Kamis, 18 Januari 2018

Shambazy: La Nyalla, Puti, dan Tiga Jenderal



La Nyalla, Puti, dan Tiga Jenderal
Oleh: Budiarto Shambazy

Ada tiga kejadian menarik yang mewarnai narasi jelang Pilkada 2018. Pertama, pernyataan La Nyalla Mattalitti tentang uang mahar pencalonan dia sebagai calon gubernur Jawa Timur. Tudingan La Nyalla sudah dibantah Partai Gerindra. Tetapi, benar atau keliru, jumlah uang mahar yang disebut La Nyalla membuat siapa pun terperangah: antara Rp 28 miliar sampai Rp 300 miliar. Bagaimana akhir drama ini, akan sulit diduga.

Sejak dulu sering terdengar partai-partai sering meminta calon-calon kepala daerah menyerahkan mahar politik, salah satu bentuk praktik politik uang yang jelas melanggar undang-undang. Namun, sampai detik ini belum ada kasus pada tingkatan pencalonan gubernur yang pernah diperiksa aparat pemilihan yang berwenang.

Kendati demikian, Gerindra sebaiknya segera menyelesaikan cerita tidak enak ini. Jika tidak, ia berakibat negatif terhadap citra partai.

Betapapun, politik memang mahal. Untuk mengikuti pemilihan DPR pusat, misalnya, setiap partai butuh minimal Rp 1 miliar untuk membiayai kader yang dianggap mumpuni dan berpeluang merebut satu kursi. Untuk non-kader tarif itu lebih besar.

Kampanye butuh dana tidak sedikit, mulai dari merchandising sampai honor saksi di TPS, mulai dari sewa aneka rupa sampai sangu untuk ”serangan fajar”. Kalau sang calon menang, modal akan kembali. Kalau kalah, Anda jelas rugi besar sia-sia membuang duit tak sedikit sambil menyesali sebegitu mahalnya ongkos politik.

Ongkos politik yang mahal bisa dipelajari dari tempat kelahiran demokrasi, Amerika Serikat (AS). Pada Pilpres 2012, ketika Barack Obama terpilih kedua kalinya, biaya kampanye semua capres menembus angka 1 miliar dollar AS. Empat tahun sebelumnya, saat terpilih pertama kalinya, Obama sendirian mengumpulkan dana kampanye sekitar 670 juta dollar AS.

Tapi hampir 100 persen dana itu terkumpul dari sumbangan pemilih, mulai dari sekadar puluhan sampai ribuan dollar AS, sesuai aturan. Dana dari partai ataupun pemerintah tidak begitu signifikan jumlahnya. Dengan kata lain, partisipasi pemilih, baik melalui fund raising atau iuran, sebenarnya bisa membiayai kampanye.

Mustahil mengharapkan proses politik apa pun, termasuk pemilihan, bertarif nol rupiah. Ini tidak akan pernah terjadi. Paling penting, dana politik terpakai sebagaimana mestinya dan harus dapat dipertanggungjawabkan. Dan, ironisnya, itu hanya bisa dilakukan justru oleh partai-partai politik itu sendiri.

Kejadian menarik kedua, ditunjuknya Puti Guntur Soekarno oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), sebagai cawagub Jawa Timur mendampingi Saifullah Yusuf dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Puti, yang berumur 46 tahun, adalah anak tunggal Guntur Soekarno Putra, anak tertua Presiden Soekarno.

Puti generasi ketiga Dinasti Soekarno bersama Puan Maharani, kini Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), serta Muhammad Prananda Prabowo alias Nanan, yang sekarang salah seorang ketua DPP PDI-P. Puan dan Nanan dua anak Megawati Soekarnoputri, masing-masing berusia 44 dan 47 tahun.

Puti anggota DPR dua periode (2009-2014 dan 2014-2019) mewakili Dapil Jawa Barat X. Puan dikenal publik lebih dulu ketika meniti menjadi anggota DPR, sampai akhirnya melewati ”seleksi” sebagai Menko PMK. Berbeda dengan Puti yang dari DPR mencoba peruntungan melewati ”eleksi” di Jawa Timur.

Pencalonan Puti patut dipuji. Telah lama terdengar kabar Puti akan dicalonkan sebagai cagub atau cawagub di Jawa Barat. Ternyata, Megawati memilih Puti bertarung di ”kampung halaman” kakeknya, Bung Karno, yang lahir di Surabaya, ibu kota Jawa Timur.

Uji coba

Puti akan menjadi uji coba kelangsungan generasi ketiga Dinasti Soekarno. Selain itu ada juga taruhan: sejauh mana pemilih pemula tertarik pada Soekarnoisme sebagai ideologi kaum nasionalis, baik yang berada di dalam maupun luar PDIP?

Pemilih pemula pasti tahu Bung Karno, tetapi belum tentu tahu Soekarnoisme. Dan pada ”zaman now” ini sukar sekali berkampanye mempidatokan Soekarnoisme. Massa biasanya lebih tertarik kepada konser dangdut dan berbagai jenis hiburan lainnya.

Kejadian menarik ketiga adalah pencalonan tiga jenderal TNI AD terkemuka: Edy Rahmayadi (56), Sudrajat (69), dan TB Hasanuddin (65). Edy yang letnan jenderal nyagub di Sumatera Utara, sementara Sudrajat dan Hasanuddin sama-sama dua bintang di Jawa Barat. Ketiganya menjalani karier cukup cemerlang dan tak ternoda selama mengabdi untuk TNI AD.

Pencalonan ketiga jenderal ini diharapkan mereduksi upaya mereka yang akan memanfaatkan isu-isu SARA di Sumatera Utara dan Jawa Barat. TNI AD adalah salah satu tulang punggung nasionalisme kita. Memang dulu ada istilah ”TNI Hijau”, tetapi dari tahun ke tahun terbukti ”TNI Merah-Putih” lebih awet bertahan.

Nah, pernyataan mengejutkan La Nyalla serta kemunculan Puti dan ketiga jenderal ke panggung nasional tentu menguntungkan publik. Pernyataan La Nyalla menambah kadar sinisme kita terhadap politik. Harap hati-hati dalam memilih, di depan masih banyak bahaya menghalangi kelancaran jalan Anda.

Jika sudah mendengar atau menyaksikan pidatonya, Puti terbukti politisi yang berbakat. Ia ”dilempar” dari sebuah provinsi ke provinsi lainnya dan mungkin akan terbukti Puti tidak akan mengecewakan Megawati dan PDI-P. Pelajaran terpenting untuk kita, kedinastian politik hal yang tak terhindari sehingga kurang perlu dicibir.

Kita tentu saja senang dengan kehadiran tiga jenderal di ajang pilgub di dua provinsi penting itu, Jawa Barat dan Sumatera Utara. Sekali lagi, kehadiran mereka kiranya bisa membuang mitos bahwa apa yang terjadi di pilgub DKI akan viral ke provinsi-provinsi lain.

Selain itu, jenderal-jenderal purnawirawan masih menjadi daya tarik besar bagi sebagian pemilih dalam berbagai proses pemilihan. Jangan lupa juga, TNI AD sebagai institusi pernah menjadi salah satu dari tiga aktor politik pada masa Orde Lama, bersama Presiden Soekarno dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dwifungsi ABRI yang berlaku selama Orde Baru telah berakhir digantikan  Reformasi TNI-Polri 1999. TNI-AD sebagai institusi tetap netral tidak akan mau lagi dijebloskan ke dalam politik untuk kepentingan sesaat. Militer pada dasarnya memang tidak kompatibel dengan demokrasi.

Tahun ini, ada pemilihan gubernur di 17 provinsi dengan 57 pasangan calon, ditambah 115 pemilihan bupati dengan 374 pasangan calon, dan 39 wali kota dengan 137 pasangan calon. Pilkada 2018 akan melibatkan sekitar 78 persen dari total suara pemilih nasional yang mencapai sekitar 160 juta pemilih.

Pilkada 2018 yang berlangsung secara serentak akan diselenggarakan 27 Juni mendatang. Mari kita tunggu kejadian-kejadian yang tidak kalah menarik dibandingkan pernyataan La Nyalla dan pencalonan Puti serta tiga jenderal purnawirawan. []

KOMPAS, 15 Januari 2018
Budiarto Shambazy  ;  Wartawan Kompas 1982-2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar