Sabar dalam Beribadah
dan Musibah, Mana yang Lebih Berat?
Biasanya kita
dinasihati untuk sabar menghadapi musibah. Seberat-beratnya sabar dalam
musibah, jauh lebih berat lagi untuk sabar dalam beribadah. Salah satu godaan
terbesar seorang salik yang tengah berjalan menuju ilahi adalah dia hendak
cepat-cepat sampai padahal masih banyak stasiun yang harus disinggahi dan
dijalani.
Ketika Tuhan
menceritakan di dalam Al-Qur'an bagaimana semesta diciptakan dalam enam masa
(fi sittati ayyam), sejatinya Tuhan tengah mengajari manusia bahwa semuanya itu
berproses dan membutuhkan waktu.
Tuhan bukan tidak
sanggup menciptakan alam semesta dalam sekedip kun fayakun-Nya, tapi kalau
Tuhan yang Maha Kuasa saja menciptakan semesta ini setahap demi setahap, lalu
siapa kita yang hendak mengubah semesta dalam diri kita ini hanya sekejap saja?
Pernah dikisahkan
dalam sebuah riwayat bagaimana ada tiga sahabat yang bernafsu dalam beribadah.
Larangan menahan nafsu itu bukan hanya berkenaan dengan duniawi semata, tapi
juga urusan ukhrawi. Sahabat pertama berikrar tidak mau menikah. Sahabat kedua
bertekad mau puasa setiap hari. Sahabat ketiga mau terjaga dan shalat malam
terus menerus.
Rasulullah SAW
kemudian bersabda kepada mereka: "Demi Allah, aku adalah orang yang paling
takut dan paling bertakwa kepada Allah! Namun selain berpuasa aku juga berbuka
(tidak berpuasa), selain shalat aku juga tidur, dan aku juga menikahi wanita.
Barangsiapa yang membenci Sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku,"
(HR Bukhari dan Muslim).
Nabi tengah mengajarkan
kepada sahabat beliau (radhiyallah 'anhum) untuk bersabar dalam beribadah,
tidak bernafsu saat beribadah dan menyeimbangkan urusan dunia dan akhirat.
Inilah keindahan Islam.
Orang yang bernafsu
dalam beribadah melebihi kapasitas sebagai manusia biasa justru akan semakin
jauh dari perjalanan menujuNya. Ibadah itu sejatinya membesarkan Allah bukan
membesarkan ego dan nafsu kita termasuk saat tengah menjalankan perintahNya.
Jangan sampai seolah
kita tengah membesarkanNya padahal nafsu kita lah yang tengah kita kobarkan.
Jangan sampai kita seolah berjalan menujuNya, padahal kita hanya berputar-putar
di ego diri kita saja.
Antara takbir di awal
shalat dan ucapan salam di akhir shalat, ada nafsu kita kah di sana? Antara
fajar subuh memulai puasa dan terbenamnya matahari saat berbuka, ada diri kita
kah di sana?
Antara memulai
mencari nafkah sehingga terkumpul nishab setahun membayar zakat, ada
kepentingan diri kita kah di sana? Antara ucapan Labbaik Allahumma Labbaik
hingga wukuf di arafah sata berhaji, masihkah kita rasakan ada ego kita di
sana?
Mereka yang sabar
dalam beribadah akan bersedia melepaskan dirinya dan sepenuhnya tunduk pada
keinginan Sang Penguasa Alam. Semua berada dalam takaran sesuai stasiun yang
tengah kita lewati. Mereka yang telah dicelup oleh Allah dalam samuderaNya (QS
2:138) nafsu dirinya akan tenggelam. Yang muncul ke permukaan hanya qalbun
salim. Di sanalah Dia bertahta.
Orang yang berusaha
sabar menghadapi musibah adalah orang yang sadar bahwa tanpa pertolonganNya
kita tidak bisa menghadapi berbagai problematika kehidupan kita. Namun orang
yang sabar saat menyembahNya adalah orang yang sadar bahwa Allah tidak bisa
didekati dengan keinginan dan kemampuan diri melainkan sesuai dengan tahapan
proses yang telah ditentukanNya untuk masing-masing dari kita.
You may approach Him,
but do it His way.
When you disappear,
He will appear.
[]
Nadirsyah Hosen, Rais
Syuriyah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law
School.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar