Al-Manshur, Khalifah Kedua Abbasiyah: Pecinta Ilmu yang
Memenjarakan Ulama
Oleh: Nadirsyah Hosen
Ada orang baik yang berubah menjadi jahat ketika memegang
kekuasaan. Ada pula orang yang selama memegang kekuasaan berhimpun pada dirinya
sisi baik dan buruk sekaligus. Bagaimana sejarah menilai sosok seorang Abu
Ja’far al-Manshur, khalifah kedua Abbasiyah, dalam konteks baik-buruk ini?
Pada hakikatnya manusia cenderung mempertahankan kekuasaannya
dengan cara apa pun. Itu pula sebabnya, belajar dari sejarah masa lalu kita
sadar bahwa kekuasaan—atas nama agama sekalipun—harus tetap diawasi dengan
efektif. Jika tidak, perselingkuhan agama dan politik akan menimbulkan paradoks
mengenai mana yang baik dan buruk.
Mari kita simak kisah khalifah kedua Dinasti Abbasiyah, yang
aslinya bernama Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul
Muthalib, dalam lanjutan mengaji sejarah politik Islam. Beliau lebih dikenal dengan
nama Abu Ja’far al-Manshur. Imam Suyuthi mendeskripsikan karakternya:
وكان
فحل بني العباس هيبة وشجاعة وحزمًا ورأيًا وجبروتًا، جماعًا للمال، تاركًا اللهو
واللعب، كامل العقل، جيد المشاركة في العلم والأدب، فقيه النفس، قتل خلقًا كثيرًا
حتى استقام ملكه، وهو الذي ضرب أبا حنيفة -رحمه الله- على القضاء، ثم سجنه، فمات
بعد أيام، وقيل: إنه قتله بالسم لكونه أفتى بالخروج عليه، وكان فصيحًا بليغًا،
مفوّهًا، خليقًا للإمارة، وكان غاية في الحرص والبخل، فلقب: أبا الدوانيق،
لمحاسبته العمال والصناع على الدوانيق والحبات.
“Dia orang yang
terpandang, kharismatik, pemberani dan punya tekad yang kuat, pengumpul harta,
meninggalkan senda gurau dan permainan, sempurna akalnya, terlibat aktif dalam
hal ilmu dan adab, memahami soal kejiwaan. Namun, dalam rangka menegakkan
kekuasaanya, dia telah melakukan pembunuhan yang amat banyak. Dia pula yang
mencambuk Imam Abu Hanifah rahimahullah
ketika menolak diangkat menjadi hakim, memenjarakannya hingga wafat di penjara.
Dikatakan bahwa Imam Abu Hanifah wafat karena diracun akibat telah berfatwa
membolehkan memberontak melawan Abu Ja’far al-Manshur. Ucapan al-Manshur fasih,
seorang orator yang mempesona dan inspiratif, dan sangat berhati-hati, dan juga
terkenal kikir. Gelarnya Abu ad-Dawaniq karena menghitung harta sampai hal-hal
yang paling kecil.”
Dari deskripsi di atas saja kita bisa merasakan Al-Manshur ini
sosok yang kontroversial dan terlihat paradoks. Paradoks pertama, soal ilmu dan
perlakuannya terhadap ulama. Misalnya, sejarah mengabarkan bahwa dia sangat
mencintai ilmu. Gerakan penerjemahan kitab-kitab asing ke dalam bahasa Arab
mulai dilakukan pada masanya. Kalau ulama pada masa Dinasti Umayyah lebih
sering menyebarkan ilmu secara verbal, pada masa Al-Manshur ini para ulama
didukung untuk menuliskan kitabnya agar penyebaran pengetahuan semakin luas.
Abu Ja’far al-Manshur adalah pemimpin negara yang pertama kali
meminta Imam Malik untuk menjadikan kitabnya, al-Muwattha’, sebagai panduan resmi negara.
Ini indikasi kuat kepedulian sang Khalifah akan ilmu pengetahuan. Namun, Imam
Malik menolak permintaan tersebut dengan alasan Islam telah berkembang
sedemikian rupa ke wilayah di luar Arab dan masing-masing imam telah memiliki
pendapat sendiri yang boleh jadi akan berbeda pandangan dengan isi kitab al-Muwattha’. Imam Malik
menolak kitab dan pendapatnya menjadi standar kebenaran oleh negara.
Belakangan, menurut Imam Suyuthi, Imam Malik mengeluarkan fatwa
bahwa boleh keluar memberontak terhadap al-Manshur mengingat kekejaman yang
dilakukannya. Gubernur Madinah kemudian menangkap dan mencambuk Imam Malik
akibat fatwa itu. Seperti sudah disebutkan di atas tindakan Khalifah al-Manshur
kepada Imam Abu Hanifah. Kekejaman terhadap ulama tidak berhenti pada dua nama
besar Imam Mazhab ini, tapi juga menimpa ulama lainnya, yaitu Sufyan ats-Tsauri
dan Abbad bin Katsir—yang pertama seorang ahli fiqh ternama, dan yang kedua
seorang perawi hadits.
Hampir saja keduanya menemui ajal saat Abu Ja’far al-Manshur
menunaikan ibadah haji. Namun, Sufyan dan Abbad selamat, meski sudah dimasukkan
dalam penjara dan menunggu waktu eksekusi. Kata Imam Suyuthi:
وتخوف
الناس أن يقتلهما المنصور إذا ورد الحج، فلم يوصله الله مكة سالِمًا، بل قدم
مريضًا ومات، وكفاهما الله شره،
“Orang-orang telah
khawatir bahwa Abu Ja’far al-Manshur akan membunuh kedua ulama itu saat
menunaikan haji, namun Allah tidak memberi kesempatan khalifah sampai di Mekkah
dengan selamat. Dalam perjalanan dia sakit dan wafat. Allah telah mencegah
kekejamannya terhadap kedua ulama itu.”
Paradoks kedua, soal kekuasaan. Ada dua jenderal yang sangat
berjasa merebut kekuasaan dari Dinasti Umayyah dan pada kilauan pedang kedua
jenderal inilah kekuasaan Dinasti Abbasiyah dapat tegak berdiri. Jenderal
pertama bernama Abdullah bin Ali, paman sang Khalifah Abu Ja’far al-Manshur.
Jasanya jelas: pasukan Abdullah bin Ali yang mengalahkan pasukan Marwan,
khalifah terakhir Umayyah.
Jenderal kedua bernama Abu Muslim al-Khurasani. Dialah jenderal
yang memulai pemberontakan terhadap Dinasti Umayyah hingga tegaknya Abbasiyah.
Abu Muslim juga mengejar dan membantai keluarga Umayyah demi mengamankan
kekuasaan as-Saffah, khalifah pertama Abbasiyah.
Abdullah bin Ali tidak bisa menerima kenyataan bahwa al-Manshur
yang diangkat sebagai khalifah menggantikan as-Saffah. Abdullah menganggap
as-Saffah pernah berjanji menjadikannya sebagai khalifah berikutnya. Abdullah
lantas memberontak kepada Khalifah al-Manshur dan mulai menerima bai’at dari
pasukannya di Syiria sebagai khalifah.
Al-Manshur dengan cerdik mengirim Jenderal Abu Muslim menghadapi
pemberontakan Abdullah bin Ali. Kedua jenderal bertempur. Pemberontakan itu
mampu dipadamkan oleh Abu Muslim. Abdullah lantas pergi berlindung di kota
lain, dan belakangan wafat dibunuh pada usia 52 tahun. Bagaimana nasib Abu
Muslim? Al-Manshur yang khawatir dengan popularitas sang jenderal mengundangnya
datang menghadap. Lantas, Abu Muslim, 37 tahun, dibunuh di istana dan mayatnya
dibuang ke sungai Tigris.
Revolusi memakan anaknya sendiri. Kedua jenderal yang berjasa
besar malah dihabisi dengan keji oleh al-Manshur. Imam Thabari dalam kitab Tarikh-nya menjelaskan
dengan detail kisah tragis kedua jenderal ini.
Di sisi lain, dalam dua puluh dua tahun kekuasaannya, al-Manshur
telah melebarkan pengaruh Islam ke penjuru dunia. Al-Manshur pulalah yang
mendirikan kota Baghdad, yang kemudian menjadi salah satu pusat peradaban
Islam. Kota-kota besar tunduk di bawah kekuasaanya kecuali Andalusia, di mana
salah satu keturunan Bani Umayyah yang berhasil melarikan diri yaitu
Abdurrahman bin Mu’awiyah meneruskan kekhalifahan kecil Umayyah di Andalusia.
Jadi, sebenarnya saat itu sudah ada dua khalifah dalam tubuh umat Islam.
Namun, selain memikirkan umat, Al-Manshur juga memikirkan
kekuasaannya sendiri. Dia mencopot keponakannya, Isa bin Musa, dalam jalur
suksesi. Wasiat dari Khalifah As-Saffah sebelumnya telah mengangkat Al-Manshur
dan Isa dalam satu paket. Namun Isa, yang berjasa memadamkan pemberontakan
Syi’ah yang dipimpin Muhammad an-Nafs az-Zakiyyah, malah dicopot sebagai putra
mahkota dan digantikan oleh Al-Mahdi, anak Khalifah al-Manshur. Garis kekuasaan
khilafah berdasar turun temurun kembali.
Terakhir, kekuasaan Al-Manshur juga tidak lepas dari penggunaan
riwayat hadits sebagai alat legitimasi kekuasaan yang paling efektif. Dakam
tulisan sebelumnya, As-Saffah (Sang Penumpah Darah): Khalifah Pertama
Abbasiyah, telah saya ceritakan bagaimana munculnya sejumlah riwayat hadits
yang dijadilan alat legitimasi. Hal ini masih terus berlanjut pada masa
Al-Manshur.
Misalnya Al-Khatib dalam kitab Tarikh-nya
meriwayatkan dari Dhahhak, dari Ibn Abbas, dari Rasulullah:
أخرج
الخطيب عن الضحاك عن ابن عباس عن النبي -صلى الله عليه وسلم- قال: “منا السفاح،
ومنا المنصور، ومنا المهدي
“Dari keluarga kami ada
as-Saffah, al-Manshur dan al-Mahdi”
Tentu mengherankan bagaimana Rasulullah menyebut dengan persis
ketiga nama Khalifah Abbasiyah secara berurutan, padahal ada jarak lebih
seratus tahun. Imam Dzahabi mengatakan sanad riwayat ini munkar dan munqathi’ (terputus).
Namun, riwayat senada juga dicantumkan oleh al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak-nya (Hadits
nomor 8615), dan beliau mengklaim sanadnya sahih sesuai syarat Bukhari-Muslim,
hanya saja tidak dikeluarkan oleh kedua kitab shahih tersebut. Imam Dzahabi
membantahnya: “dimana shahihnya? Salah satu perawinya, Ismail bin Ibrahim, itu
lemah” (Talkhis al-Mustadrak
4/514).
Penyebutan ketiga nama khalifah Abbasiyah sebagai “minna” (termasuk dari
keluarga kami) merupakan alat legitimasi untuk menegaskan bahwa Dinasti
Abbasiyah ini berasal dari keluarga Nabi, meski tepatnya mereka keturunan
Abbas, paman Nabi, bukan keturunan langsung dari Nabi Muhammad. Tapi, ya itulah
politik!
Abu Ja’far al-Manshur wafat dalam usia 61 tahun pada 7 Oktober
tahun 775 Masehi dalam perjalanan menuju Mekkah dan dikuburkan secara rahasia
dengan membuat 100 kuburan yang berbeda. Ini dikarenakan kekhawatiran akan
terjadi balas dendam, ketika sebelumnya Dinasti Abbasiyah membongkar kuburan
para khalifah Dinasti Umayyah dan menghancurkan apa yang tersisa. Ah, sampai di
dalam kubur pun para khalifah itu tidak tenang dan aman rupanya! []
GEOTIMES, 10 Desember 2017
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriah NU Australia – Selandia Baru dan
dosen senior di Faculty of Law, Monash University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar