Kamis, 11 Januari 2018

(Ngaji of the Day) Berhentilah Mengeluh kepada Manusia, Bermunajatlah kepada Allah!



Berhentilah Mengeluh kepada Manusia, Bermunajatlah kepada Allah!

Suka mengadukan kesulitan-kesulitan hidup kepada sesama manusia bisa sama artinya dengan tidak rela dengan apa yang sedang dikehendaki Allah subhânahu wata‘âlâ pada diri seorang hamba. Mengeluh dan meratapi nasib yang diderita sama artinya dengan merasa tidak puas akan pemberian Allah subhânahu wata‘âlâ. 

Uraian di atas sejalan dengan apa yang pernah dikatakan oleh Imam Al-Junaid sebagaimana termaktub dalam kitab Riyadhu Akhlaqis Shalihin, karangan Syekh Ahmad bin Muhammad Abdillah, halaman 32,  sebagai berikut: 

مَنْ أَصْبَحَ وَهُوَ يَشْكُو ضَيْقَ الْمَعَاشِ فَكَاَنَّمَا يَشْكُو رَبَّهُ وَمَنْ أَصْبَحَ لِأُمُوْرِ الدُّنْيَا حَزِيْنًا فَقَدْ أَصْبَحَ سَاخَطًا عَلىَ اللهِ 

Artinya: “Barangsiapa suka mengadukan kesulitannya kepada sesama manusia, maka seolah-olah ia mengadukan Tuhannya (kepada mamusia tersebut). Dan barangsiapa merasa sedih dengan kondisi duniawinya, maka dia menjadi orang yang membenci Allah.”

Bisa saja kita berpikir merasa tidak puas dengan kondisi yang ada adalah manusiawi, tetapi sebenarnya jauh lebih baik dan islami apabila keluhan-keluhan itu secara langsung disampaikan kepada Allh subhânahu wata‘âlâ melalui doa-doa yang kita panjatkan kepada-Nya.

Itulah yang disebut munajah, yakni mengadukan persoalan-persoalan hidup kepada Allah sekaligus memohon pertolongan dan belas kasih-Nya. 

Salah satu waktu terbaik untuk bermunajat adalah pada saat seorang hamba melaksanakan shalat tahajud dalam doa-doa yang dibacanya di tengah malam, di saat mana semua orang lelap tidur. 

Di saat seperti itu barang kali tidak ada orang mendengar atau melihat ketika seorang hamba bermunajat kepada Allah dengan isak tangis dan air mata yang berderai. 

Nabi Musa ‘alaihissalâm, sebagaimana disebutkan dalam Kitab Al-Mu’jam Al-Ausath lith-Thabraniy, berdasarkan hadits marfu’ (3505) yang diriwayatkan dari Abdullah ibnu Mas’ud, sering bermunajat kepada Allah dan mengucapkan doa-doa sebagai berikut:

اَلَّلهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ وَاِلَيْكَ الْمُشْتَكَى وَاَنْتَ الْمُسْتَعَانُ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ اِلَّا بِاللهِ اْلعَلِيِّ الْعَظِيْمِ

Artinya: "Ya Allah segala puji bagi-Mu. Kepada Engkaulah aku mengadu dan hanya Engkau yang bisa memberi pertolongan. Tiada daya dan upaya, serta tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung."

Lalu pertanyaannya, apakah memang tidak boleh melakukan curhat kepada sesama manusia, seperti seorang kawan kepada kawan lainnya, atau seorang istri kepada suami atau sebaliknya? 

Tentu saja boleh sepanjang curhat itu tidak bermakna “ngrasani" atau menggunjing Allah subhânahu wata‘âlâ. Curhat kepada sesama manusia boleh dilakukan selama masih dalam koridor diskusi atau meminta nasihat untuk mendapatkan cara-cara terbaik untuk keluar dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi sebab memang ada kewajiban untuk saling tolong menolong dan nasihat menasihati diantara sesama manusia. Artinya setiap musim memiliki hak untuk mendapatkan nasihat tentang alternatif solusi dari kesulitan-keulitan yang ada. []

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar