Jumat, 26 Januari 2018

Zuhairi: Kristen Palestina Menentang Israel



Kristen Palestina Menentang Israel
Oleh: Zuhairi Misrawi

"Kami mencintai Israel, tapi Israel selalu menindas kami", ujar seorang Pendeta di Bethlehem, Palestina yang disiarkan oleh televisi CNN Internasional.

Perjuangan Palestina untuk meraih kemerdekaan masih panjang, karena Israel terus melakukan manuver untuk menindas warga Palestina. Tidak peduli kelompok manapun, baik Muslim maupun Kristen sama-sama mendapatkan perlakukan diskriminatif oleh Israel. Sebab itu, warga Kristen di Palestina juga bernasib sama: masa depan yang suram, tidak menentu, bahkan gelap-gulita.

Fakta tersebut mengisahkan kesedihan yang amat mendalam bagi warga Kristen Palestina. Kisah pilu mereka tidak mendapatkan perhatian luas, bahkan terlupakan. Padahal penderitaan mereka tidak kalah pedihnya dari apa yang dialami oleh warga Muslim.

Bahkan, Israel kerap membentuk narasi konflik dan benturan antara kelompok Muslim dan Kristen di Palestina, tetapi narasi tersebut selalu gagal. Hubungan antara komunitas Muslim dan Kristen Palestina sangat kokoh. Keduanya saling bahu-membahu menentang penjajahan Israel dan berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkan kemerdekaan Palestina.

Dalam setiap peristiwa genting, baik warga Muslim maupun Kristen di Palestina selalu bersama-sama, bergotong-royong melawan kebijakan diskriminatif Israel. Yang paling anyar soal kebijakan Trump dan Netanyahu yang ingin memindahkan ibu kota Israel dari Tel Aviv ke Jerusalem. Umat Kristen Palestina keras menentang kebijakan Trump, karena akan berdampak terhadap nasib warga Kristen di Jerusalem Timur.

Ketika Israel membuat kebijakan untuk memasang alat pemindai di pintu masuk Masjid al-Aqsha, warga Kristen Palestina ikut menentang kebijakan tersebut karena dianggap bertentangan dengan hak kebebasan beribadah warga Muslim. Warga Kristen ikut turun ke jalan menentang kebijakan Israel. Di saat umat Muslim melaksanakan shalat Jumat, justru umat Kristen yang menjaga dan melindungi warga Muslim dari tindakan brutal tentara Israel.

Intinya, umat Kristen Palestina tidak pernah absen dari perjuangan bersama-sama warga Muslim menentang Israel dan mewujudkan kemerdekaan. Derita Palestina pada hakikatnya adalah derita seluruh warga Palestina, baik Muslim maupun Kristen.

Warga Muslim dan Kristen Palestina menyadari betul, bahwa musuh utama dan bersama mereka adalah Israel. Bertahun-tahun, Israel telah membuat mereka sengsara, terusir, bahkan hilang nyawa karena kekejaman tentara Israel. Karenanya tidak ada alasan untuk tidak saling bahu-membahu untuk menentang Israel.

Toleransi dan harmoni antara warga Muslim dan warga Kristen di Palestina melahirkan harapan. Kondisi obyektif mereka jauh lebih baik daripada relasi antar-agama di berbagai dunia Arab lainnya yang masih diliputi kabut konflik dan intoleransi.

Warga Muslim Palestina menyadari, bahwa Palestina merupakan tanah kelahiran Yesus. Dari Palestina inilah ajaran Kristen disebarluaskan ke seantero dunia. Dalam setiap peringatan Natal, warga Muslim selalu merayakan Natal bersama-sama warga Kristen hampir di seluruh gereja Palestina. Bahkan, Mahmoud Abbas selalu menghadiri perayaan Natal di Gejera Bethlehem.

Sebaliknya, warga Kristen juga menyadari bahwa Jerusalem merupakan kota suci bagi warga Muslim, karena Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan Isra' dan Mi'raj dari Masjid al-Aqsha yang berada di Jerusalem ke Sidratul Muntaha. Begitu pula ketika Jerusalem jatuh di bawah kekuasaan Islam, Umar bin Khattab menghormati eksistensi gereja dan umat Kristen di Palestina.

Kesadaran perihal sejarah dan pentingnya toleransi inilah yang menjadikan hubungan antara warga Muslim dan warga Kristen Palestina sangat mengagumkan. Bahkan kita tidak pernah mendengar friksi di antara kedua komunitas ini. Konon, warga Muslim dipercaya untuk memegang kunci Gereja Makam Kristus di Jerusalem untuk menghindari konflik di antara berbagai denominasi Kristen atas gereja bersejarah tersebut.

Maka dari itu, pemandangan ini sebenarnya dapat menyadarkan kita, bahwa masalah Palestina bukan masalah perjuangan agama tertentu, tetapi perjuangan sebuah bangsa untuk mendapatkan kedaulatan dan kemerdekaan. Memperjuangkan kemerdekaan Palestina adalah memperjuangkan seluruh warga dan kelompok yang eksis di dalam Palestina. Faktanya, warga Muslim dan Warga Kristen kerapkali mendapatkan perlakuan diskriminatif yang sama oleh Israel, karenanya mereka bersama-sama menentang Israel.

Kini, kondisi warga Kristen Palestina terus memburuk. Pada tahun 1922, populasi warga Kristen Palestina mencapai 10%. Namun, jumlah mereka terus menyusut sejak berdirinya Negara Israel di tanah Palestina pada tahun 1948 dan perang 1967.

Saat ini populasi warga Kristen sekitar 1% dari total populasi warga Palestina. Mereka tersebar di Tepi Barat (40.000 warga), Jerusalem Timur (5.000 warga), dan Gaza (1.250 warga). Jumlah terbesar berada di Bethlehem, tanah kelahiran Yesus. Kita juga masih bisa menyaksikan gereja-gereja berdiri tegak di seantero Palestina.

Walaupun jumlah warga Kristen terus mengalami penyusutan akibat migrasi ke beberapa negara di Timur-Tengah, seperti Jordania, Mesir, dan Libanon, serta beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat, namun mereka yang tinggal di Palestina terus berperan dalam bidang pendidikan, kesehatan, hukum, arsitektur, bahkan politik. Suara mereka sangat lantang menentang penjajahan Israel.

Eksistensi warga Kristen di Palestina merupakan salah satu modal sosial yang sangat penting, karena di situlah rajutan kebangsaan dirangkai. Sejarah Palestina pada hakikatnya adalah sejarah agama-agama samawi. Palestina akan selalu kokoh jika semua pihak mempunyai kesadaran sejarah tentang pentingnya menjaga keragaman dan perjuangan mewujudkan negara yang berdaulat dan merdeka dari penjajahan.

Kisah pilu Kristen Palestina dan komitmennya bersama-sama warga Muslim menentang Israel ibarat oase di padang pasir. Hemat saya, faksi-faksi politik di dalam negeri Palestina harus banyak belajar dari warga Kristen Palestina untuk mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan faksi politik. Perjuangan Palestina adalah perjuangan bersama melawan penindasan, penjajahan, dan ketidakadilan. []

DETIK, 25 Januari 2018
Zuhairi Misrawi | Intelektual muda Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar