanda di depan kawan-kawan, walaupun sebetulnya masih blepotan,” kenang Kiai Nahrawi yang mendukung gerakan politik Gus Dur di awal tahun 2000an. (Nasrullah Ali-Fauzi, 1999: 2).

 

Seperti anak-anak Betawi lainnya yang saat itu dikenal sangat ketat pendidikan agama Islamnya, ia juga rajin mengaji dan mendalami ilmu-ilmu keislaman, seperti Al-Quran, hadits, nahwu, sharaf, fara’id, ilmu falak, dan lain-lain.

 

Menurut pengakuannya, salah seorang ulama Betawi yang sangat berjasa dalam mengajarkan dasar-dasar agama kepadanya adalah KH Abdullah Suhaimi (ayah dari KH Abdul Azim). ”Dari A sampai Z, saya ngaji di Guru Abdullah, walaupun masih kecil,” ujarnya.

 

Rupanya, ia termasuk anak-anak yang berotak encer alias cerdas sehingga dalam mengikuti pelajaran apapun ia tidak pernah merasa kesulitan, bahkan selalu menduduki ranking teratas. Begitu pula kemampuannya dalam berpidato.

 

Karena sering diajak muludan (acara Maulid Nabi Muhammad SAW) terutama oleh KH Abdul Razak Makmun, yang waktu itu dikenal sebagai ”singa podium”, akhirnya Nahrawi pun kecipretan (terkena) bakat.

 

”Saya sering disuruh tampil berpidato di mana-mana. Dan enaknya kalau pulang diberkatin Duren Gandaria,” ceritanya. Oleh karena itu, Kiai Nahrawi waktu itu sudah dikenal sebagai mubalig cilik.

 

Kiai Nahrawi kemudian meneruskan pendidikannya ke sekolah Jamiatul Khair, Tanah Abang, Jakarta dan Madrasah Unwanul Falah sampai tingkat SLTA. Ketika belajar di Jamiatul Khiar, Tanah Abang, ada ketentuan bahwa siapa pun yang berturut-turut menempati ranking teratas akan dikirim ke Mesir dengan biaya dari rabithah.

 

Tak diragukan lagi, jatah beasiswa itu jatuh kepada dirinya yang memang selalu mendapatkan ranking teratas di kelasnya secara berturut-turut. Betapa senangnya dia, namun ketika itu di Mesir sedang perang sehingga pengiriman dirinya ke Mesir ditangguhkan.

 

”Harapan saya waktu itu hampir pupus. Tapi, alhamdulillah, semangat belajar saya tidak hilang bahkan semakin bertambah dengan belajar sendiri,” kenangnya. (bersambung...)

 

(Rakhmad Zailani Kiki)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar