Selasa, 02 November 2021

(Ngaji of the Day) Halal-Haram Produk Daging Hasil Kultur Laboratorium

Ilmu pengetahuan telah berkembang sedemikian pesatnya, menjangkau semua relung kehidupan. Hasil rekayasa dengan basis penggunaan kemajuan ilmu pengetahuan untuk kemaslahatan kehidupan manusia ini selanjutnya kita kenal dengan istilah teknologi.

 

Karena menggunakan ilmu pengetahuan, maka terkadang hasil pengembangan teknologi ini menjadikan sesuatu yang sebelumnya seolah mustahil, ternyata bisa diwujudkan. Misalnya, jika dulu orang menanam itu harus dari biji, maka dengan berbekal teknologi dan ilmu pengetahuan mengenai sel, usaha menanam itu tidak perlu lagi menggunakan biji. Cukup, dengan mengambil sampel jaringan tanaman, lalu pergi ke laboratorium, menyediakan media untuk pengembangbiakan jaringan, dan terakhir dengan menanamkan jaringan itu pada media yang sudah disiapkan, tumbuhlah tanaman dengan cepat. Teknologi ini dikenal dengan istilah teknologi kultur jaringan (bioculture).

 

Dari sini, muncul sisi etis yang kemudian diperdebatkan, yaitu ketika teknologi kultur jaringan tersebut menyasar ke objek berupa hewan atau manusia. Hari ini, penulis akan menyajikan satu permasalahan seputar daging ayam in vitro yang dikembangbiakkan di Singapura.

 

Prinsip pengerjaan kultur daging ini adalah sama persis dengan teknologi kultur jaringan pada tumbuhan. Bedanya, jaringan yang hendak dikultur adalah jaringan hewan, yang bisa diperoleh dari bagian tubuh hewan.

 

Sisi permasalahan etis dari kultur jaringan ayam ini adalah karena bagi seorang Muslim, daging yang halal untuk dimakan itu harus memenuhi kategori hewan yang disembelih dan ma’kul al-lahmi (bisa dikonsumsi dagingnya). Adapun daging in vitro, bahannya bisa diperoleh dari dua, yaitu: (1) bisa dari hewan yang masih hidup, dan (2) bisa dari hewan yang sudah disembelih, atau (3) hewan yang barusan mati tanpa disembelih.

 

Sesuatu yang Terpotong dari Hewan

 

Ada dua konsep dalam syariat bahwa segala sesuatu yang terpotong dari hewan, hukum asalnya ada 2, yaitu:

 

Pertama, ia berstatus bangkai (maitah). Status ini berlaku apabila sebuah bagian tubuh terpotong dari hewan dalam kondisi masih hidupnya, atau hewan itu bukan berasal dari kategori ma’kul al-lahmi (yang halal dimakan), atau bahkan hewan itu sudah mati tanpa disembelih.

 

Kedua, ia berstatus sebagai halal, sebab ia diambil dari hewan yang sudah disembelih, kecuali bangkai ikan dan belalang. Khusus untuk kedua hewan terakhir, hukumnya adalah halal karena adanya nash.

 

Sel dan Status Hidupnya dalam Media Kultur

 

Kultur jaringan daging ayam secara in vitro, dilakukan dengan mengambil sampel yang terdiri dari sel atau jaringan daging ayam. Sel itu kemudian dikultur dalam sebuah media, dan dari situ lalu tumbuh mengembang menjadi seonggok daging tanpa kepala, tulang, atau anggota tubuh yang lain. Yang jadi pokok kajian adalah status daging yang tumbuh dari sel ini: apakah berstatus sebagai bangkai ataukah berstatus sebagai hewan yang hidup? Jika berlaku sebagai hewan yang hidup, maka harus disembelih agar menjadi halal. Tapi bagaimana cara menyembelihnya? Ini adalah pokok landasannya.

 

Sudah barang tentu, dalam hal ini, maka diperlukan telaah terhadap status hidup sel tersebut. Berdasarkan teori, setiap sel makhluk hidup itu adalah memiliki status hidup. Lalu mau dihukumi sebagai hidup yang bagaimana bagi sel tersebut? Apakah termasuk hayatan mustaqirrah (hidup yang bersifat tetap), ataukah hayatan madzbuhah (hidup seperti disembelih)?

 

Berangkat dari sini, kita harus melakukan penelitian literasi secara mendalam mengenai kehidupan sel. Secara urfy dan teori, apabila kita berbicara mengenai bertambahnya jumlah sel makhluk hidup, maka kita dihadapkan pada kosakata “pertumbuhan.”

 

Berdasar literasi, kata “pertumbuhan” ini berasal dari akar kata “tumbuh” (al-namu) dan “tumbuhan” (al-nabat). Jadi, secara bahasa, kehidupan sel itu beririsan dengan istilah “tumbuhan.” Alhasil, secara aqly, sel itu memiliki pola hidup seperti tumbuhan (hayat al-nabat). Untuk memastikan hal ini mari kita buktikan berdasar literasi keislaman kita!

 

Di dalam sebuah kitab Syarah Mukhtashar al-Kharaqy, Juz 6 halaman 10, disampaikan:

 

والحيوان الحي ينمو، والنبات الحي ينمو، فهل حياة الشعر مثل حياة النبات، أو مثل حياة الحيوان؟ أقرب ما يكون إلى حياة النبات، فيلحق بأقرب الأصلين شبهاً

 

“Hewan hidup secara tumbuh. Tumbuhan hidup juga dengan jalan tumbuh. Apakah rambut hewan itu termasuk memiliki hidup seperti tumbuhan, ataukah seperti hewan? Jawaban yang paling mendekati dalam hal ini adalah ia dikelompokkan dalam hidup seperti tumbuhan (hayat al-nabat). Oleh karenanya, kepada tumbuhanlah rambut itu dianalogikan berdasarkan dua ciri khas kehidupan itu.” (Syarah Mukhtashar al-Kharaqy, juz 6, h. 10).

 

Berdasarkan ibarat ini, maka dapat diketahui status hidupnya daging yang tumbuh dari sel yang dikultur itu. Perkembangan daging itu menduduki status pertumbuhan layaknya hayati al-nabat, dan bukan hayati al-hayawan. Alhasil, tidak memerlukan upaya penyembelihan.

 

Jadi, Halalkah Daging Ayam In Vitro itu?

 

Untuk menentukan halal-haramnya daging in vitro, sudah pasti memerlukan upaya menelaah asalnya sel itu diambil (diinokulasi). Kita sudah membahas mengenai keharaman sesuatu yang terpotong dari hewan yang masih hidup, serta sudah mendasarkan kehalalan sesuatu yang diambil dari makhluk hidup yang sudah disembelih.

 

Oleh karena sumber sel itu bisa memungkinkan berasal dari sumber di atas, maka hukum daging in vitro itu bisa diperinci sebagai berikut:

 

1.     Hukum daging in vitro itu adalah haram bila sel yang dikultur berasal dari hewan yang masih hidup. Alasannya, karena setiap sel, jaringan atau bagian tubuh yang diperoleh dari hewan yang masih hidup masuk kategori bangkai

2.     Hukumnya halal bila sel yang dikultur berasal dari hewan yang halal dan sudah disembelih secara syar’i.

 

Hukum ini berangkat dari penjelasan ilmiah menurut ilmu biologi bahwa sel merupakan satu kesatuan yang menyusun tubuh hewan. Alhasil, sel yang lepas baik secara disengaja atau tidak disengaja dari hewan yang masih hidup atau mati, menempati juz munfashil (anggota tubuh yang terpisah) bagi makhluk hidup. Oleh karenanya berlaku ketetapan:

 

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: {ما قطع من البهيمة ، وهي حية ، فهو ميتة}

 

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: segala yang terpotong dari hewan yang masih hidup, maka menempati derajat bangkai.”

 

Wallahu a’lam bish-shawab. []

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Aswaja NU Center – PWNU Jawa Timur; sarjana biologi UIN Malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar