Jumat, 19 Januari 2018

(Ngaji of the Day) Hukum Menyampaikan Hadits Dhaif, Tanpa Menjelaskan Statusnya



Hukum Menyampaikan Hadits Dhaif, Tanpa Menjelaskan Statusnya

Muhadditsin membagi hadits ke dalam tiga kategori: shahih, hasan, dan dhaif. Kategori ini dibagi berdasarkan kualitas hadits dengan ukuran kualitas perawi dan ketersambungan sanadnya. Kualitas hadits yang paling tinggi adalah shahih, kemudian hasan, dan terakhir dhaif. Menurut sebagian ulama, hadits dhaif ialah hadits yang tidak memenuhi persyaratan hadits shahih dan hasan.

Hadits dhaif tidak sama dengan hadits maudhu’, atau palsu. Hadits dhaif memang dinisbahkan kepada Rasulullah, tetapi perawi haditsnya tidak kuat hafalan ataupun  kredibilitasnya, atau ada silsilah sanad yang terputus. Sementara hadits maudhu’ ialah informasi yang mengatasnamakan Rasulullah SAW, tetapi sebenarnya bukan perkataan Rasulullah SAW.

Ulama sepakat bahwa mengamalkan hadits dhaif dibolehkan, selama tidak berkaitan dengan hukum halal dan haram, akidah, dan hanya sebatas fadha’il amal. Dengan demikian, menyampaikan hadits dhaif, seperti mengutip hadits dhaif dalam buku atau menyampaikannya dalam pengajian dan majelis taklim dibolehkan.

Hasan Muhammad Al-Masyath dalam Al-Taqriratus Saniyyah fi Syarahil Mandzumah Al-Bayquniyyah menjelaskan:

قد أجاز بعض العلماء رواية الحديث الضعيف من غير بيان ضعفه بشروط: أولا أن يكون الحديث في القصص أو المواعظ أو فضائل الأعمال أو نحو ذلك مما لا يتعلق بصفة الله والعقائد والا بالحلال والحرام وسائر الأحكام الشرعية وأن لا يكون الحديث موضوعا أو ضعيف شديد الضعف

Artinya, “Sebagian ulama membolehkan periwayatan hadits dhaif tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan beberapa syarat: hadits tersebut berisi kisah, nashat-nasihat, atau keutamaan amalan, dan tidak berkaitan dengan sifat Allah, akidah, halal-haram, hukum syariat, bukan hadits maudhu’, dan tidak terlalu dhaif.”

Merujuk pada pendapat ini, para dai dibolehkan untuk menyampaikan hadits yang berkaitan dengan kisah-kisah dan motivasi dalam ceramahnya meskipun tidak menjelaskan kualitas hadits yang disampaikan kepada jamaahnya. Hal ini dibolehkan dengan catatan hadits yang disampaikan tidak berkaitan dengan akidah, persoalan halal dan haram, bukan hadits palsu, dan haditsnya tidak terlalu dhaif. Wallahu a’lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar