Selasa, 30 Januari 2018

(Do'a of the Day) 13 Jumadil Awwal 1439H



Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Subhaanallaahi 'adada ma khalaqa fissamaa, wa subhanaanallaahi 'adada ma khalaqa fil ardhi, wa subhanaanallaahi 'adada ma baina dzaalik, wa subhanaanallaahi 'adada ma huwa khaaliqun.

Maha Suci Allah sebilang apa-apa yang Dia ciptakan di langit. Maha Suci Allah sebilang apa-apa yang Dia ciptakan di bumi. Maha Suci Allah sebilang apa yang terdapat di antara keduanya, dan Maha Suci Allah sebilang makhluk yang Dia ciptakan.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 1, Bab 1.

(Tokoh of the Day) KH. Ahmad Hanafiah, Kota Sukadana, Kabupaten Lampung Timur - Lampung



KH. Ahmad Hanafiah, Ulama Pejuang dari Lampung


KH Ahmad Hanafiah adalah seoang pejuang kemerdekaan sekaligus ulama berpengaruh dari Kota Sukadana, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. Ia lahir pada tahun 1905 di Kecamatan Sukadana, Kabupaten Lampung Tengah. Wilayah tersebut sekarang dimekarkan menjadi Kabupaten Lampung Timur. KH Ahmad Hanafiah adalah putra sulung KH Muhammad Nur, pimpinan Pondok Pesantren Istishodiyah di Sukadana yang menjadi pondok pesantren pertama di Provinsi Lampung.

Semasa hidupnya, KH Ahmad Hanafiah telah berjuang mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari cengkeraman penjajah di tanah Lampung. Ia pernah mengenyam pendidikan pemerintahan di daerahnya, Sukadana.

Ia belajar agama Islam kepada ayahnya. Juga pernah belajar di sejumlah pondok pesantren di luar negeri, seperti di Malaysia dan Mekah maupun Madinah. Semenjak umur lima tahun, KH Ahmad Hanafiah sudah khatam membaca al-Qur'an.

Ayahandanya adalah sosok ulama besar yang lama menimba ilmu di Tanah Suci. Kegemaran menuntut ilmu sang ayah rupanya menurun kepada sosok Ahmad Hanafiah. 

Hal ini terbukti pada jejak kehidupan selanjutnya. Setelah sempat mengabdi menjadi guru Agama Islam dari tahun 1920-1925, Ahmad Hanafiah melanjutkan pendidikan ke Pesantren Kelantan Malaysia, dari tahun 1925-1930.

Tidak cukup di Kelantan, usai menuntaskan pelajarannya di negeri jiran, dia pun melanjutkan perjalanan menuntut ilmu ke Mekah. Namun, Ahmad Hanafiah tidak langsung mencapai Mekah. Dalam perjalanan menuju Tanah Suci, ia singgah di India dan mendalami Ilmu tarekat.

Ia sampail di Tanah Suci pada tahun 1930. Selanjutnya ia menuntut ilmu di Masjidil Haram hingga tahun 1936.

Ahmad Hanafiah telah menunjukkan kepemimpinannya sejak belia. Jiwa itu terus ada dan berkembang dalam dirinya, bahkan saat belajar di Tanah Suci. Hal itu dibuktikan dengan kemampuannya selama dua tahun menjadi Ketua Himpunan Pelajar Islam Lampung di kota Melah, Arab Saudi.

Di Mekah, Ahmad Hanafiah tidak hanya kuliah, tetapi juga mengajar ilmu pengetahuan agama Islam di Masjidil Haram pada tahun 1934-1936.

Sekembalinya ke Indonesia, ia aktif sebagai mubaligh di Lampung dan menjadi Ketua Serikat Dagang Islam (SDI)  di wilayah Kawedanan Sukadana (1937-1942). Kepiawaiannya mengatur organisasi bukan hanya di tingkatan konsep, melainkan juga manajemen yang rapi hingga ke akar rumput. 

Konsep Sarikat Dagang Islam diterapkannya bersama umat Islam di Sukadana dengan mengelola usaha-usaha akar rumput. Usaha mebel, home industry sabun, bahkan rokok kretek pun digalakkannya. Selain itu, Ahmad Hanafiah juga mengelola lembaga pendidikan. 

Dia adalah seorang ulama yang bukan hanya sibuk di bidang keillmuan, melainkan diterapkan dalam praktik dengan mendampingi masyarakat sekitar menumbuhkan ekonomi. Berbagai upaya membuat teknologi pertanian-pun dilakukan.

Selain itu KH Ahmad Hanafiah juga sosok ulama yang produktif dalam menghasilkan karya-karya yang abadi hingga kini masih terjaga, yaitu kitab Al-Hujjah dan kitab tafsir Ad-Dohri. Kedua kitab ini adalah bukti intelektualitas sang ulama yang diwariskan untuk generasi selanjutnya. 

Perjuangan Melawan Penjajah
Agresi Belanda tahun 1947 dengan melancarkan serangan serentak kepada sejumlah daerah di Indonesia, termasuk Provinsi Sumatera Selatan. Saat itu, Belanda pun mulai menyerang Lampung yang menjadi bagian dari Karesidenan Sumatera Selatan melalui jalur darat dari Palembang. Mereka sempat mendapat perlawanan dari kesatuan TNI, meskipun akhirnya Kota Baturaja dapat dikuasai Belanda.

Agresi tersebut memicu perlawanan laskar rakyat bersama TNI terhadap Belanda dalam pertempuran di Kemarung. Kemarung adalah suatu tempat hutan belukar yang terletak di dekat Baturaja ke arah Martapura, Sumatera Selatan. Di sinilah terjadi pertempuran hebat antara laskar rakyat melawan Belanda.

Perlawanan laskar rakyat tergabung dalam barisan Hizbullah dan Sabilillah yang bersenjatakan golok. TNI dan Laskar Hizbullah yang berencana menyerang Baturaja telah dibocorkan mata-mata, sehingga personel TNI mundur ke Martapura; sedangkan pasukan Laskar Hizbullah yang tengah beristirahat di Kemarung disergap Belanda dan terjadilah pertempuran hebat.

Anggota Laskar Hizbullah banyak yang gugur dan tertawan. Sementara KH Ahmad Hanafiah ditangkap hidup-hidup, kemudian dimasukan ke dalam karung dan ditenggelamkan di sungai Ogan. Karena itu hingga sekarang makamnya tidak diketahui.

Catatan peristiwa sejarah lainnya mengungkapkan bahwa KH Ahmad Hanafiah dikenal pemberani, ditakuti, dan disegani lawan. Ia dikabarkan kebal peluru. Ia juga sosok komandan Laskar Hizbullah yang rendah hati dan tidak mau menonjolkan diri. Ia selalu berjuang tanpa pamrih.

Ia diakui juga sebagai tokoh agama, ulama, pejuang, politisi, dan komandan perang yang dikenal sebagai laskar bergolok karena mereka selalu bersenjatakan golok ciomas saat bertempur.

KH Ahmad Hanafiah memiliki sejumlah pengalaman, di antaranya pada masa penjajahan Jepang, ia menjadi anggota Chuo sangi kai di Karesidenan Lampung tahun 1945-1946. Ia pun menjadi Ketua partai Masyumi dan pimpinan Hizbullah Kewedanan Sukadana.

Ia lalu menjadi anggota DPR Karesidenan Lampung  pada tahun 1946-1947. Ia Wakil Kepala merangkap Kepala Bagian Islam pada kantor Jawatan Agama Karesidenan Lampung sejak awal 1947.

Puncaknya, KH. Ahmad Hanafiah gugur di medan perang dalam upaya mempertahankan kemerdekaan RI dari aggressor Belanda menjelang malam 17 Agustus 1947 di Front Kamerung, Baturaja, Sumatera Selatan. 

(Muhammad Candra Syahputra/diolah dari berbagai sumber) 

(Hikmah of the Day) Rahasia Sayyidina Umar Hadapi Omelan Istri



Rahasia Sayyidina Umar Hadapi Omelan Istri

Diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki bernam Abu Abdillah datang kepada Sayidina Umar bin Khattab ra hendak mengadukan kepadanya perihal akhlak istrinya. Sampailah dia di kediaman Umar.

Tetapi pemuda itu tiba-tiba berhenti di pintu rumah Umar untuk menunggunya keluar. Ia tersentak mendengar suara istri Umar yang sedang memanjangkan lisannya (ngomel-ngomel) kepada sahabat bergelar al-Faruq (pembeda) itu. Sementara Abu Abdillah hanya terdiam membisu tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya guna merespon balik.

Lantas, dengan kenyataan yang ia temui, lelaki tadi bergegas dan pergi begitu saja seraya berkata, “Tatkala situasi Amirul Mukminin seperti ini, lantas bagaimana dengan situasi saya?” Hal itu ia ucapkan berulang-ulang (nggeremeng) sehingga Umar melihat dan memanggilnya,”Wahai lelaki, apa kebutuhanmu sehingga engkau sampai di sini?

“Wahai Amirul Mukminin, sebenarnya aku datang untuk mengadukan sesuatu tentang kelakuan istri saya yang kurang baik (menurut saya), suka ngomel ke saya. Apa boleh buat, istri engkau juga sama. Kemudian aku kembali dan berkata, “Tatkala situasi Amirul Mukminin saja seperti ini, lantas bagaimana dengan situasi saya?”

Kemudian Umar menimpali, “Wahai saudaraku, sungguh aku telah membebaninnya dengan hak-hak seperti memasak, membuat roti, mencuci pakaian dan menyusui anak-anakku, padahal itu bukanlah kewajiban atas istriku, dan aku tenang dengan keadaan itu membantuku jauh dari keharaman, dan aku menanggungnya (rela) karena hal-hal itu,” jelas Umar.

Akhirya, laki-laki tadi mengerti dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, seperti itulah istriku”. Umar menjawab, “Terimalah keadaan itu, toh hanya sebentar saja (ngomel-ngomelnya)”.

Saling memahami serta mengerti kekurangan dan kelebihan akan sangat mendukung kelanggengan sebuah rumah tangga. Perjalanan hidup kebanyakan tidak sesuai rencana. Sehingga luasya kesabaran seorang suami maupun istri akan bisa menggiring bahtera rumah tangga menuju pantai kebahagiaan.

Ada sebuah riwayat bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barang siapa (suami) sabar atas keburukan ahklak isterinya, maka Allah memberikan dia pahala sebanding pahala Nabi Ayyub as atas bala’ (cobaan) yang menimpanya. Dan barang siapa (istri) sabar atas keburukan ahklak suaminya, maka Allah limpahkan baginya pahala Asiyah istri Ramses.” (Irsyadul Ibad: 92) *****

Cerita ini diolah dari kitab "Irsyadul Ibad" karya Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz bin Zainuddin Al-Malibariy, tt, Al-Hidayah, Surabaya.

[]

(Ali Makhrus)

Kang Sobary: Kekuasaan Tanpa Keabsahan



Kekuasaan Tanpa Keabsahan
Oleh: Mohamad Sobary

Dalam sebuah film seri berjudul Singgasana Brama Kumbara, disiarkan radio secara bersambung dan dibikin pula film layar lebar pada akhir 1980-an dan sekarang film bagus itu bisa kita tonton lewat YouTube, dikisahkan kelakuan jahat Pangeran Mahkota Kerajaan Jala Tunda. Namanya Gelang Manik. Wataknya kriminal. Tindakannya kasar dan kejam. Pangeran ini gemar berjudi, mabuk-mabukan, merampok, membunuh, dan memerkosa perempuan di negerinya sendiri. Dia bersahabat dengan para bandit sakti yang menjadi andalannya untuk melindungi identitasnya.

Sebagai Putra Mahkota, dia merasa tak enak kalau tindakan-tindakan jahatnya kelihatan terbuka. Para penjahat itu tamengnya. Tapi, tameng tak selamanya bisa menutupi dengan baik tiap kejahatan yang dilakukannya. Sang Prabu Kerta Warma memperoleh laporan mengenai kebusukan Putra Mahkota. Pada suatu hari Tumenggung Darma Sandi menghadap sang Prabu untuk memohon keadilan karena istrinya diculik komplotan Gelang Manik. Pangeran itu dendam kepada Tumenggung yang dibencinya. Baginda Prabu murka. Pangeran Mahkota pun dijatuhi hukuman berat.

Sang Prabu malu. Status Gelang Manik dicabut. Dia tidak lagi berhak atas takhta. Tapi, Gelang Manik melawan. Komplotan para penjahat digerakkan. Sang Prabu diringkus dengan bantuan para begundalnya. Kemudian dipenjara seperti memperlakukan seorang penjahat. Ibunya yang marah dan tak mendukungnya juga dipenjara. Ibunya menyatakan bahwa Gelang Manik bisa saja naik takhta dengan menggunakan kekerasan yang bisa disebut pemberontakan dan makar, tapi statusnya sebagai raja tidak sah. Ayahnya telah mengantisipasi perkembangan keadaan dengan cara menyuruh putrinya sendiri untuk membawa lari pusaka-pusaka keraton keluar kerajaan.

Para preman sakti pendukung Gelang Manik disuruh mengejar orang-orang yang membawa pusaka-pusaka yang memberi legitimasi atas posisinya itu. Ringkasnya, pusaka-pusaka itu dibawa kembali ke keraton dan para penjahat itu bergembira ria. Satu yang mereka lupakan, sekutu sang Prabu, Suwarma pun bergerak cepat untuk mengambil kembali takhta kerajaan.

Di puncak acara penobatan atas dirinya oleh dirinya dan sekutu-sekutu jahatnya itu terjadi huru-hara hebat. Sang Prabu dibebaskan dari penjara. Para loyalis sang Prabu melawan para pendukung Gelang Manik. Keadaan kacau. Sang Prabu kembali memegang takhta yang direbut anaknya yang berhasil duduk di singgasana dalam beberapa saat yang penuh kegentingan.

Film ini memberi kita suatu renungan penting. Pertama, ini karya seni yang bagus, dan jika pemerintah mau menggunakannya untuk diplomasi kebudayaan, ini sarana yang bagus. Dan, ada beberapa film seri serupa misalnya Tutut Tinular yang luar biasa bagus untuk diplomasi. Film-film Korea kita kagumi setinggi langit. Tapi, film-film seri kita mungkin jauh lebih bagus, tapi pemerintah diam saja tak berkutik. Modal kebudayaan sehebat ini dibiarkan mati kependem di negerinya sendiri.

Kedua, film ini relevan dengan perkembangan politik mutakhir di negeri kita.  Kita menyaksikan begitu banyak politisi berebut jabatan dengan semangat yang penting menang, yang penting bertakhta, dan menikmati jabatan barunya tanpa peduli apakah dia mampu bekerja dengan baik. Ini bukan urusan. Naik takhta dalam suatu jabatan lebih penting. Bekal kemampuan bekerja untuk mengabdi negara dan bangsa dan rakyatnya tak menjadi pertimbangan.

Banyak anak muda negeri kita ini yang memiliki watak serakah, oportunis, dan siap bersekutu dengan Batari Durna dan Ruh Dasamuka yang gentayangan. Dua-duanya merupakan representasi dunia hitam. Tapi, banyak anak muda kita yang doyan bersekutu dengan mereka demi meraih jabatan. Sekali lagi, dalam pertarungan yang disebut pilkada, yang seolah demokratis itu, jabatan mereka tak bisa disebut sah. Mereka menggunakan kekuasaan, power, tanpa authority. Kalau menang, dia hanya menang, hanya berkuasa, tapi tanpa keabsahan. Orang-orang ahli ilmu politik bilang itu kekuasaan tanpa keabsahan. Preman berkuasa di mana-mana, tapi mereka tak didukung oleh legitimasi politik.

Politisi tua negeri kita beda jauh dibanding generasi 45 yang berisi kaum terpelajar, nasionalis tulen, dan berbakti pada bangsa dan negara. Mereka profesional. Generasi 66, terutama Orde Baru, berisi kaum  militer, maksudnya Angkatan Darat (saja), sebagian lainnya ekonom dan kaum sekolahan lainnya. Mereka pun profesional. Generasi sesudahnya, banyak anak sekolahan, tapi minus penghayatan mengenai makna berbakti pada bangsa dan negara. Mereka disebut profesional karena terpelajar. Sebagian lainnya pedagang. Ini pun disebut profesional, tapi mereka serakah.

Biarpun sudah tua, penghayatan terhadap makna mengabdi pada bangsa dan negara kelihatannya minim. Mereka berkuasa dan berdagang. Kekuasaannya terutama kelihatannya bukan untuk mengabdi pada bangsa, melainkan untuk bisnis keluarganya. Di sini kita tak memiliki catatan yang bisa membuat kita merasa berbahagia. Hiruk-pikuk perubahan politik hanya berarti bergantian posisi orang-orang yang pada dasarnya oportunis dan serakah tadi. Menjadi apa pun mereka, isinya hanya itu: oportunis dan serakah yang tak menyisakan harapan bagi bangsa, negara, dan rakyatnya.

Kaum oportunis itu pandai bicara, dan lebih pandai lagi memanipulasi keadaan yang secara politik sah, tapi secara moral, wajah mereka compang-camping seperti kaum hina-papa yang terbuang di jalanan. Harus dicatat segera bahwa politisi muda kita banyak yang serakah dan oportunis seperti itu. Mereka "berteduh" di bawah bayangan para senior. Sekarang partai-partai politik menjadi rebutan orang-orang serakah yang bisa menguasai beberapa partai sekaligus.

Kaum muda yang belajar dari yang tua-tua talk memperoleh wisdom kehidupan apa pun. Mereka hanya belajar cara menipu, mengecoh, memanipulasi. Dan tipologi seperti itu dikira barang baik. Kaum tua di politik kita juga menggunakan agama untuk tameng moral pribadinya. Mereka ikut organisasi sosial keagamaan yang berpengaruh. Ini tameng, tutup wajah, seperti Putra Mahkota menggunakan kaum kriminal dan para penjahat jalanan untuk tameng bagi identitas dirinya.

Pebisnis orang beragama, kaum profesional orang beragama. Politisi juga beragama. Ajaran yang tua-tua, agama bisa dipakai untuk memukul orang lain. Dia sendiri aman karena bernaung di bawah agama yang secara politik kuat dan penuh legitimasi. Kaum muda terpelajar, para pebisnis, politisi, birokrat, diajar yang tua-tua tentang cara berkuasa yang hebat. Pukul orang lain dengan agama, gunakan agama untuk membuat "kita" seperti suci, dan gunakan agama untuk mengutuk orang lain. Kutuk mengutuk bisa sangat efisien dalam jangka pendek, sekadar menipu calon pemilih agar memilih golongan kita.

Tak menjadi soal bahwa golongan kita yang kita pilih itu akhirnya dalam jangka panjang kelihatan menipu kita. Kemampuan mereka meracik kata dan ungkapan-serbapalsu dan menipu tanpa rasa malu-bisa memesona. Ini tipu daya yang bisa membuat orang tanpa legitimasi menduduki takhta dan berkuasa. Pengalaman buruk Pilkada DKI Jakarta tempo hari jelas mengoyak wajah dan harga diri kita. Apa bentuk tanggung jawab publik kita sesudah itu? Kelihatannya tidak ada. Apa yang memalukan dan merusak kepribadian kita itu sama sekali tak dianggap memalukan, tak dianggap merusak.

Kacamata orang tua sudah buram. Yang dilihat hanya kepentingan bisnisnya sendiri. Kaca mata kaum muda gelap gulita, tak ada barang yang tampak kecuali jabatan dan tahta. Bangsa kita ini sedang terjerumus ke dalam jurang kenistaan yang memalukan, tapi banyak yang tak malu. Mereka, yang tua, gaek, maupun yang muda, yang melihat secara oportunis: yang penting menang secara politis, lalu duduk di atas singgasana, dan berkuasa. Hanya itu yang diburu kaum oportunis. Itu wajah kekuasaan tanpa keabsahan. Berkuasa, tapi di mana-mana ditolak dan dituntut orang banyak, apa gunanya dalam politik? []

KORAN SINDO, 27 Januari 2018