Politik Korup
Oleh: Azyumardi Azra
Sepanjang 2017 dan awal 2018 sudah delapan kepala daerah diproses
Komisi Pemberantasan Korupsi karena korupsi. Kepala daerah yang terakhir
terkena operasi tangkap tangan adalah Bupati Hulu Sungai Tengah, Kalimantan
Selatan, Abdul Latif, Jumat (5/1). Kasus ini menambah daftar 33 kepala daerah
(gubernur dan bupati/wali kota) yang sepanjang masa pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla terjerat kasus korupsi.
Karena dari waktu ke waktu selalu ada kepala daerah beserta pihak
swasta terkena operasi tangkap tangan, masyarakat pesimistis korupsi bisa
lenyap dari bumi Indonesia. Kalangan kepala daerah tampaknya ”tidak takut”
dengan konsekuensi hukum yang mereka hadapi.
Akibat banyaknya kepala daerah yang korupsi, sangat beralasan
apabila Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mewanti-wanti
agar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 yang dilaksanakan serentak di 171
daerah menghasilkan kepala daerah yang kelak bebas korupsi. Untuk itu, perlu
dipilih calon dengan rekam jejak bersih—tidak cacat hukum. Dalam upaya mencegah
pilkada koruptif, KPK dan Polri siap membentuk Satgas Anti-Politik Uang.
Namun, melihat rentetan kepala daerah yang terjerumus korupsi,
peringatan dan harapan itu tampaknya sulit terwujud. Aktualisasi harapan itu
sangat terkait dengan berbagai faktor yang memengaruhi perilaku setiap kepala
daerah.
Salah satu faktor penting yang membuat pejabat publik terjerumus
korupsi adalah proses dan praktik politik yang membuat sulit bagi kepala daerah
menjaga integritasnya. Proses politik cenderung menghancurkan integritas mereka.
Proses politik yang menjerumuskan banyak pemegang jabatan publik
yang diperoleh lewat pemilihan kepala daerah dapat disebut sebagai politik
korup. Aspiran politik lewat pemilihan kepala daerah bukan hanya tidak berdaya
menghadapi politik korup; tak jarang mereka ikut menambah merajalelanya politik
korup. Politik korup adalah politik yang tercemar atau diwarnai keputusan,
langkah, dan tindakan koruptif yang merugikan konstituen dan publik. Politik
korup menjadi akar distorsi keputusan dan praktik pemerintahan sehingga
peningkatan kesejahteraan warga kian menjauh.
Korupsi yang sudah pandemik membuat demokrasi Indonesia menjadi
demokrasi cacat (flaw democracy). Indonesia boleh saja merupakan negara
demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Indonesia
juga boleh saja mengklaim sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar
di dunia, di mana tidak ada masalah antara Islam dan demokrasi; Islam negeri
ini kompatibel dengan demokrasi.
Akan tetapi, sekali lagi, demokrasi Indonesia bukan demokrasi
tanpa cacat (flawless democracy). Sebaliknya, proses dan praktik demokrasi
Indonesia setelah hampir dua dasawarsa mengandung cacat yang bukan tidak bisa
disembuhkan, asal ada kemauan keras dari semua pihak.
Menggunakan kriteria The Economist Intelligence Unit, demokrasi
yang tidak cacat atau demokrasi sempurna (full democracy) adalah demokrasi di
mana kebebasan politik dan sipil dihormati dan terjamin sepenuhnya berdasarkan
budaya politik yang kondusif bagi penguatan demokrasi. Kemudian, full democracy
juga mencakup kriteria: pemerintah bisa berfungsi efektif dan memuaskan; media
independen dan beragam. Selain itu, eksisnya peradilan independen tempat
keputusannya ditegakkan dan adanya sistem checks and balances yang efektif.
Di antara berbagai kriteria itu, cacatnya demokrasi Indonesia
terutama terkait kenyataan belum berkembangnya budaya politik (political
culture) yang selaras dengan demokrasi. Kenyataan ini banyak terkait dengan
parpol dan elite yang cenderung oligarkis dan menolak perbedaan internal
sehingga sering berakhir dengan perpecahan. Budaya politik seperti ini kemudian
menciptakan parpol yang tidak sehat. Parpol tidak bisa tumbuh sebagai
organisasi politik modern dengan manajemen dan keuangan yang sehat.
Pendanaan parpol bergantung pada iuran anggotanya yang menjadi
pejabat publik. Lalu, ada dana yang berasal dari APBN dan APBD berdasarkan
perolehan suara dalam pemilu legislatif. Tampaknya, juga ada kontribusi (sering
disebut ”mahar”) dari kandidat yang bakal bertarung dalam pilkada atau pemilu.
Agaknya dana dari sumber-sumber ini tak terlalu signifikan.
Bukan rahasia lagi, sumber dana lebih besar datang dari ”donatur”
yang sarat dengan kepentingan bisnis dan politik. Donatur yang umumnya berasal
dari dunia bisnis masuk ke parpol, baik di pusat maupun daerah. Donatur juga
masuk melalui kandidat yang bertarung di pilkada atau pemilu. Donatur menjadi
”investor” politik karena banyak kandidat tak memiliki dana memadai untuk
membiayai proses politik pilkada yang terus menjadi sangat mahal.
Keterlibatan donatur atau investor politik membuat proses politik
rawan manipulasi. Tidak jarang investor politik menanam kaki di beberapa
tempat; memberikan ”sumbangan” kepada sejumlah pasangan calon. Hasilnya,
pasangan mana pun yang menang, sang investor tetap mempunyai kaki dalam
pemerintahan.
Inilah politik transaksional yang menjadi salah satu akar pokok
politik korup yang segera memunculkan korupsi politik. Dalam politik yang
semakin tidak ideologis—tetapi pragmatis dan oportunistik—politik transaksional
tidak bisa lain kecuali kian berkembang.
Seperti diungkap Donatella della Porta & Alberto Vannucci
dalam Corrupt Exchanges: Actors, Resources, and Mechanism of Political
Corruption (2017), politik transaksional melibatkan berbagai bentuk
”pertukaran”. Pertukaran yang memunculkan korupsi tak hanya melibatkan uang
(resources), tetapi juga lingkaran aktor dan pialang serta mekanisme rumit dan
tersembunyi.
Tak mudah menghadapi lingkaran politik korup. Ia menghendaki KPK
yang kuat, gigih, dan konsisten. KPK perlu mendapat dukungan penuh lembaga
penegak hukum lain, yakni Polri, kejaksaan, dan peradilan. Selain itu, perlu
pembenahan proses politik—apakah masih perlu pilkada langsung atau pemilihan
lewat DPRD. Tak kurang pentingnya adalah reformasi budaya politik beserta
penguatan partai dan kandidat pejabat publik dalam hal finansial dan
integritas. []
KOMPAS, 11 Januari 2018
Azyumardi Azra ; Guru Besar Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Komisi Kebudayaan Akademi
Ilmu Pengetahuan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar