Imam Syafi’i dan Imam
Ghazali pada Pemilu 1971
Shohibul mazhab Abu
Abdullah Muhammad bin Idris yang lebih dikenal dengan nama Imam Syafi'i
ternyata pernah menjadi Rais Syuriah Nahdlatul Ulama. Bahkan, di saat yang
sama, Ketua Tanfidziyahnya dijabat oleh Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad yang dikenal dengan Imam Ghazali.
Tentu, dahi pembaca
sekalian bakal berkerut mendengar informasi di atas. Bagaimana mungkin Imam
Syafi'i yang hidup pada 767 – 820 M, maupun Imam Ghazali yang hidup pada
1058 – 1111 M, bisa menjadi pemimpin Nahdlatul Ulama yang baru didirikan
pada 31 Januari 1926. Terbentang puluhan abad lamanya antara masa hidup kedua
ulama besar umat Islam itu dengan berdirinya organisasi umat Islam terbesar di
dunia itu.
Lantas, bagaimana
ceritanya kedua ulama yang mengarang kitab Al-Umm dan Ihya Ulummudin tersebut,
bisa menjadi pemimpin NU?
KHR. As'ad Syamsul
Arifin jawabnya.
Bermula dari perhelatan
Pemilu tahun 1971. Saat itu, Nahdlatul Ulama menjadi partai politik sendiri
setelah memutuskan berpisah dari Parti Masyumi pada 1953. NU menjadi salah satu
partai besar kala itu.
Tentu saja, kekuatan
politik yang dimiliki NU menjadi ancaman tersendiri bagi kekuatan politik lain.
Terutama bagi Golkar yang merupakan partai penguasa saat itu.
Golkar yang didukung
oleh penguasa dan tentara, menghalalkan segala cara untuk bisa merebut suara
sebanyak-banyaknya. Bahkan, tak segan-segan mereka menggunakan kekerasan untuk
memaksa warga NU memilih Golkar. Hal ini, jelas saja menjadi ancaman besar bagi
partai NU.
Basis massanya
digrogoti sedemikian rupa oleh pesaing politiknya. Terlebih resource kampanye
yang dimiliki NU tak sebanding dengan milik lawan-lawan politiknya itu.
Melihat kondisi yang
demikian, Kiai As'ad turun tangan. Pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi'iyah
Situbondo itu, kembali terjun ke 'dunia politik' setelah memutuskan vakum pasca
dibubarkannya Dewan Konstituante pada 1959. Ia yang lebih banyak berada di
belakang layar saja, tiba-tiba turun langsung hadir dalam kampanye yang digelar
Partai NU Situbondo yang dilaksanakan di alun-alun.
Kehadirannya yang
tanpa pemberitahuan tersebut, mengejutkan panitia kampanye. Kesempatan emas
itu, pun tidak disia-siakan. Sebagaimana tercatat dalam biografinya, KHR. As'ad
Syamsul Arifin: Riwayat Hidup dan Perjuangannya (1994), Kiai As'ad langsung
diberikan kesempatan untuk menaiki podium. Tak lama mediator berdirinya NU itu,
berorasi. Tak lebih dari 15 menit saja.
Namun, dalam orasi
yang cukup singkat tersebut, tokoh kharismatik tersebut mampu meyakinkan warga
NU yang hadir di alun-alun Situbondo tersebut, memilih NU sebagai pilihan
politiknya. Dengan gayanya yang khas, Kiai As'ad menyampaikan sebuah 'kabar
langit' yang ia terima.
"Saya tak
mungkin keluar dari NU dan tetap akan mencoblos tanda gambar NU," kata
Kiai As'ad mengawali orasinya.
Kemudian, Kiai As'ad
memaparkan alasannya kenapa harus tetap bertahan dan tetap memilih Partai NU
bagaimanapun tantangan serta beratnya cobaan yang harus dihadapi.
"Saya pilih NU
ini karena ada alasannya. Saya pernah bermimpi ketemu Imam Syafi'i dan Imam
Ghazali. Dalam mimpi itu seolah Syuriah NU itu Imam Syafi'i, sedangkan
Tanfidziyahnya adalah Imam Ghazali," tuturnya di hadapan puluhan ribu
warga NU yang menyemut. "Karena itu, kalau sampean semua tetap ikut kedua
imam tadi, ya harus mencoblos tanda gambar NU," pungkasnya.
Sontak saja, orasi
singkat nan bernas itu, mampu menusuk langsung ke alam bawah sadar warga
Nahdliyin itu. Imam Syafi'i adalah imam madzab yang dianut hampir semua warga
NU dan sebagian besar umat Islam di Indonesia. Begitupula dengan Imam Ghazali.
Selain karya-karya menjadi bacaan wajib di pesantren, tasawufnya pun menjadi
standart bagi warga NU.
Efeknya pun terlihat
saat Pemilu tiba. Seberapa kerasnya Golkar melakukan propaganda tak mampu
mengubah dominasi NU di Keresidenan Besuki. Partai NU menang mutlak dengan
berhasil menggondol 18 kursi dari 32 kursi yang diperebutkan oleh 10
kontestan.
Demikianlah alam
pikir politik warga NU. Antar masa lalu dan masa kini, antara yang hidup maupun
yang telah mati, tak ada ubahnya. Sama. Sama-sama berpengaruh! []
(Ayung Notonegoro)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar